4 4. Charm

Kini Lily berada di sebuah ruangan, dengan dinding berwarna putih. Tas dan ponselnya ditinggalkan di kamar Vernon. Lily menatap seorang gadis yang berusia tak jauh darinya. Tangan dan kakinya terikat, tak lupa bibirnya yang di tutup menggunakan sehelai kain. Gadis itu sedikit meronta, "Sekolahmu lama sekali Lily, kasihan gadis itu, karena mu ia jadi tersiksa" mata Lily membulat, "Hei?! Apa maksudmu?!" suara Lily naik beberapa oktaf.

"Jaga suaramu, tidak sopan sekali. Lihat gadis cantik itu, ia ketakutan" Lily mengalihkan pandangannya pada gadis cantik yang masih meronta. Matanya berair, sedikit bengkak, pasti ia sudah banyak menangis.

"Kamu mau apakan gadis ini pam--oppa?"

"Aku tak percaya jika otakmu pintar"

"Jangan sembarangan, jaga ucapanmu" jawab Lily tak terima.

"Ya ya ya. Kamu menyukai penyiksaan kan? aku benci sendirian, jadi--" Vernon berhenti sejenak, memberikan Lily rasa penasaran yang Vernon inginkan.

"Jadi?"

"Selalu temani aku saat melakukan aksi" Vernon menyeringai menatap gadis yang meronta kian menjadi-jadi.

"Aksi apa?"

"Penyiksaan atau bahkan pembunuhan? sejenis itu"

"H-HEI?!! tapi kenapa kamu akan menyiksanya?"

Vernon mendekati gadis berambut sebahu di kursi, ikatan dibibirnya di lepaskan, "Karena dia tak mau bersamaku, sudah ku katakan, aku benci sendirian" gadis itu menangis, "Ku mohon maafkan aku Vernon" Vernon mengelus pipi mulus milik gadis dihadapannya, Lily mendekati, "Mengapa kamu tidak mau bersama Vernon, kakak cantik?"

"Aku tidak menyukainya--Ah" Vernon tak segan menampar pipi gadis malang itu. Bukannya ingin menolong, Lily malah merasa biasa saja menyaksikan hal itu, "Ku mohon tolong aku" mohon gadis itu masih dengan menangis. Lily menatap Vernon yang tersenyum manis ke arahnya.

"Lalu, apa imbalan yang akan kamu berikan padaku, jika aku menyelamatkanmu?"

"Aku akan--"

"Kematian" potong Vernon cepat. Lily menoleh, lalu menatap lagi gadis di hadapannya, "Maaf, aku tidak bisa membahayakan nyawaku sendiri demi orang yang bahkan tidak aku kenal" Lily mundur beberapa langkah. Seperti mempersilahkan Vernon untuk melakukan hal yang di inginkan.

Plak!

Vernon mengelus pipi gadis itu, "Sakit tidak?" gadis itu mengangguk, air matanya terurai deras, "Maaf--"

Srett!

tes.. tes..

"Ah" pekik gadis itu. Darah segar mengalir dari paha mulus gadis itu. Vernon menyayat paha gadis itu. Bisa kalian bayangkan betapa kesakitannya gadis itu? Namun, tak sedikit pun Lily melangkah maju untuk menolong. Lily hanya diam, perasaannya seperti sedang campur aduk, antara iba dan--senang.

Lily sering merasakan perasaan senang seperti itu jika melihat video penyiksaan. Jika hanya menonton video saja dirinya merasa senang, apalagi yang sudah ada di depan mata dan di saksikan langsung?.

"S-sakit" rintih gadis itu. Lily menelan salivanya samar, melihat Vernon yang begitu santai menyayat paha gadis malang itu, berkali-kali telinganya mendengar rintihan dan tangisan dari bibir gadis cantik itu. Lily menepuk bahu Vernon pelan, "Cukup, jangan di lanjutkan"

"Kenapa?"

"Aku tidak suka hal yang lebih dari ini"

"Maksud mu, pembunuhan?" Lily mengangguk pelan, "Aku melepaskanmu karena Lily, jadi berterimakasih lah padanya" Vernon melepaskan ikatan dikedua tangan dan kaki gadis itu, setelah itu mengelus paha Jiheon menggunakan kain yang sebelumnya digunakan untuk menutup mulut Jiheon.

Lily turut membantu gadis itu untuk berdiri, "T-terimakasih Lily" ujar gadis itu pelan dengan napas terpotong-potong. Lily mengangguk, "Maaf karena aku diam saja"

"Ku ingatkan, jangan bicarakan hal ini pada siapapun, Kyun Jiheon" gadis bernama Jiheon itu mengangguk cepat.

"Kakak cantik, jaga dirimu baik-baik" Lily mengikat luka di paha Jiheon menggunakan dasi sekolahnya. Jiheon yang masih terisak pun mengangguk, "Terimakasih Lily" Lily mengangguk. Jiheon di persilahkan keluar dan pulang. Lily menatap Vernon tajam, "Apa yang kamu pikirkan oppa? Mengapa kamu berbuat hal sekejam itu?"

"Jangan munafik. Kamu pun sangat menikmati pertunjukkan ku tadi" Vernon menarik tangan Lily menuju sebuah ruangan.

"Ruangan di dalam ruangan, seriously?" ujar Lily tak percaya, "Kamu terlalu banyak bicara"

Cklek

Dingin. Sangat dingin. Lily merasakan pori-porinya seperti mengecil saking dinginnya. Ruangan cukup luas, dengan warna cat yang sama seperti sebelumnya. Terdapat banyak rak disini, Lily berjalan menyusuri setiap lorong rak, ia terperanjat kaget saat tak sengaja matanya menangkap banyak kain-kain tergantung di dinding.

Bermacam-macam warna. Dari warna yang soft sampai bold. Lily menatap ngeri saat melihat beberapa helai kain memiliki bercak darah yang sudah mengering atau bahkan masih baru. Lily mengikuti kemana Vernon berjalan, ditangannya ada sehelai kain yang masih ada darah segar milik Kyun Jiheon. Tangannya beralih pada sebuah paku kosong, kemudian menalikan sehelai kain itu disana.

Lily menutup mulutnya saat sadar, bahwa semua kain disana adalah bukti berapa jumlah korban yang sudah di habisi atau bahkan hanya sekedar di siksa oleh Vernon. Lily mundur beberapa langkah saat Vernon terlihat lengah. Lily melihat ke arah rak lain, ada akuarium-akuarium kecil, di dalamnya terlihat seperti ada sesuatu yang menggumpal, Lily menebak itu adalah potongan daging.

Lily menelan salivanya, "Apa pria ini adalah seorang kanibal? Ya ampun, aku tidak ingin mati muda" keluhnya dalam hati. Lily melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Kakinya sedikit berlari saat sudah berhasil keluar, semoga saja Vernon tidak menyadari kepergiannya, doa Lily dalam hati.

"Aku harus pulang" ucapnya menggebu dengan rasa takut. "Aku--hmp!"

"Mau kemana?" Vernon mendudukan Lily di ranjangnya. Dengan rasa takutnya yang belum kunjung hilang, Lily menggeleng pelan, "Izinkan aku pulang, Vernon"

"Bukankah sudah ku katakan? aku benci sendirian" Lily menggigit bibir, "T-tapi mama--"

"Kamu memilih mati daripada menemaniku?" Lily menggeleng keras.

"Izinkan aku pulang sekarang. B-besok aku akan menemanimu, aku janji" Lily menangkup kedua tangannya.

Benar. Sedingin dan sependiam apapun dirinya, Lily juga masih memiliki rasa takut jika dihadapkan dengan manusia seperti Vernon. Sungguh. Rasanya Lily ingin menangis. Vernon merebut paksa ponsel Lily, mengetikkan sesuatu disana. Tidak lama, ponsel lain berdering, "Nomormu sudah ku simpan, jangan berani mempermainkan aku. Lily Jung"

Vernon menatap Lily dalam jarak 10 centimeter, membuat Lily menahan napasnya. Vernon menaruh ponsel Lily di nakas, tangannya terulur menggenggam tangan pucat juga dingin milik Lily. Vernon tersenyum miring merasakan tangan gadis itu sangat dingin, "Mari ku bantu bersihkan noda di tanganmu. Tidak mungkin kan, kamu pulang dengan darah ditanganmu?" Lily menatap tangannya, benar, Lily tidak mungkin pulang tanpa membersihkan tangannya dahulu.

Rahee akan menanyainya macam-macam dan itu menyebalkan. Lily beranjak, berjalan dengan berat bersama Vernon menuju westafel. Lily hanya diam saat Vernon membersihkan tangannya dengan teliti. Menatap Vernon dalam pantulan kaca westafel. Pria itu--sangat tampan dengan tampang dinginnya.

Lily baru menyadari kesamaan dirinya dan Vernon. Mereka sama-sama memiliki kulit yang pucat dan putih, seputih salju. Vernon melihat pandangan kosong milik Lily pun berdeham, "Kamu cantik" ujar Vernon tanpa sadar.

avataravatar
Next chapter