10 ABSTRAK

Satu bulan berlalu, Khanza dan pak Gibran menjalin hubungan diam-diam. Mereka selalu bisa menyisakan waktu untuk berdua memadu kasih tanpa ada yang curiga. Seolah dunia memang ikut serta dalam skenario hubungan terlarang mereka.

Setelah seharian Khanza menjalani banyak aktifitas di sekolah lalu membantu pekerjaan ibu nya yang selalu ingin rumah tua milik mereka saat ini terlihat bersih dan berpenghuni. Hati dan pikiran Khanza masih selalu tertuju pada Jordy. Itu membuatnya menggila dengan melakukan banyak hal konyol untuk bisa terhindar dari segala kenangan akan kisahnya bersama Jordy.

"Bu, ehm.. Aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi, aku takut ibu marah pada ku." Ucap Khanza saat ibu nya meregangkan kedua kaki untuk melepas lelahnya sejenak.

"Apaan? Soal Jordy?" Jawab ibunya dengan acuh.

Khanza terhentak dalam hatinya, ia gusar sesaat. Entah kenapa ibu nya langsung menebak demikian.

"Apakah ibu sudah mengetahuinya?" Tanya Khanza gemetaran. Ia takut jika ibu nya akan memarahinya habis-habisan.

"Ya, ibu sudah mendengarnya dari kakak mu." Jawab Ibu masih dengan acuh.

Aaarght.. Kakak, dasar ember. Eh tapi kenapa ibu biasa saja?

"Apakah.. Ibu marah?" Tanya ku masih gugup.

"Yah, mau bagaimana lagi? Jika itu sudah menjadi keputusan kalian. Suatu hubungan yang tidak baik untuk apa di pertahan kan lagi."

"Tapi bagaimana dengan ayah bu? Dia begitu mengharapkan Jordy menjadi suami ku. Aku takut ayah akan mengusir ku dari rumah ini."

"Haahft, coba saja jika ayahmu berani mengusirmu. Ibu akan membuatnya jadi adonan donat."

"Aaah, ibu. Terimakasih, selalu memahami ku. Terimakasih sudah menerima keputusan ku, maafkan aku Bu." Jawab ku sembari memeluknya dengan nafas lega.

"Sudah lah. Fokus saja dengan sekolah mu dulu, jangan berpacaran. Tapi apakah kau baik-baik saja?"

"Seperti yang ibu lihat saat ini, Khanza baik-baik saja bu."

Ibu Khanza menatapnya sejenak lalu mengacak-acak rambut kepala Khanza. Kemudian Khanza beranjak untuk pergi menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Hingga tiba waktunya makan malam, ayah Khanza berdehem membuat suasana terasa tegang bagi Khanza.

"Khanza, bagaimana kabar Jordy? Ayah rindu, sudah lama kami tidak bermain catur."

Khanza tersedak akan ucapan Ayah nya yang tiba-tiba menanyakan Jordy kembali.

"Jordy, ehm.. Jordy sibuk Yah, jadi sementara waktu dia tidak bisa datang menemui ayah."

Mendengar jawaban Khanza, ayah nya membanting dua sendok makan yang digunakannya diatas piring sehingga semua terkejut di meja makan. Khanza gelisah, rasanya ia tidak mampu lagi menelan sisa makan malam nya. Bahkan untuk sekedar meminum seteguk air dia tak mampu untuk meraihnya.

"Sejak kapan kau mulai pintar berbohong hah? Ayah sudah berjumpa dengan papanya Jordy. Dan beliau memutuskan berhenti menjadikan ayah mandor di pembangunan proyeknya. Karena kau memutuskan Jordy tanpa sebab."

Khanza terhentak mendengar ucapan ayahnya, begitu juga dengan ibu dan kakak nya. Khanza tidak percaya jika putusnya hubungan nya dengan Jordy akan berefek besar pada pekerjaan ayahnya yang saat ini terbilang susah.

Jadi itu yang kau katakan pada papa mu Jordy? Baiklah.

"Ayah, dengarkan penjelasan Khanza dulu. Khanza memutuskan Jordy bukan tanpa alasan, tapi kami sudah tidak saling cocok ayah."

"Bohong !!! Ayah tahu kalian pasangan serasi dan saling mencintai. Ayah tahu itu, dan kau juga sangat mencintainya bukan?" Bantah Ayah Khanza.

"Sayang, kendalikan emosimu. Khanza kita masih labil, mereka juga baru akan beranjak dewasa. Jadi mereka butuh waktu untuk berpikir bukan?"

"Jangan terus membelanya seperti itu, aku tahu. Kau juga tidak pernah setuju bukan jika anak kita menikah dengan Jordy hanya karena dia anak orang kaya. Kamu lihat anak kita yang tertua ini, sampai saat ini dia belum menikah karena selalu menolah ku jodohkan dengan laki-laki kaya."

"Kok aku? Ada apa dengan ku, kenapa ayah juga marah padaku sih?" Jawab kakak Khanza dengan kesal.

"Kalian semua sama. Tidak pernah mengerti keadaan yang diinginkan oleh orang tua, tidak ada yang bisa di atur."

"Tapi Jordy telah menyakiti hatiku ayah, dia telah memiliki wanita lain selain aku." Jawab Khanza dengan lantang sembari berdiri menatap ayah nya.

"Itu semua karena kau tidak bisa memantaskan diri di hadapan Jordy. Kau paham?"

"Mas, cukup. Jangan keterlaluan !!!" Bantah ibu Khanza dengan nada marah.

"Apa, apa? Kau tidak terima? Kau tidak becus mengurus mereka selama aku banting tulang diluar mencari uang demi kalian."

Khanza tidak tahan lagi dengan keributan ini, dia melangkah memasuki kamarnya dengan membanting pintu. Lalu ia menangis tersedu-sedu merebahkan diri di atas kasurnya.

Ada rasa kecewa dan luka yang masih membekas, belum juga mampu ia obati namun perlakuan ayah nya malam ini semakin membuat Khanza merasa terpukul. Ia membeci Jordy, semakin membenci. Ia berteriak dengan tangisan menutupi wajahnya memakai bantal. Agar teriakannya tidak terdengar oleh siapapun.

Entah kapan dia sudah mulai terlelap tidur, lelah menangis hampir berjam-jam lamanya membuatnya mengantuk. Hingga tanpa ia sadari pagi telah tiba. Suara merdu nyanyian burung-burung yang berkicauan, bercengkrama dengan satu dan lainnya membuat Khanza terpaksa membangunkan dirinya lalu membuka jendela kamarnya.

Udara pagi terasa sejuk menerpa dan menembus pori-pori kulitnya. Khanza merasakan kedamaian sembari memeluk tubuhnya sendiri di sisi jendela. Ia menyadari, ini hari weekend dan sekolah tentunya libur.

"Oh my God, aku belum mengecek ponsel ku sejak sore kemarin. Hari ini libur sekolah, tentu aku tidak akan bertemu pak Gibran. Aduh, bagaimana bisa aku lupa untuk mengabarinya." Ucap Khanza yang kemudian panik mencari-cari ponsel bututnya.

Khanza terkejut dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari ponselnya hingga menyebabkan kehabisan batrai. Dengan cepat ia lalu menyambungkan sebuah charger.

"Maafkan aku mas, semalam aku sangat lelah lalu ketiduran tanpa mengecek ponsel kembali."

Khanza mengirim pesan singkat lebih dulu pagi ini tanpa berpikir kembali akan status pak Gibran yang sudah beristri. Khanza mulai gelisah menyadari hal ini, dan menunggu reaksi balasan pak Gibran.

Berapa menit kemudian, balasan pesan dari pak Gibran membuat Khanza lega dan semangat membukanya dengan senyuman ceria.

"Kau membuatku menunggu hampir semalaman diluar rumah, kau bilang ketiduran? Yakin..."

"Iya mas, aku beneran ketiduran. Kau tidak percaya padaku?"

"Ketiduran atau menidurkan? Haha."

Khanza terkejut membaca balasan laki-laki yang kini di sukainya. Tiba-tiba muncul niat kotor dari Khanza, karena sebulan setelah berpacaran pak Gibran kerap sekali menanggapi bahasa nakal dan sikap centil Khanza. Hubungannya dengan Jordy yang melampaui batas membuatnya berubah liar. Entah sejak kapan Khanza belum menyadarinya.

"Mau gak mas, ku buat tidur?"

Lama tanpa balasan. Khanza cekikikan di kamar menunggu reaksi selanjutnya.

"Gak apa nih kalau aku mau? Btw, aku suka kau memanggilku dengan sebutan Mas."

"Aku ingin memanggilmu seperti itu, sebagai tanda sayang ku. Ayo mas, kita lakukan. Aku akan menidurkan mu dengan senang hati."

"Apa? Kau serius Khanza? Aku hanya bercanda. Jangan memancingku,"

"Aku serius mas. Aku siap, asalkan... Aku belum ingin menjadi ibu diusia remaja ku."

"Kau gila Khanza."

"Kenapa mas, apa kau tidak ingin melakukannya? Apa kau tidak tertarik melakukan itu dengan ku selain istrimu mas?"

"Kita harus ketemu. Jangan membicarakan ini di pesan, aku akan mengabarimu dimana kita akan bertemu hari ini."

"Dengan senang hati mas Gibran ku, aku menunggu. Kiss..."

Pak Gibran tak lagi membalas. Khanza menghela nafas dalam-dalam lalu melompat kegirangan di atas kasurnya, ia merasa menang dan puas telah membuat pak Gibran berada dalam kendalinya.

Kemudian dia berdiri di hadapan cermin yang hanya seukuran tubuhnya yang sintal. Ia berkata...

"Dengan tubuh yang sudah tak lagi berharga ini, aku akan kembali membuatnya berharga dan bangga. Mas Gibran akan tergila-gila padaku nanti. Laki-laki dewasa yang memiliki segalanya seperti dia yang ku cari selama ini."

avataravatar
Next chapter