20 Dea

Khanza berusaha menahan tangisnya di cermin toilet. Dia tatap wajahnya dengan lekat, sekujur tubuhnya yang sedikit lemas karena di habisi oleh pak Gibran tadi, di jamahnya tanpa ampun.

"Kau sudah hancur, Khanza. Di usiamu kini, yang seharusnya kau menikmati indahnya jalinan kasih dengan sesama usiamu, tapi kau malah menjadi tawanan suami orang saat ini. Sejak awal bukan kah kau sudah siap dengan segala resiko ini? Lalu apa? Kenapa kau begitu merasa di rendahkan oleh wanita tadi hah?"

Dengan henbusan nafas kesal, Khanza menyeka air matanya dengan kasar. Lalu beranjak pergi keluar dari ruang toilet. Langkahnya berat, sejenak dia melirik pada pintu kelas tempatnya tadi melewati segala desahan dan sentuhan hangat pak Gibran.

"Huh, sudahlah. Aku akan terbiasa, aku hanya perlu menutup mata dan telinga untuk tetap mempertahankan hubungan ini dengan pak Gibran." Ujarnya lagi lalu terus berjalan menuju ruang aula kembali.

Sesampainya di ruang aula, Khanza menoleh ke arah depan, mencari-cari sosok pak Gibran. Setelah kedua mata mereka saling bertemu, pak Gibran melempar senyuman tipis padanya. Khanza tak membalas, malah ia melempar tatapan sinis pada Dea yang duduk di sebelah Pak Gibran hingga terkesan begitu menempel.

"Lama banget sih, Za? Aku hampir saja menyusulmu, tapi..." Ucapan Chika terhenti ketika Khanza sudah kembali duduk sisinya.

"Tapi apa?" Cetus Khanza.

"Melihat pak Gibran tidak ada juga. Aku baru peka, hihi... Kalian pasti sedang... Ehhem." goda Chika.

"Cih, apaan sih. Harusnya elu juga sadar, siapa saja yang tidak ada diruangan ini selain gue dan pak Gibran." Khanza semakin bersungut-sungut.

"Eng? Siapa lagi? Aku hanya mengira kau dan pak Gibran saja yang sengaja keluar dari ruangan ini."

"Huh, kau lihat saja wanita itu." Tunjuk Khanza dengan sedikit mendongakkan dagunya.

"Siapa?" Chika mencari-cari sosok yang Khanza maksud.

"Oh, si wanita seksi itu. Apa kau... Ketahuan oleh wanita itu? Ya ampun. Apa sungguh?" Chika menutupi mulutnya untuk menahan suaranya yang sedikit keras.

"Cikha, sekali lagi kau berbicara keras-keras aku akan menyumpal mulutmu." Ancam Khanza dengan bersungut-sungut.

"Iya, iya. Maafkan aku, jangan marah begitu dong."

Jelang satu jam, acara berakhir dengan kepuasan yang terlihat dari beberapa guru serta kepala sekolah. Dan sepertinya Dea sangat menjadi sorotan dari sekian tamu undangan yang hadir.

"Za, ayo kita kesana. Apakah kau tidak ingin mengucap kata salam sebelum pulang dengan guru plus pacar tampan mu itu? Hihi."

"Sudah lah, aku malas. Kita pulang saja, aku sudah lelah." jawab Khanza dengan kesal.

"Eh, baiklah. Jika itu mau mu, ku harap kau tidak menyesal nantinya. Hihi," balas Chika lagi menggoda sahabatnya yang kini sudah menekut wajahnya menahan rasa cemburunya.

Di lain tempat. Dea seakan sengaja tak ingin melepaskan pandangannya sedikitpun dari pak Gibran, dia tak ingin kecolongan tentunya. Mengingat pertemuannya tadi dengan Khanza, Dea merasa kesal yang tertahan di hati.

"Pak, bisakah kita bicara berdua sebentar?" tanya Dea ketika kini hanya tinggal dia dan pak Gibran berdua saja. Sementara para dewan guru dan yang lainnya masih sibuk mengobrol dengan beberapa tamu undangan.

"Ada apa, Dea?"

"Apa saat ini kau lagi-lagi terjebak dalam hubungan terlarang dengan salah satu murid disini?"

Pak Gibran terkejut akan ucapan uang Dea lontarkan.

"Apa yang kau maksud?"

"Sebaiknya kau jujur padaku, aku tahu. Kau sedang menjalani hubungan mesum dengan siswi yang bernama Khanza. Iya bukan?"

"E,eh.. Aku... Ti-tidak. Kau bagaimana bisa menuduhku demikian, aku tidak segila itu. Bagaimana mungkin aku berpacaran, aku tidak berselingkuh dari Bianca, terlebih lagi dengan muridku sendiri."

"Sudah lah, Khanza sudah mengakuinya semua padaku. Lagi pula, tidak perlu sok suci untuk bilang kau tidak mungkin selingkuh dari bu Bianca. Sementara dulu kita..."

"Dea. Sudah, jangan membahas tentang kita yang dulu lagi. Kau sudah memiliki kekasih yang jauh lebih baik. Ingat itu, dan tentang Khanza sebaiknya kau diam saja. Jangan terlalu ikut campur urusan ku lagi."

"Kau bilang tidak akan pernah lupa dengan segala apapun yang pernah kita lakukan saat itu, pak." bantah Dea kemudian.

Pak Gibran merasa jika Dea berbicara terlalu keras. Lalu dia menarik tangan Dea untuk di bawanya ke ruang kelas yang sepi, yang tidak akan ada satupun orang mendengar perbincangan mereka nanti.

"Dea, pliss. Jangan beranggapan seolah kita bisa seperti dulu lagi. Jangan pernah sekalipun membeberkan kegilaan kita dulu, kita sudah sepakat tentang hal itu bukan?" ujar pak Gibran saat sudah tiba di ruang kelas yang begitu gelap dan sepi.

"Tapi kau lupa dengan janjimu, pak. Bahwa hanya aku yang akan menjadi satu kesalahan terbesarmu, tidak akan pernah kau ulangi kegilaan itu."

"Maafkan aku, Dea. Biarkan ini menjadi caraku untuk melepaskan diri dari ini semua." jawab pak Gibran lirih.

Tiba-tiba saja Dea memeluk tubuh pak Gibran, tubuhnya yang sintal begitu erat menempel ke tubuh pak Gibran.

"Katakan padaku, apakah Khanza jauh lebih hebat dalam memuaskanmu daripada aku dulu?"

"Dea!!!"

Pak Gibran mendorong Dea dengan sedikit kasar. Dia tak ingin sesuatu yang lebih akan terjadi lagi diantara mereka, karena Dea adalah wanita yang hyper sekss. Tentu saja, ini bukan waktu yang tepat jika saja pak Gibran masih mudah tergoda oleh Dea.

"Pak, kau kasar sekali. Tidak bisakah kau bersikap lembut seperti dulu lagi?" Dea tampak sangat marah.

"Ayo kita pulang, aku akan mengantarmu ke hotel. Ini sudah larut." ujar pak Gibran mengabaikan ocehan Dea. Padahal dalam hati, pak Gibran sedang tergesa-gesa untuk menemui Khanza lagi.

"Apa kau sungguh jatuh cinta pada tikus kecil itu, pak?" tanya Dea dengan menarik lengan pak Gibran.

"Dia memang tikus kecil, tapi pikiran dan hatinya jauh lebih dewasa dan selalu berpikir positif."

"Hahaha, oh ya? Heh, apa kau sedang membandingkan ku dengan tikus kecil itu saat ini?"

"Dea, sudah lah. Jika kau ingin pulang sendiri, aku akan meninggalkan mu disini, aku akan pulang lebih dulu."

Gubrak!!!

Pak Gibran keluar ruangan lebih dulu lalu menutup pintu kelas dengan membantingnya. Dia sedikit kesal juga malu, karena Dea begitu cepat memahami hubungannya dengan Khanza yang selama ini terjaga cukup rapat.

Sementara di dalam kelas, Dea berteriak. Dia merasa kesal, juga terhina. Dia yang saat ini sudah menjadi wanita yang sesungguhnya, menjadi sosok yang sangat pintar dan seksi juga anggun, siapa yang tidak akan takluk padanya saat ini. Namun di hati pak Gibran yang masih dia inginkan, ada Khanza. Seorang gadis yang lebih muda darinya, mampu menggeser posisinya di hati pak Gibran.

avataravatar
Next chapter