7 7. Freshness

Lily terlihat tenang saat Vernon terus menorehkan luka ditangannya. Lily memperhatikan darah yang terus berjatuhan, tangan kirinya menyentuh darah kentalnya itu, Lily tersenyum, "Darahku ini cantik sekali ya warnanya" puji Lily. Vernon mendongak, melihat wajah Lily yang tersenyum melihat darahnya sendiri. Vernon merasa ikut senang melihatnya, "Kamu cantik jika tersenyum seperti ini" blush. Lily merasakan pipinya memanas, Vernon paling bisa membuatnya salah tingkah.

Lily menyentuh tangan kanan Vernon, menariknya untuk merasakan juga bagaimana tekstur darahnya. Vernon tersenyum, "Kamu benar. Darahmu sangat cantik dan--segar? ya" Vernon terkekeh mendengar pengakuannya sendiri. Tapi memang benar, darah gadis itu berbeda dengan darah dari korban-korban sebelumnya, bahkan darah Jiheon tidak seperti itu.

Lily menghentikan tangan Vernon saat akan membuat luka baru di tangannya, "Dimana lagi kamu akan membuat luka? berikan ruang untuk hari lain Vernon" ujar Lily. Vernon terlihat berpikir, "Benar juga, tapi tanganmu yang lain kan ada--"

"Jika seperti itu, kedua tangan dan kaki ku akan habis dalam 4-5 hari saja, memangnya kamu mau?" Vernon menggeleng, "Tapi jika habis, aku bisa mencari mangsa lain--"

"Ku bilang jangan membunuh lagi Vernon, aku sudah bersedia menjadi pengganti dari puluhan atau bahkan ratusan korban yang akan kamu bunuh esok atau lusa" Vernon menatap luka sayat ditangan kekasihnya itu, "Baiklah. Akan ku obati dulu tanganmu" Vernon membuang silet yang sudah digunakan, berlari menuju kamar mandi untuk mencuci tangan, saat kembali ditangannya sudah ada peralatan P3K dan sebuah tempat berisikan air.

Kali ini, Vernon terlihat khawatir. Pria itu seperti memiliki kepribadian ganda, "Sini, kita harus mensterilkannya dahulu" ujar Vernon, Lily mengangguk menuruti Vernon. Tubuh Lily tetap di ranjang, namun tangannya terus dipegangi oleh Vernon, lukanya dibersihkan dengan air. Lily meringis, Vernon yang sedang berjongkok pun mendongak lagi, "Sakit?" tanya Vernon, Lily nyengir lalu menggeleng, "Sedikit perih, tapi tidak apa-apa" Lily tersenyum lebar.

Entah mengapa, melihat kekhawatiran Vernon membuat hatinya sedikit menghangat. Lily menggeleng pelan, menyangkal apa yang kini ia rasakan, "Ku kira kamu akan seperti sosok yang sering ku lihat di film, meminum darah korbannya atau memakan daging korbannya, ternyata tidak" Vernon terkekeh mendengar penuturan Lily.

Selesai menutup luka Lily menggunakan kain kasa, Vernon duduk disamping kekasihnya, "Dengarkan aku"

Lily menoleh, "Hm?" sungguh, rasanya Vernon ingin meremas tubuh Lily sampai kecil, saking gemasnya.

"Psychopath belum tentu Kanibal, tetapi Kanibal sudah pasti Psychopath" singkat tetapi mudah Lily pahami. Lily mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kamu benar Vernon"

Vernon menyeringai sombong, lalu bangkit untuk menaruh kotak P3K juga ember kecil berisi air. Lily menuruni kasur Vernon, melihat-lihat laci juga banyak figura yang tersusun rapi. Lily membulatkan bibirnya, merasa kagum dengan banyak penghargaan yang Vernon dapatkan, "Bagus tidak? kalau mau, ambil satu, dua juga boleh" suara Vernon mengejutkan Lily. Hampir saja dirinya terjengkang, saking terkejutnya.

Lily mendengus kesal, "Jangan datang tiba-tiba seperti itu"

"Kenapa? terkejut ya?" Vernon tertawa. Rasa kesal Lily langsung lenyap begitu saja saat melihat tawa pria berwajah bule dan berkulit pucat itu. Lily sedikit heran dengan perubahan Vernon. Seperti bisa membaca pikiran, Vernon menunjukkan wajah dinginnya, "Kamu harus terbiasa melihat sisi lain dariku. Aku menunjukkan hal itu karena kamu adalah kekasihku" jelas Vernon, Lily menelan salivanya, mengangguk paham.

"Ly, besok masih libur kan?" Lily mengangguk, "Kenapa memangnya?"

"Malam ini menginap saja, beritahu ibu mu agar tidak khawatir dan katakan jika kamu aman bersamaku" Vernon berjalan ke ranjang dan merebahkan tubuhnya dengan nyaman, padahal ada noda darah disana.

"Aman apanya, pulang dalam keadaan banyak luka kamu bilang aman? sinting" Lily menggerutu sembari mencari nomor Rahee, memberinya pesan singkat.

"Sudah. Tapi aku tidak bawa baju ganti"

"Pakai punya Jiheon saja" jawab Vernon, Lily menyernyit, "Maksudmu?"

"Lily, Jiheon pernah menginap beberapa kali disini saat masih kuliah, mengerjakan tugas bersama. Aku sering membelikannya pakaian untuk ganti, atau lebih tepatnya menyediakan. Sekarang, semua barang itu milikmu"

Lily mendecih, "Katanya aku ini kekasihmu, tapi malah diberikan barang bekas" sindir Lily.

"Cara menyindirmu kurang keras Lily" sinis Vernon sembari memainkan ponselnya. Lily menghampiri Vernon, "Bangun dulu" perintah Lily, "Untuk apa?" tanya Vernon tanpa melihat wajah Lily. "Ganti dulu seprainya, itu ada darah" Vernon melirik ke arah yang dimaksud Lily, bahunya mengendik kurang ajar, "Tidak perlu, baunya menyegarkan" Lily menyernyit jijik, "Ya tapi--"

"Banyak bicara. Duduk dan diamlah" Vernon menarik tangan kiri Lily, membuat tubuh gadis itu jatuh tepat diatasnya. Lily melotot, namun pelukan dari Vernon menyulitkannya untuk bangkit. Lily memilih diam daripada di katai oleh manusia seperti Vernon-- ya alasan selain nyaman adalah itu.

Lily memperhatikan jari-jemari Vernon yang sedang menggulirkan setiap postingan media sosial. Lily yang bosan hanya memainkan jarinya diatas dada bidang Vernon, "Kalau kamu pacaran denganku, itu termasuk pedofil tidak?" Vernon menatap Lily heran, "Memang kenapa?"

"Hanya bertanya saja, tidak boleh?"

"Boleh" singkat Vernon.

"Jadi, termasuk pedofil atau tidak?"

"Memangnya umurmu dibawah tiga belas tahun?" Lily menggeleng, "Ya berarti tidak" ujar Vernon. Lily menggembungkan pipinya, "Vernon, umurmu berapa sekarang?" sungguh, Lily tidak bisa menahan bibirnya yang terus ingin berbicara.

Vernon terlihat seperti sedang menghitung, "Dua puluh sembilan" Lily melotot, "Jarak umur kita jauh sekali Vernon, kamu pantas ku sebut paman" ucap Lily excited. Rasanya menyenangkan menggoda Vernon, "Sekali lagi kamu memanggilku paman, akan ku pastikan 'mendiang' adalah julukan terbaru juga terakhirmu" Lily bungkam, bibirnya mencebik sebal.

Lama hening, Lily membuka mulutnya lagi, "Sepertinya sudah tidak ada lagi kabar pembunuhan ya Vernon, syukurlah" celetuk Lily, Vernon mengangguk, "Berkat dirimu" Lily melihat wajah kekasihnya dengan seksama.

"Berkat aku?" Vernon mengangguk menjawab pertanyaan Lily. Lily diam sebentar, "Untuk kedua kalinya, aku semakin yakin jika kamu tidak pintar" celetuk Vernon membuat Lily melotot, "HEI! KURANG AJAR!" Vernon memejamkan matanya sekejap, "Turunkan suaramu, tidak sopan sekali" Lily yang dikatai seperti itu pun beranjak menuruni tubuh Vernon, menyebalkan.

"Aku paham. Kamu pembunuh itu, kamu yang dicari--APA?!! KAMU SI PEMBUNUH BERANTAI ITU?!"

Vernon mengerutkan kening, "Ku kira kamu sudah tahu, ternyata belum ya?. Ya sudah, ku ucapkan selamat padamu, karena menjadi yang pertama mengetahui identitas si pembunuh berantai" Lily meringis, "Aku kira Jiheon adalah korban pertama mu Vernon"

"Aku kira kamu mengetahui identitasku, makanya kamu memanggilku Psychopath" Lily menyebut Vernon Psychopath karena melihat perlakuannya pada Jiheon hari itu sangat mengerikan menurutnya, walaupun ada perasaan senang yang tersisip.

"Ly, pada awalnya aku hanya ingin memiliki partner yang menyaksikan aksi ku dalam membunuh, tetapi melihat kepribadian mu yang hampir serupa denganku, membuatku malah ingin menjadikanmu milikku seutuhnya" jelas Vernon. Lily mengerjapkan matanya, apa barusan itu bentuk pengakuan dari Cha Hansol? atau dengan nama lain, Vernon Cha.

Keduanya saling bertatapan. Seakan memberikan asupan energi yang berbeda namun saling menarik dan menjadi kuat.

"Jangan pernah tinggalkan aku, atau kamu akan meninggalkan seluruh alam semesta" ucap Vernon memperingatkan.

avataravatar
Next chapter