6 Jengah...

Memasuki halaman sekolah, dengan tergesa-gesa Khanza memarkir sepeda mininya kemudian berlari tunggang langgang. Dari kejauhan sana sudah berdiri sahabat nya, Chika. Bel masuk kelas hanya tinggal 5 menit saja, membuat Chika menatapnya tajam saat Khanza tiba di hadapannya.

"Huhft... Syukur lah, belum terlambat masuk kelas." Khanza mengeluh dengan nafas terengah-engah sembari membungkukkan tubuh dan menggantungkan tangannya di bahu Chika.

"Ini kali pertama kau hampir terlambat masuk kelas. Ada apa Za?" Tanya Chika dengan nada mengintrogasi.

"Aduh sory, semalam aku bergadang. Jadi kesiangan deh bangunnya," Jawab Khanza dengan melewati Chika masuk kelas lebih dulu.

"Sejak kapan kau gemar bergadang, kau kan ratunya tidur." Ucap Chika mengejar Khanza dari belakang hingga Khanza tiba di kursi duduknya.

"Aku juga tidak percaya akan hal itu, tapi walau bagaimanapun aku menyukainya. Meski akhirnya pagi ini, aku sungguh sangat mengantuk. Aaarght..." Jawab Khanza mengeluh, menghempasakan kepalanya terjatuh diatas meja.

"Iih, kau mulai enggan berbagi cerita dengan ku ya." Chika mendecak kesal.

"Semalam aku berbincang banyak dengan pak Gibran, dan itu seru sekali. Aku jadi masih terngiang-ngiang suaranya di telingaku." Jawab Khanza dengan memejamkan matanya.

"So what??? Gila ya, lu Khanza. Apa-apaan? Sejak kapan kau mempunyai nomor ponsel pak Gibran?"

"Pelankan suaramu miss tobat. Aku sudah lama menyimpannya, hihi. Aku sengaja tidak memberitahumu, dan benar saja. Kau begitu heboh kan?" Ujar Khanza membuka matanya melihat ke arah Chika yang duduk di sebelahnya.

"Apa Jordy tahu hal ini?"

Suara Chika melirih seketika.

"Belum lah, aku memang sengaja tidak memberitahunya. Lagi pula, untuk apa? Bukan kah pak Gibran itu guru ku?"

Chika terdiam sejenak, menatap tajam wajah Khanza. Membuat Khanza gelisah dan melempar bola matanya berputar-putar ke atas.

"Khanza, apa kau sungguh hanya menganggapnya guru kita?" Ucap Chika.

"Aduh, Chika. Kau tenang saja, cintaku ini hanya pada Jordy ku seorang." Jawab Khanza dengan senyuman meyakinkan sahabatnya yang kini mulai mencurigainya.

Tak berapa lama kemudian, bel masuk kelas berbunyi. Pak Gibran memasuki kelas dengan menggandeng tas tempatnya menyimpan beberapa perlengkapan buku untuk menyampaikan materi pembelajaran di kelas.

"Selamat pagi, bapak akan membagikan lembar jawaban kalian di soal yang beberapa hari lalu. Nilai di bawah 70 bapak minta untuk mengulang soal yang sama dan wajib mendapatkan nilai 75 dari bapak."

"Huuuuuuuh...."

Tampak semua siswa siswi menyeru dengan keluhan. Sementara Khanza mengedipkan salah satu matanya ketika pak Gibran mendaratkan pandangannya pada Khanza.

"Khanza, kemari !!!" Panggil pak Gibran, membuat Khanza terkejut dan salah tingkah.

Mampus gue. Jangan-jangan karena sikapku barusan aku dipanggil ke depan kelas, aduuuh...

Gumam nya dalam hati sembari berjalan dengan kikuk menuju ke depan kelas.

"Bantu bapak bagikan ini ke teman-teman kamu."

"Fiuht..." Khanza mengeluh dengan nafas panjang.

Pak Gibran menyernyit.

"Ada apa?"

"Ti..tidak apa, saya pikir bapak akan marah."

"Marah kenapa?" Tanya pak Gibran kembali,

"Ehm, lupakan. Saya akan membagikan ini segera," Jawab Khanza dengan cepat meraih lembaran tumpukan kertas di tangan pak Gibran.

Pak Gibran tersenyum menanggapinya. Dan setelah melihat nilai yang di peroleh Khanza kali ini, dia begitu antusias dan melompat bahagia menari-nari. Tampak semua siswa siswi di kelas menyeru padanya.

🍁🍁🍁

Hari berganti hari Khanza dan pak Gibran semakin dekat dan akrab. Mereka mulai saling memberi ucapan kata manis sebelum lelap tidur, bahkan mulai berani saling menggoda nakal sesekali.

"Khanza, apa kau sibuk?" Panggil ibu Khanza diluar kamar.

"..."

Khanza tak menjawab.

"Khanzaaa," Panggil ibu nya lagi dengan menggedor pintu kamar Khanza lebih keras.

Seketika Khanza melompat dari atas ranjang nya dan menuju pintu kamar untuk membukanya.

"A,ada apa sih bu? Apa kau sedang marah pada ayah? Kenapa marah begitu pada pintu kamar ini."

"Apa yang kau lakukan sejak tadi ibu memanggilmu?"

"Hehe, Khanza terlalu asyik membalas pesan di ponsel Khanza. Ada apa bu?" Tanya Khanza sembari melepas ujung headset di telinganya.

"Ada yang ingin ibu tanyakan padamu."

Khanza terdiam sejenak, dilihatnya ayah nya tengah duduk lebih dulu diruang tamu. Seolah menunggunya menghadap saat ini juga. Khanza melangkah maju menghampiri ruang tamu dengan gugup.

"Ada apa? Serius banget sih, ayo lah. Jangan menatap wajah Khanza begitu ayah," Ujar Khanza berusaha mencairkan suasana yang kini terasa tegang.

"Khanza, bagaimana hubunganmu dengan nak Jordy?"

Degh !!!

Khanza terhentak akan pertanyaan ayahnya yang secara tiba-tiba. Ia terdiam, berusaha tetap tenang. Dan mulai menyadari jika sudah satu minggu berlalu Jordy tanpa kabar.

"Jordy... Ehm, Kami baik-baik saja ayah. Ada apa?"

"Lalu kenapa dia tidak pernah lagi datang kerumah ini Nak, selama kalian bersama Jordy selalu datang kerumah ini hampir setiap hari. Apa kalian bertengkar?" Tanya ibu Khanza.

"Eh, anu.. Ibu kan tahu, jika aku dan Jordy tidak pernah ada pertengkaran. Kami selalu harmonis, hanya saja Jordy sibuk beberapa hari ini di sekolahnya."

Jawaban Khanza kali ini membuat kedua mata orang tuanya semakin tajam menatapnya. Khanza semakin gelisah, tidak berani mengangkat kepalanya.

"Hehe, ayo lah.. Percaya ada Khanza, jangan mendette begitu. Khanza takut nih, aaah ibu... Katakan pada ayah jangan menatap Khanza seseram itu."

"Ayah hanya tidak ingin kau bersikap yang akan membuat keluarga Jordy kecewa pada kami. Kau harus menikah dengan Jordy apapun alasannya, kau satu-satunya harapan kami untuk merubah kondisi ekonomi keluarga ini." Ucap tegas ayah Khanza.

"Apa kau paham Nak?" Ucap ibu Khanza menambahkan.

"Baik. Kalian tenang saja, Khanza dan Jordy pasti akan menikah." Jawab Khanza menundukkan wajahnya lalu melangkah masuk menuju kamarnya.

Gubrak !!!

Ia menutup pintu kamarnya dengan keras. Lalu Khanza berdiri di balik pintu nya, melihat sekeliling kamarnya. Ia berusaha menelpon Jordy, namun tak kunjung tersambung. Khanza mulai kesal, hatinya bergetar hebat, kegelisahan mulai menyelimutinya.

Hingga jam menunjukkan pukul 1 pagi, Khanza tetap melakukan panggilan telepon pada Jordy. Tak ada respon, meski panggilan teleponnya tersambung. Beberapa kali Khanza mengirimkan pesan singkat tak satupun terbaca dan terbalas.

"Baiklah Jordy, kau yang memaksaku bukan? Aku akan menemuimu langsung di sekolah besok. Aku tak peduli kau akan marah akan kehadiran ku di sekolah yang selalu kau banggakan itu." Ucap Khanza dengan sendirinya.

Kemudian dia mencoba terlelap dalam tidur, untuk perlahan menata hati nya yang berkecamuk untuk tetap berpikiran positif. Dalam hatinya masih berharap Jordy dapat ia percaya, akan menjadikannya istri apapun alasannya nanti. Khanza tak ingin mengecewakan hati kedua orang tuanya yang telah berharap lebih padanya. Jordy kini telah berubah, selalu menghilang tanpa mengabarinya.

avataravatar
Next chapter