3 3. Shocking night

Lily menyernyit aneh saat merasakan ada sesuatu yang mencurigakan mengikutinya. Dirinya melihat ke sekitar, sangat sepi dan Lily tepat di tempat lokasi pembunuhan kemarin. Lily bergidik, "Aneh" katanya sembari mengeratkan jaketnya. Lily juga merutuki hal yang membuatnya pulang selarut ini.

"Kenapa pelajaran tambahan diwajibkan untuk diikuti? Toh, aku sudah pintar, tidak perlu lagi belajar" omelnya bermonolog.

Kresk!

"Si--AH!! Hmp!" Lily terseret menuju sebuah jalan pertigaan didekat sana, gadis itu tahu jika seorang pria yang kini membekap dan menyeretnya masuk ke dalam mobil, merasakan tangan agak kekar pria itu yang kian mengencang di mulut dan pinggangnya, membuat Lily mendengus sebal dalam bekapan.

Lily memilih diam dan tenang saat di bawa masuk ke dalam mobil. Ia pikir, tak ada gunanya melawan jika ujungnya benar-benar akan mati, padahal ia juga ingat betul perkataan gurunya-- setidaknya kita sudah berjuang, begitu katanya. Tapi Lily malah duduk tenang menatap si pria yang telah membuatnya terkejut setengah mati.

Lily menyandarkan bahunya, "Mau di bawa kemana aku?" tanyanya santai. Pria itu membuka sarung tangan karet yang melekat di kedua tangannya, lalu topi dan yang terakhir masker hitam.

Pria itu menujukkan seringaian lebar, "Kamu tenang sekali, ada apa?"

"Tidak ada apa-apa kok paman"

"Paman katamu?" tanya si pria tak percaya. Lily mengangguk sembari menajamkan matanya, sinar dari lampu remang-remang tak cukup untuk bisa melihat wajah pria disampingnya itu.

"Ku peringatkan, tetap diam dan jangan bicara"

"Aku tidak banyak bicara paman"

"Berhenti memanggilku paman. Aku belum setua itu untuk mempunyai keponakan sebesar dirimu" pria itu mulai menjalankan mobilnya. Lily mengendikkan bahu, lalu memasang seatbelt ke tubuhnya. Pria disampingnya hanya menatap Lily, sedikit Lily bisa melihat pria itu tersenyum.

"Paman, ku peringatkan padamu untuk tidak tersenyum mesum padaku"

"Aku bahkan tidak selera melihatmu bocah"

Lily menatap datar, "Dasar tua b--KAU?!!" Lily tersudut menabrak pintu, saking terkejutnya. Lily melotot, "Kamu kan--?"

"Orang kurang ajar yang menabrakku" lanjutnya dalam hati.

"Terkejut tidak?" Lily menggeleng tanpa sadar.

"Tidak?. Mengapa kamu tersudut seperti itu?" Pria itu tersenyum penuh arti, Lily terlihat salah tingkah tetapi ia mencoba untuk tak terlihat seperti itu. Pria itu mendesis pelan, "Seperti ular" sindir Lily.

Pria itu menatap gadis yang sudah beralih posisi dengan duduk ternyaman. Sangat tenang dan benar--tidak banyak bicara.

"Lily"

"HEI?!!"

"Terkejut lagi?" Lily menggeleng, pandangannya di lemparkan keluar, melihat mobil berlalu lalang padahal sudah hampir tengah malam.

"Sebenarnya kamu akan membawaku kemana?" tanya Lily mengalihkan topik.

"Apartementku"

"Kamu memang paman me--"

"Sudah ku katakan, aku bahkan tidak selera melihatmu" Lily mendecih.

"Aku suka gadis sepertimu, sangat dingin dan misterius" Pria itu membuat Lily kebingungan. Bagaimana pria itu tahu namanya? bagaimana pria itu tahu tentang dirinya?.

"Aku Cha Hansol, kamu bisa memanggilku Vernon"

"Apa hubungannya Hansol jadi Vernon? tidak jelas" Tingkah dingin dan menyebalkan Lily malah membuat pria yang mengaku bernama Vernon itu semakin tertarik padanya.

"Vernon nama asli ku. Cha Hansol nama Korea ku"

"Memang nama Korea bukan nama asli, huh?"

"Kamu bisa banyak bicara juga ya, Lily?" Lily tak menggubris, sedangkan Vernon sesekali menatap Lily.

"Kamu pemalu sekali. Sekarang biarkan aku bercerita sebuah dongeng menyenangkan untukmu Ly" Lily hanya bergumam.

"Suatu hari, seorang anak laki-laki ditinggalkan oleh ibunya, entah kemana. Ayahnya sudah lama tiada, meninggal saat ia berumur lima tahun. Anak laki-laki itu merutuki kehidupannya sendiri, selalu mempertanyakan mengapa harus dirinya yang terus ditinggalkan. Ia membenci siapapun yang datang hanya karena membutuhkan, lalu pergi setelah digunakan--"

"Membosankan paman"

"Berhenti memanggilku paman"

"Baiklah. Membosankan, oppa?" Vernon menoleh, "Oppa?" gumam Vernon, kemudian mengangguk ragu, "Boleh juga" Vernon tersenyum simpul.

"Ayo turun"

"Ku peringatkan padamu paman--oppa, nanti antarkan aku pulang"

"Memangnya kamu yakin bisa pulang setelah bersamaku?" deg, Lily tercekat.

Apa benar ini akhir hidupnya? Apa Tuhan tau jik orang tuanya sangat merindukan dirinya, sehingga memanggilnya begitu cepat? usianya baru delapan belas tahun, sangat muda.

"Kamu tidak akan membunuhku kan?" pertanyaan itu lolos begitu saja. Entah mengapa, Lily menjadi agak ketakutan. Pemikirannya tentang perlawanan ia patahkan begitu saja, ia akan menuruti perkataan gurunya sekarang. Lily menatap awas pada Vernon, "Menurutmu?"

"Hei paman!--"

"Berhenti memanggilku paman, bocah!"

"Jangan panggil aku bocah, paman! Kau tahu tidak?! aku baru berusia delapan belas tahun, apa tidak terlalu dini jika aku mati? oh Ya Tuhan, tolong aku" kata Lily dengan nada lirih di akhir kalimat. Kalimat terpanjang yang pernah ia keluarkan sejak enam tahun lalu.

Vernon tertawa, "Mana mungkin aku melepaskanmu bocah? Kamu yang selama ini aku cari, kamu orang yang tepat untuk ku jadikan partner"

"Partner apa maksudmu paman--oppa?" bukannya menjawab, Vernon malah keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Lily.

Tangan gadis itu digenggam, di bawanya masuk menaiki lift, sampai di lantai 10, Vernon masih tetap menarik tangan Lily. "Pam--oppa! Mama akan mencariku nanti. Kamu janji kan? tidak akan membunuhku?" Lily masih khawatir tentang kehidupannya sekarang, ia memikirkan Rahee yang sedang di rumah, yang mungkin saja sedang menunggunya pulang.

"Oppa" rengek Lily. Jujur saja, Lily baru pertama kali bersikap seperti itu kepada orang lain, bahkan pada Rahee dan Yuka pun ia tak seperti itu. Lily merutuki mulutnya yang sangat sulit di kontrol sekarang.

"Aku menarik ucapanku, ternyata kamu banyak bicara. Ku sarankan agar kamu diam dan tetap ikuti aku"

"Tapi mama--"

"Biar ku telepon orang tuamu, mana sini ponselmu" Vernon mengulurkan tangannya, Lily menggeleng dengan tatapan tajam, "Atau aku tidak akan membiarkanmu pulang" Lily tetap pada pendiriannya, "Tidak. Biar aku yang menelepon mama"

Lily mengeluarkan ponselnya, dicarinya kontak Rahee yang bertuliskan 'Ma' disana. Nada sambung sudah terdengar, "Ma, aku pulang terlambat, atau mungkin tidak pulang"

"Kenapa Ly? kamu baik-baik saja kan? jangan buat mama khawatir" Lily merotasikan matanya malas, "Jangan bersikap seolah-olah kamu mama yang baik untukku. Pokoknya, aku sudah bilang padamu, aku pulang terlambat atau bahkan tidak pulang" Lily mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Rahee.

"Kamu kasar sekali, Lily. Namun, hal itu semakin membuatku tertarik padamu" ujar Vernon tanpa menatap lawan bicaranya. Lily menggenggam ponselnya, "Ayo masuk" ajak Vernon menarik tangan kanan Lily.

Kamar yang sangat rapi, bersih juga wangi. Hal itu yang pertama muncul di benak Lily. Ya, cukup rapi untuk seorang pria berumur 20-30 tahunan seperti Vernon. Lily mengikuti kemana Vernon berjalan. Rasa takutnya hilang seketika saat memasuki kamar itu, melihat kebersihan disana, membuat Lily yakin dirinya tidak akan dibunuh di tempat itu.

Lily menarik lengan kemeja Vernon, "Mau kemana lagi? Kamu benar tidak akan mencelakai ku kan?"

"Tidak. Justru kamu yang akan menyaksikan aku mencelakai orang"

"A-APA?!!"

avataravatar
Next chapter