5 Jordy Berubah

Sejak malam itu, mengingat hubungannya dengan Jordy, sifat Khanza jadi mood swing. Sikapnya yang selalu ceria, berubah-rubah membuat orang-orang di sekitarnya bertanya-tanya. Hingga sore hari, Khanza hendak pergi menuju mininarket yang sedikit jauh dari rumahnya dengan menggunakan sepeda mini kesayangannya.

Setelah berkeliling mencari beberapa snack dan beberapa kebutuhan yang di inginkannya, tanpa sengaja Khanza bertubrukan dengan seseorang yang membuatnya sedikit terhuyung dengan postur tubuhnya yang kecil.

"Aduh, pelan-pelan dong." Ucap Khanza mengibas-ngibas baju kaos yang membaluti tubuhnya tanpa melihat siapa yang di tubruknya.

"Ternyata murid bapak satu ini ceroboh."

Seketika Khanza menoleh setelah mendengar suara yang tak asing lagi baginya.

"Pak Gibran???" Kedua mata Khanza melotot dan wajahnya sumringah berbinar-binar.

Pak Gibran membalas nya dengan senyuman hangat pada Khanza. Membuat jantung Khanza berdegub kencang dan tersipu malu. Sadar akan hal itu, Khanza bergumam dalam hatinya.

Ya ampun, kenapa jantung ku berdegub kencang gini sih? Pak Gibran tampan sekali dengan pakaian santai begitu.

Kedua mata Khanza masih menatap wajah pak Gibran tanpa berkedip.

"Khanza... hey, hey!"

Khanza terbangun dari kehanyutannya akan penampilan pak Gibran. Mulai kikuk dan salah tingkah kemudian.

"Pak, untuk apa disini?"

"Bapak mencari alat elektronik. Eh malah ketemu nya kamu,"

"A..apa? Alat elektronik? Di minimarket? Emangnya ada?" Tanya Khanza beruntun dengan mulut menganga.

"Hahaha, kau ini. Memangnya kamu percaya minimarket tempat menjual alat elektronik juga?"

"Ih, bapak. Sengaja ya menggodaku?" Khanza mendecak kesal.

"Ah, sudah lah. Bapak hanya ngetes kamu saja, bapak duluan ya." Pamit pak Gibran melewati Khanza.

"Pak, tunggu." Ucap Khanza dengan berani menyentuh lengan pak Gibran dan menghentikan langkahnya.

"Ada apa Khanza?"

"Minta nomor ponsel bapak boleh?"

Pak Gibran mengerutkan kedua alisnya akan pertanyaan muridnya itu. Dan menatapnya sejenak, membuat pak Gibran kembali gelisah. Getaran di hatinya kembali menggebu tanpa sebab ketika mata mereka saling menatap.

"Kenapa? Gak boleh? Aku tidak akan mengganggu bapak selama waktu dirumah. Hanya, aku ingin sesekali kita berhubungan bukan layaknya guru dan murid. Boleh kan pak?"

Pak Gibran kembali di kejutkan oleh sikap Khanza yang kian berani berkata demikian.

"Baiklah, kemarikan ponselmu." Dengan luluh pak Gibran mengetik angka nomor ponselnya di layar ponsel Khanza yang sudah sejak tadi di sodorkan kepadanya.

Tanpa di duga Khanza dengan sigap mengecup pipi pak Gibran ketika masih dengan serius mengutak atik ponsel Khanza. Seketika pak Gibran menoleh ke arah Khanza dengan wajah memucat.

"Terimakasih pak, hihi."

Lalu dengan gesit Khanza meraih ponselnya di tangan pak Gibran kemudian dia berlari cepat menuju meja kasir lebih dulu. Sembari menahan kegelisahannya Khanza terus menggerakkan kakinya menunggu transaksi pembayaran cepat terselesaikan.

Namun tak terduga pak Gibran sudah berdiri di sisinya. Membuat Khanza terkejut kembali dan menahan malu akan sikapnya tadi.

"Totalnya xxxxx nona." Ucap kasir tersebut pada Khanza.

"Apa? E,eh.. Ba-nyak sekali..." Jawab Khanza dengan suara lirih. Dia benar-benar terkejut dengan nominal angka yang di sebutkan oleh kasir. Tanpa ia sadari apa saja yang dibelinya tadi sehingga begitu mahal baginya.

"Saya yang akan membayarnya. Sekalian dengan ini di transaksi ya." Ujar pak Gibran tiba-tiba di depan kasir. Semakin membuat wajah Khanza memerah menahan malu dan gelisah. Dia hanya meringis melirik sesekali ke arah pak Gibran.

Sampainya diluar minimarket, Khanza berhenti tepat di depan mobil yang di kendarai pak Gibran. Ia menoleh ke belakang saat pak Gibran berjalan menyusulnya dari belakang.

"Pak, te..terimakasih. Sudah membayar semua belanjaan Khanza," Ujarnya dengan kikuk.

Pak Gibran tersenyum manis menatap wajah Khanza yang malu-malu sembari menggaruk-garuk kepalanya dengan sangat lugu terlihat.

"Besok-besok. Jangan main sembarang mencium pipi bapak di tempat umum, nanti kalau ada yang melihatnya bagaimana? Bapak akan dikira menjalin hubungan dengan anak remaja. Sedangkan bapak sudah tampang om-om begini."

"Siapa peduli. Aku juga tidak malu melakukannya lagi, hehe. Bagi Khanza bapak bukan om-om, tapi laki-laki dewasa yang super tampan dan berwibawa."

"Dasar kamu ini, gadis nakal. Sudah, kali ini bapak memaafkan mu. Ehm, satu lagi. Jangan menyebar luaskan nomor bapak untuk kepentingan pribadimu, bapak tidak mau semakin banyak yang mengganggu."

"Wah, pasti banyak sekali yang sudah menghubungi nomor bapak ini. Hmm.. Aku kalah skor nih," Jawab Khanza menggoda kembali pak Gibran, rasa gelisah dan malunya tadi kembali mencair.

"Ah, kamu ini. Ada-ada saja, tunggu sebentar..Ehm," Ucapan pak Gibran terhenti dengan melihat sekeliling.

"Kamu kemari berjalan kaki?" Tanya pak Gibran kembali.

"Aku naik sepeda mini, itu..." Jawab Khanza sembari menujuk sepeda mini kebanggaannya yang di parkir dekat sebuah tiang depan mini market tersebut.

"Sendiri? Ini sudah malam, tidak baik bagi anak perempuan berjalan sendirian. Rumah mu jauh?"

"Ciye, bapak mulai khawatir nih ma aku? Mau ku cium lagi gak nih?"

"Heeey, bapak serius. Jangan bercanda,"

"Upz, baiklah. Bapak jangan khawatir, aku sudah biasa sendiri ke mini market ini. Lagi pula rumah Khanza hanya beberap ratus meter saja dari arah sini,"

"Bagus lah, jika begitu bapak duluan ya. Jangan tidur larut malam, supaya tidak mengantuk di sekolah besok dan semangat." Ucap pak Gibran mengusap kepala Khanza dengan lembut.

"Siap pak. Bapak tenang saja, sejak bapak mengajar di sekolah aku selalu semangat belajar dan pergi kesekolah. Hihi,"

"Bagus.. Ya sudah ya, bapak duluan." Pamit pak Khanza yang kemudian memasuki mobilnya.

Khanza masih berdiri menatapnya. Lalu pak Gibran membuka kaca jendela mobilnya, dan menengadahkan kepalanya.

"Apa lagi yang aku tunggu, cepat pulang sana."

"Ehm, kalau aku chat bapak setelah ini. Apakah akan di balas?"

"Oh Tuhan, baiklah... Bapak akan membalas sampai kau lelah sendiri nantinya."

"Kyaaaaa... Sungguh?"

"Hmm..." Jawab pak Gibran singkat, dengan menggelengkan kepalanya melihat tingkah lucu Khanza yang kegirangan akan jawabannya tadi.

"Baik lah, Khanza akan segera pulang. Hati-hati mengemudi di jalan pak, sampai jumpa besok. Jangan lupa mimpikan Khanza saat tidur nanti, bye bye..." Jawab Khanza melambaikan tangan nya seraya berbalik menjauh menuju sepeda mininya.

Dia begitu senang dan merasa puas telah mendapat jawaban yang tak terduga dari seorang guru yang di kaguminya saat ini.

Pak Gibran tersenyum dengan terus menatap Khanza sembari melambaikan tangannya pula, tanpa ia sadari.

"Astaga, apa yang ku lakukan? Konyol sekali. Tapi Khanza adalah murid yang sangat lucu, selain yang tercantik di sekolah dia juga cukup pintar."

Pak Gibran mulai bergumam dengan sendirinya menatap Khanza dengan senyuman yang terus berlalu pergi dari pandangan nya.

"Aaah, ada apa dengan ku ini? Kenapa jadi aku yang terkesan konyol karena ulah anak itu."

Ia menyadari akan dirinya yang mulai terhipnotis oleh sikap Khanza. Kemudian melajukan mobilnya dengan cepat untuk segera pulang kerumah.

*****

Sejak itu, pertemuan yg tak sengaja dan kekonyolan Khanza dengan pak Gibran di sebuah minimarket. Hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Sering kali Khanza mengirim pesan singkat dan di balas hangat oleh pak Gibran.

"Yank, beberapa hari ini kamu kemana aja sih jarang hubungi aku?" Tanya Khanza, hari ini diam-diam dia menemui Jordy di sekolahnya di jam pelajaran sedang berlangsung.

"Apa kau gila, ini jam masih jam pelajaran. Kenapa kau mengajakku bolos hah?" Jawab Jordy tegas.

"Aku.. Maafkan aku, aku tidak tahan lagi. Kau berubah, kau jarang menemui dan menghubungiku. Katakan jika aku berbuat salah padamu, jangan mengacuhkan ku begini." Ucap Khanza dengan nada kesal.

"Aku hanya sibuk."

"Bohong. Kau sengaja bukan menghindariku?"

"Bukan kah kau yang lebih dulu berubah dan mengacuhkan ku sejak malam itu?"

Khanza terkejut mendengar ucapan kekasihnya itu, dia menyadari bahwa ucapannya benar adanya. Sejak malam itu, sejak mereka melakukannya dengan mengatas namakan cinta, Khanza berubah cuek, membuat Jordy merasa bersalah akan hal yang telah di lakukannya.

"Aku... Hanya..."

"Apa kau menyesal telah melakukannya untuk ku Khanza?" Tanya Jordy kembali, menyela ucapan Khanza yang terlihat gugup.

"Lalu bagaimana dengan mu Jordy?"

"Aku melakukannya karena aku ingin kau seutuhnya menjadi milikku, aku mencintaimu. Aku ingin kau jadi wanita terakhirku," Jawab Jordy dengan menyentuh kedua bahu Khanza untuk di hadapkan nya padanya.

"Jika begitu, lalu kenapa kau berubah. Apa kau tau bagaimana pikiranku sejak malam itu?"

"Aku pasti akan menikahimu, tapi bersabarlah. Setelah ini aku harus kuliah dulu dan memiliki pekerjaan yang layak, aku harus sukses." Ucap Jordy menegaskan.

Khanza terdiam. Hatinya sedikit terpukul akan jawaban kekasihnya kali ini, jawaban yang seolah membuat Khanza menyesali hal yang di lakukannya. Mulutnya bagai terkunci, hatinya bagai bergejolak menahan luapan emosi.

"Baiklah Jordy, maafkan aku. Aku sadar siapa aku kali ini,"

"A,apa maksudmu?" Jordy terkejut dan mulai salah tingkah.

"Aku tahu. Aku gadis biasa saja, aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Kau tidak mungkin menikahiku setelah ini,"

"Hey, apa yang kau pikirkan itu? Menikah? Hahaha, ayo lah sayang. Jangan bercanda, bagaimana mungkin kita menikah di usia muda?"

"Lalu kenapa kau melakukannya padaku malam itu, bagaimana jika setelah ini aku..."

"Tenang saja. Semua aman kok sayang, jangan berpikir macam-macam ya. Dan ku mohon jangan menuntutku untuk cepat-cepat menikahimu," Ucap Jordy sembari memeluk Khanza. Tubuh sintal Khanza terlihat tenggelam dalam dekapan tubuh gagah Jordy.

"Kau tau aku tidak mungkin melanjutkan pendidikanku lagi, biaya nya pasti akan lebih mahal. Aku tidak ingin membebani orang tua ku lagi Jordy, kasihan mereka."

Jordy terdiam tanpa kata dengan terus mempererat pelukannya pada tubuh Khanza. Begitu pula Khanza mendekap penuh kehangatan, merasakan pelukan Jordy yang semakin erat.

"Katakan padaku, setelah ini.. Apakah kau akan memberiku kesempatan lagi?" Tanya Jordy dengan melepas pelukan nya, lalu menyentuh kedua pipi Khanza sehingga kepala nya mendongak ke hadapannya.

"Kesempatan apa lagi?" Tanya Khanza dengan wajah lugunya.

"Ah, sayang. Kenapa kau belum juga mengerti, kita berpacaran sudah cukup lama." Jawab Jordy dengan gemas.

Khanza menatap kedua mata kekasihnya itu, seketika Khanza tersipu malu. Seolah mengerti yang di inginkan oleh Jordy. Kemudian Khanza mengangguk pelan tanda setuju.

"Aku ingin sekarang," Pinta Jordy dengan lembut sembari mengecup lembut bibir ranum Khanza. Lagi lagi Khanza luluh dan mengangguk mantap.

🍁🍁🍁

Malam tiba...

Tanpa Khanza duga, di sela waktunya belajar. Pak Gibran menelponnya, dengan terkejut dan gelisah yang bercampur aduk dengan rasa senang di hatinya. Ia menerima panggilan di ponselnya dengan telapak tangan yang mulai basah oleh keringat.

"Ha..halo," Jawab Khanza dengan nervous.

"Kau bolos sekolah hari ini." Jawab pak Gibran di ujung ponselnya.

"Hehe, apakah bapak merindukan ku?"

"Apa terjadi sesuatu? Atau kau sakit? Kenapa tidak izin atau mengabariku?"

"Ciye, kali ini sudah mengganti kata dengan sebutan aku ya?" Balas Khanza dengan candaan.

Pak Gibran terdiam tak bersuara, dalam hatinya ia terkejut dan menahan diri. Bergumam dalam hati entah ada apa dengannya kali ini.

"Ehm.. Maksud bapak, kenapa kau bolos sekolah hari ini Khanza?"

"Yah, kembali lagi deh pake kata bapak." Jawab Khanza dengan menghela nafas panjang.

"Baiklah, jika tidak menjawabnya tak apa. Asal kau baik-baik saja."

"Tunggu pak, jangan menutup teleponnya dulu. Khanza rindu suara bapak, setelah seharian ini tidak bertemu."

Di lain tempat, pak Gibran tersenyum malu namun masih berusaha menahan diri.

"Kau ini, selalu saja menggoda bapak. Bagaimana nanti jika bapak jadi beneran suka sama kamu Khanza?"

"Ya gapapa dong, Khanza pasti lebih bahagia nantinya."

"Hust, bapak sudah om-om."

"Tapi bapak tampan, tidak terlihat tua seperti om-om. Pokoknya Khanza suka bapak,"

"Hahaha, nakal kamu."

Malam semakin berlarut, semakin memanas perbincangan mereka melalui telepon. Pak Gibran terhanyut akan perbincangan dan candaan serta godaan Khanza yang terus saja berceloteh dengan riang. Membuat pak Gibran lupa jika saat ini dia masih sedang berada diluar rumah.

Hingga tanpa sadar, jam menunjjukkan pukul 2 pagi. Saat menyadari Khanza tak lagi mengeluarkan suara celotehnya sejak tadi, pak Gibran tersenyum menggelengkan kepalanya ketika mendengar desah alur nafas Khanza yang sesekali mengeluarkan suara mendengkur.

"Selamat tidur Khanza, terimakasih sudah mau berbagi cerita dan menghibur ku malam ini." Ucap pak Gibran seraya mematikan panggilannya.

Menjelang pagi, Khanza terkejut dengan suara ketukan pintu diluar kamarnya. Matanya terbelalak seketika, kepalanya terasa pening. Ia mencoba melirik jam digital di dekat ranjang tidurnya.

Seketika Khanza beranjak bangun dan berlarian ke kamar mandi dengan cepat. Sembari terhuyung-huyung dan beberapa kali terbentur pada dinding tembok. Dengan secepat kilat Khanza keluar dari kamar.

"Kapok loh, kesiangan kan." Ujar kakak Khanza meledeknya.

"Bodo amat, ih. Kenapa gak ngebangunin Khanza sih kak?" Jawab Khanza mendecak kesal.

"Astaga, apa kau tidak mendengarnya? Kakak sudah membangunkanmu berkali-kali. Untung saja pintu kamar mu tidak roboh,"

"Maaf... Semalam Khanza bergadang."

"Sudah sana, pergi kesekolah nanti terlambat."

"Baik lah, bye.. Eh, ibu dimana?"

"Balik lagi ke pasar, sudah sana."

Khanza hanya mengangguk lalu dengan cepat meraih sepeda mini andalannya. Dengan cepat mengayuh tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, dalam hatinya sesekali bergumam dengan umpatan.

Namun hatinya semakin semangat pergi ke sekolah, baginya kini pak Gibran sudah menganggapnya lebih dari sekedar murid kesayangannya. Suatu hari pak Gibran akan menganggapnya sebagai pacar, tak peduli apapun alasannya.

"Upz, apa yang ku pikirkan ini? Konyol sekali. Ah, aku sudah gila. Jika Jordy tahu ini, aku pasti akan mati."

avataravatar
Next chapter