8 8. Sweet start

Lily sedang duduk di kursi belajar milik Vernon, menatap indahnya jalanan Seoul saat di malam hari. Vernon berjalan mendekati Lily, bersandar di samping meja dengan secangkir teh yang ada ditangannya. Vernon menatap wajah Lily, perempuan itu nampak gundah, seperti ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Vernon meletakkan cangkir teh di meja, menyentuh tangan Lily, perempuan itu terkejut, matanya menatap kembali pada pria yang kini berstatus kekasihnya.

Vernon mengelus perban yang menutupi luka gadisnya pelan, "Ada apa? kelihatannya kamu banyak pikiran Lily" Lily menghela napas, menggeleng pelan, "Aku hanya rindu bunda"

Vernon terus menatap wajah yang terlihat bukan seperti orang korea kebanyakan, sama seperti dirinya, "Kamu ingin pulang?" tanya Vernon, Lily menggeleng, "Aku tidak ingin pulang secepat itu. Aku akan menyelesaikan tugasku dahulu sebelum pulang"

"Jangan pulang, tetap disini bersamaku Lily" ujar Vernon. Lily menghela napas, "Ku bilang tidak secepat itu, artinya tidak dalam waktu dekat. Aku harus bisa menemukan pembunuh orang tuaku dulu" tanpa sadar, Lily mengungkapkan keinginan yang sama sekali tidak ada yang tahu, hanya dirinya. Lily mengalihkan pandangannya saat sadar dengan apa yang ia ucapkan, "Lupakan apa yang sudah ku katakan" Lily mengepalkan tangannya.

Vernon menghela, "Kamu boleh menceritakan apapun, kamu boleh berkeluh kesah padaku. Aku menjadikanmu kekasih, berarti aku siap menjadi bahu saat dirimu bersedih, dan akan lebih bahagia jika kamu bahagia" Lily terus mendengarkan, kata-kata Vernon mampu membuatnya sedikit sesak namun juga memberikan ketenangan, "Begitupun sebaliknya. Ku harap kamu akan menjadi bahuku saat aku bersedih, dan akan lebih bahagia jika aku bahagia" sambung pria yang hampir berumur kepala tiga itu. Sungguh awal yang manis bagi Lily.

Lily berhambur memeluk Vernon, air matanya tidak lagi bisa ia bendung. Selama hampir sepuluh tahun ia menahan air matanya. Dan selama hampir sepuluh tahun, Vernon orang pertama yang mangatakan hal itu setelah ayahnya. Vernon mengelus punggung gadisnya, sangat terlihat bahu gadis itu bergetar, tangisnya memang tidak terlalu terdengar tetapi bisa dipastikan sederas apa Lily menangis, Vernon bisa merasakan pakaiannya basah terkena air mata Lily.

Lily meremat pakaian Vernon, "A-aku merindukan bunda juga papa" lirihnya, "Aku rindu saat papa memelukku dan berkata akan selalu menjagaku dan selalu menjadi orang pertama yang maju saat aku tersakiti, aku rindu bunda yang selalu mengecup keningku saat akan tidur, menyiapkan segala kebutuhanku--aku rindu saat-saat itu" Vernon menghela, apalah Vernon, yang malah merasa benci dengan ibunya.

Vernon menepuk pelan bahu Lily, "Mulai sekarang, aku yang akan memelukmu dan mengatakan hal itu padamu. Aku yang akan menyiapkan segala kebutuhanmu, dan aku yang akan mengecup keningmu saat kamu menjelang tidur" ujar Vernon dengan senyuman. Meski sebenarnya ia tidak bisa merasakan hal yang dirasakan oleh Lily sekarang, namun setidaknya ia berusaha untuk memberikan Lily kenyamanan sehingga Lily tidak akan bisa pergi darinya.

Vernon juga sama seperti Lily, kesepian. Tetapi dalam permulaan yang berbeda. Lily kesepian karena ditinggalkan kedua orang tuanya, lebih tepatnya karena kedua orang tuanya meninggal, sedangkan Vernon ditinggalkan begitu saja. Vernon bahkan tidak tahu bagaimana kabar dan keadaan ibunya, entah masih hidup atau sudah mati. Vernon hanya merindukan ayahnya.

Lily semakin erat memeluk Vernon, "Aku tidak tahu, mengapa rasanya sangat nyaman bersamamu. Padahal, kita baru saja kenal" ujar Lily mengaku. Vernon menyeringai, "Akan ku pastikan kamu tidak akan bisa hidup tanpaku"

"Aku tidak akan bisa hidup tanpa napas, vernon. Bukan tanpamu" kata Lily seperti meralat kalimat pria yang sedang ia peluk. Vernon terkekeh, sembari balas memeluk pinggang gadisnya, dibawanya ke ranjang. Diselimuti dengan rapi, mata Lily terpejam saat keningnya terasa beradu dengan kulit lain yang tipis namun berhasil membuat Lily seperti tersengat ribuan volt listrik. Vernon tersenyum, "Malam ini, tidurlah dengan tenang, aku ada di sampingmu" Lily mengangguk, menarik leher Vernon, kembali memeluk pria itu.

Vernon kembali terkekeh pelan, tangannya terus mengelus kepala Lily, "Aku orang paling pertama yang akan maju jika kau disakiti Lily" lirih Vernon tepat ditelinga gadis itu. Lily mengangguk, "Aku percaya padamu--oppa"

🍒🍒🍒

"Selamat pagi tuan putri" ucap Vernon mengejutkan Lily. Lily duduk sembari mengumpulkan nyawanya, matanya masih terlihat sayu, sesekali mulutnya menguap singkat. Mencium harumnya bau teh, membuat Lily turun menapakkan kakinya, menghampiri Vernon yang asik meminum teh, Lily terus menatap ke arah Vernon, berharap pria itu tahu keinginannya.

Vernon berhenti menyeruput teh nya saat melihat Lily yang sudah ada di sampingnya, Vernon mengangguk kemudian memeluk dan mengecup kening Lily. Tangannya kembali memegang secangkir teh, Lily mencebikkan bibirnya, berlalu pergi ke westafel dengan menggerutu. Vernon yang bingung pun mengikuti Lily, "Hei, kau ini kenapa? pagi-pagi sudah menggerutu seperti itu, kau kira itu sopan?" Lily mendecih, "Kamu tidak peka" Vernon menyernyit, "Aku sudah memeluk dan menciummu, dari mananya aku tidak peka?" sinis Vernon.

Lily menelap wajahnya dengan handuk, berbalik menatap Vernon, "Aku mau teh, bukan pelukan ataupun ciuman"

"Jadi kau marah hanya karena teh? serius?" Vernon meninggalkan Lily, membuat gadis itu semakin dongkol, "Dasar menyebalkan"

Lily kembali dengan wajah semakin kusut, duduk di kursi yang sama seperti semalam, tangannya membuka buku catatan yang selalu ia bawa. Matanya meneliti tulisan yang masih belum bisa ia pecahkan maksudnya. Vernon datang mendekati, "Apa itu?" tanya pria itu, ingin tahu. Lily diam saja, tidak berniat menjawab.

"Semacam petunjuk? atau-- ya sepertinya petunjuk. Ibu mu yang menulis, atau ayahmu?" Lily menatap tajam, "Diamlah, kau mengganggu konsentrasi ku" kesal gadis itu. Vernon mengangguk-angguk, "Tapi sepertinya aku--"

"Pergi sana, main game saja atau menonton televisi" usir Lily. Vernon mengendikkan bahunya, berlalu pergi seperti yang diperintahkan Lily. Saat tangannya hendak menekan tombol power, dirinya terdiam dengan wajah ragu, "Aku seperti mengenali tem-- sudah lah tidak mau berurusan" Vernon menyalakan televisi, duduk santai sembari menyilangkan kakinya.

Sementara Lily terus menulis hal yang menurutnya ada kaitannya dengan tempat satu kata yang bisa ia pecahkan sebelumnya, "Food, cafe, salon's6. Food=bisa jadi orang itu menyukai makanan atau camilan, cafe=bisa jadi orang itu menyukai kopi, teh atau yang semacam itu, kemungkinan bergender perempuan karena ada kata salon. Tapi..s6 itu apa?. Lalu, 260r4 itu apa-- apakah nama? kenapa bunda tidak langsung saja menulis namanya?!" kesal Lily, kepalanya terantuk meja belajar Vernon, matanya terpejam kencang saking pusingnya.

Lily mengangkat wajahnya, mengetuk-ngetuk meja menggunakan bolpoin berwarna merah, khusus untuk memecahkan petunjuk yang sudah ibunya tinggalkan. Lily menatap kata yang belum ia pecahkan.

"Bora" ucap Vernon dibalik tubuh Lily.

avataravatar
Next chapter