webnovel

Batas cemburu

Sejak malam itu, sudah tiga hari berlalu. Khanza terus menghindari pak Gibran, sementara Dea selalu datang dengan tiba-tiba dengan alasan sebagai donatur di sekolah. Membuat pak Gibran sedikit membatasi sikapnya pada Khanza. Karena jika tidak, Dea akan membuat masalah tentunya. Dea memang sedikit licik, bahkan dengan Bianca, istri sah pak Gibran dia pun masih belum berani bertatap muka.

Pak Gibran mulai di buat gelisah dengan sikap Khanza yang berubah tanpa sebab, dalam hatinya kadang bertanya. Apakah Khanza masih cemburu pada Dea? Atau... Apa salahku? Pak Gibran bertanya-tanya sendiri dalam hatinya.

Pak Gibran semakin kelimpungan ketika kini Khanza sudah berani menonaktifkan ponselnya. Tentu saja pak Gibran semakin merasa bersalah, beberapa kali pak Gibran mencari kesempatan agar bisa berbicara berdua saja dengan Khanza. Namun Khanza seolah sudah bisa membaca trik yang pak Gibran gunakan.

"Chika, bisa bapak bicara sebentar?" Panggil pak Gibran menyapa Chika yang di ketahuinya adalah sahabat dekat Khanza sejak dulu. Kebetulan Chika sedang berjalan sendiri dari toilet dan melewati ruangan pak Gibran.

"Eh, ya? Ada apa pak?" Tanya Chika menghampiri dengan ragu.

"Maaf. Jika bapak harus terpaksa memanggilmu dalam hal ini, ehm.. Bapak..."

"Soal Khanza?"

Pak Gibran terkejut mendengar tebakan Chika yang tak tanggung-tanggung. Beruntung suasana di ruangan itu hanya ada pak Gibran dan Chika berdua saja.

"Hihihi, tenang saja pak. Jangan kaget begitu, aku sudah tau hubungan kalian semua. Termasuk... Ehhem, di malam perayaan itu kalian sedang menggila."

Pak Gibran kian melotot, lantas memalingkan wajahnya karena merasa malu.

"Lalu apa yang mau bapak sampaikan?" tanya Chika lagi dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

"Ehm, itu.. Hah, baiklah. Karena kau sudah tahu semuanya, bapak mau minta tolong sama kamu Chika. Akhir-akhir ini Khanza menghindari bapak, bahkan dia menonaktifkan ponselnya. Bapak tidak tahu apa salah bapak, apakah dia sudah memiliki kekasih baru?"

"Hahaha. Bapak lucu sekali, padahal sudah punya anak dan istri. Tapi sikap bapak masih seperti anak remaja saja, Emm.. Khanza memang sedang marah sama bapak. Dia cemburu pada kakak yang datang bersama bapak di malam itu, karena dia sudah mengancam Khanza untuk tidak mendekati bapak dulu. Wah, ternyata bapak di kejar banyak perempuan muda. Ups," Chika menutupi mulutnya dengan lima jarinya. Merasa jika terlalu jauh melontarkan kata.

Ya ampun Tuhan, maafkan aku. Sudah kasar berbicara pada yang lebih tua, terlebih dia masih guruku.

Ujar Chika dalam hatinya.

"Hah, sudah ku duga."

"Apanya pak?" tanya Chika dengan wajah lugu.

"Kembalilah ke kelas, sebentar lagi bel jam masuk. Terimakasih sudah mau memberitahu bapak."

"Eng? segitu aja? Apa perlu bantuan Chika pak?"

Pak Gibran diam menatap Chika sesaat, mengatupkan kedua bibirnya lalu menarik nafas dalam.

"Tidak, terimakasih. Bapak akan menyelesaikan ini sendiri dengan Khanza."

"Baiklah, eh tunggu. Saya sebagai sahabat Chika apakah boleh meminta pada bapak?"

"Apa itu, Chika?"

"Jangan permainkan hatinya, meski jujur Chika tidak setuju dengan hubungan kalian. Sementara Khanza begitu polos, dia menjadi liar dan bengal karena Jordy yang merusaknya demikian."

Jleb!!!

Jantung hati pak Gibran serasa bagai di tusuk panah api, dia merasa jika tutur kata Chika barusan menamparnya karena menganggap dia hanya sebagai om-om hidung belang di luar sana.

"Chika..."

Teeeet... Teeet...

"Ya udah pak, Chika balik kelas dulu."

Tanpa menoleh ke belakang lagi, Chika langsung menutar badannya berlari keluar dari ruangan pak Gibran, padahal pak Gibran belum selesai berbicara.

"Huhft... Rasanya, aku lah yang paling bersalah disini bukan?" ucap pak Gibran kala sendiri.

*****

Sore hari, Khanza sedang bermalas-malasan di kursi santai teras depan rumahnya. Ibu nya menghampiri, dilihatnya Khanza hanya diam dengan wajah di tekuk lesu.

"Gak main sepeda?" tanya ibu Khanza.

"Lagi malas, bu." jawab Khanza tanpa menoleh kepada ibunya.

"Hmm.. Tumben? Kalau begitu ikut ibu saja, ayo.."

"Kemana?"

"Jalan sore. Ibu sekalian mau beli sesuatu di minimarket."

"Huh, ya deh." jawab Khanza setuju. Tanpa gono gini lagi, Khanza langsung saja menaiki motor yang di kemudi ibunya di depan. Ibunya menoleh sebentar ke belakang, untuk memastikannya.

"Za, ganti dulu bajumu. Astaga, itu baju sudah compang camping begitu. Tipis pula, atau pakai jaket aja dulu sana." titah ibunya.

"Aduh, ibu. Di dalam ada kakak bukan? Entar malah di todong minta snack banyak. Malas debat ah, sama kakak."

"Hah, kalian." Ibu nya sedikit mengomel sembari melajukan motor bututnya. Dengan manja Khanza memeluk pinggang ibunya dari belakang. Dalam hatinya dia berpikir, tubuh ibunya yang masih terlihat seksi dan sintal.

"Bu..." panggil Khanza di tengah perjalanan.

"Hmm..." jawab ibunya berdehem.

"Apakah ibu selalu merawat dan menjaga tubuh ibu ini?"

"Iya dong. Seorang wanita wajib menjaga tubuh dan merawatnya dengan baik, agar pasangan kita betah."

"Apakah ayah pernah memuji kecantikan ibu?"

"Hmm... Jangan bertanya, ayahmu itu selalu gombal. Hanya saja sedikit galak, tapi dia takut sama ibu."

"Aku rasa memang juga tidak ada yang berani pada ibu ku ini, hehe."

Ibu Khanza tersenyum tipis menoleh sebentar ke arah Khanza di belakang. Tak lama kemudian mereka tiba di minimarket yang di tuju. Khanza berjalan mengikuti ibunya setelah memarkir motor, mengekor di belakang ibunya.

Tanpa sepengetahuan Khanza pak Gibran pun datang ke minimarket tersebut. Pak Gibran sengaja datang ke tempat itu hampir setiap hari karena berharap mungkin akan bertemu dengan Khanza tanpa di sengaja. Padahal pun, Khanza sudah berada di dalam bersama ibunya.

Ibu Khanza mulai memilih beberapa bumbu instan di dapur, begitupun Khanza memilih beberapa mie instan kesukaannya. Hingga ia berjalan menuju tempat snack ringan dimana pak Gibran sudah berada lebih dulu.

"Eh..."

Khanza terkejut ketika saling bertatap-tatapan dengan pak Gibran. Lalu kemudian dengan cepat Khanza berpaling hendak pergi.

"Za, Za... Tunggu!" dengan cepat pak Gibran menarik lengan Khanza dan menggenggamnya sangat erat.

"Khanza, tolong jangan menghindariku terus. Aku tahu aku salah, tapi jangan begini. Aku dan Dea tidak ada hubungan apapun, kenapa kau begitu tidak mempercayaiku?" Ujar pak Gibran dengan nada melas.

"..."

Khanza masih terdiam dengan menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu perlahan melepaskan genggaman tangan pak Gibran.

"Aku datang bersama ibu ku, jadi tolong jangan membahas ini."

"Oh, ibu mu? Dimana beliau? Aku ingin berkenalan."

Seketika Khanza menoleh dengan cepat memandang wajah pak Gibran yang bertanya demikian. Tentu saja, ini sedikit membuat Khanza takut bercampur gelisah. Bagaimana jika ibunya tahu tentang hubungan gila ini? Bagaimana jika ibunya menentang dengan keras?

Khanza terpaku tanpa jawaban, sedang hatinya mulai kalut.

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Michella91creators' thoughts
Next chapter