2 Dia lagi

"Zizi, kamu bukannya harus les sayang?"

Zia yang di panggil mengangkat kepalanya ke arah Lasmi yang ada di atas ranjang pasien. Ia melihat arlojinya dan seketika berdecak di buatnya.

"Nek hari ini Zizi izin aja ya, gak mau les maunya jagain nenek." Rayu gadis itu.

"Katanya mau jadi dokter harus pintar dong, lagian bentar lagi kamu kan mau ujian nasional sayang" Ucap Lasmi.

Zia berjalan mendekat dan mengambil tempat duduk di atas ranjang." Zia mau nemenin nenek aja."

"Nenek udah di jaga sama mbak yuni kok. Lagian nanti malam nenek udah bisa pulang."

"Mau disini." Rengeknya lagi.

"Zizi sejak kapan jadi bandel gini?" Lasmi mengelus rambut sepunggung cucunya.

Zia hanya bisa pasrah. Ia menghembuskan nafas pelan dan mencium pupu Lasmi kiri kanan.

"Zizi pulang dulu ya nek? nanti Zizi balik lagi untuk jemput nenek." Ucapnya pasrah.

Lasmi tersenyum dan membalas mencium kening cucu tunggalnya. Ia memang hanya memiliki Sari sebagai putri tunggalnya dan setelah putrinya tiada sekarang pun ia hanya memiliki Zia sebagai cucu tunggalnya. Hidup memang tidak adil, kenapa Tuhan tidak menjemputnya saja duluan kenapa harus putri dan menantunya. Masih ingat di benaknya gimana tangis Zia kecil di depan jenazah kedua orang tuanya. Membayangkannya kembali membuat luka lama kembali menganga. Apa jadinya jika nanti giliran dirinya yang di panggil Tuhan, akan pada siapa Zia ia titipkan.

Lamunanya buyar ketika Zia memanggil.

"Zizi pulang ya nek," pamit Zia sambil mencium tangan Lasmi.

----

Zia menghela napas panjang sambil melihat arlojinya. Gadis itu sudah menuggu lebih dari lima menit untuk menunggu supirnya menjemput. Dan mobil itu tidak kunjung terlihat di depannya.

"Kalau  gini mending gue naik taksi" ujarnya kesal. Ia sudah lelah menunggu dan menunggu adalah hal yang sangat benci ia lakukan.

Karna ia pernah menunggu seseorang yang akan berjanji untuk menikahinya suatu saat nanti disaat orang itu kembali dari belajarnya, dan hingga kini orang itu tidak pernah hadir untuk menemuinya.

Lamunan Zia buyar ketika sebuah mobil berwarna putih metalik berhenti di depannya. Zia hanya diam menunggu hingga orang itu turun dari mobilnya.

Radit yang melihat Zia berdiri di depan rumah sakit, membelokkan setirnya kearah gadis itu. Ia langsung turun mendekati Zia.

"Mau pulang?" Tanya dokter tampan itu.

Zia mengangguk kecil. Ia kembali melihat arlojinya.

"Kalau gitu biar saya antar." Ucap Radit menawarkan.

Zia melihat dokter itu bingung.

"Saya tidak akan macam-macam. Hanya ingin mengantarkan kamu pulang." Lanjut Radit.

"Gak usah dok, saya gak mau ngerepotin." Tolak Zia.

Bukan Radit namanya jika ia bisa ditolak.

"Beneran tidak mau saya antar? dilihat dari wajah kamu, sepertinya sedang terdesak." Ucap Radit lagi. Ia tersenyum miring ketika melihat wajah bimbang Zia.

Zia berpikir bimbang, ia memang sedang terdesak karna akan mengikuti les bimbel. Disaat sedang berfikir handphone di saku baju Zia berbunyi.

Ia langsung mengangkatnya saat tau orang yang ia tunggu meneleponya.

"Bapak dimana?" tany Zia.

"Maaf non, saya lagi di bengkel karna ban mobil pacah. Apa non Zia sudah menunggu lama?" terdengar suara orang menyesal di seberang sana.

"Yah kenapa, terus bapak gak bisa jemput?"

"Kata orang bengkelnya sekitar dua jam lagi non. Apa mau saya pesankan taksi non?"

"Gak usah pak saya bisa pesan sendiri. Bapak tungguin aja mobilnya biar bisa jemput nenek nanti." Kata Zia.

"Baik non. Sekali lagi maaf non" ucap pak supir menyesal.

"Gak papa pak. Kalau gitu Zia tutup."

Zia mengehembuskan nafas, ternyata mobil yang ia tunggu sejak tadi sedang sakit.

"Jadi apa kamu mau saya anter?" tanya Radit memastikan.

Zia pikir tidak ada salahnya. Ia mengangguk pada dokter itu, "apa saya gak ngerepotin dok?"

"Saya lagi tidak repot jadi kamu tidak merepotkan saya." Balas Radit.

Ia membukakan pintu untuk gadis itu dengan senyuman yang sebisa mungkin ia sembunyikan.

Setelah itu Radit memutar langkah ke arah berlawanan dari Zia duduk. Ia memastikan gadis itu duduk dengan nyaman lalu menghidupkan mesin dan meninggalkan area rumah sakit.

Jangan tanya betapa bahgianya hatinya sekarang. Bisa sedekat ini dengan gadis yang sudah ia cari-cari membuat jantung Radit berdetang tidak menentu. Sesekali matanya kan memperhatikan wajah Zia yang duduk di sebelahnya. Gadis itu tidak banyak berubah hanya saja sekarang ia bertambah cantik dan, sexy. Gadis cilik yang selalu mengekorinya kemana pun kini sudah menjadi gadis dewasa.

Setelah ia menyelesaikan gelar dokternya, Radit langsung kembali ke tanah air untuk menemui gadis kecilnya. Tapi, yang ia temukan hanya rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan. Radit dan Zia dulunya memang bertetangga, membuat ia dan Zia sangat dekat bahkan kedua orang tua mereka pun bersahabat. Dari informasi yang mamanya katakan bahwa kedua orang tua Zia sudah meninggal dunia, tepat dua hari kemudian gadis itu di bawa oleh neneknya dari pihak ibu. Dan tidak ada lagi kabar yang terdengar.

Radit sudah mencarinya kemana-mana bahkan penujuru negri. Tapi ia tidak kunjung menemuinya.

Lamunan Radit buyar di saat suara Zia terdengar.

"Belok kiri dok." Ucap gadis itu.

Radit langsung membelokan setirnya ke arah kiri.

"Di depan dok pagar yang bercat putih." Ujar Zia lagi.

Radit melihatnya, ia langsung memasuki halaman luas dari rumah bertingkat dua itu setelah salah satu satpam membukakan gerbang.

Setelah mobil yang di tumpangi Zia berhenti di depan teras rumahnya ia langsung membuka pintu dan turun.

"Terima kasih dok atas tumpangannya." Ucap Zia. Ia tidak lagi seketus tadi, enrah kenapa ia sangat familiar berada di dekat dokter itu. Membuatnya mengingat seseorang tapi tidak tau siapa.

"Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Radit. Ia melihat sekeliling perkarangan rumah yang banyak di tanami berbagai macam bunga.

"Dengan nenek. Dokter mau mampir dulu?" ujar Zia berbasa-basi.

" Lain kali saja saya masih ada urusan lain" sesal Radit, jika bukan karna ia ada urusan mendadak Radit pasti akan dengan senang hati untuk mampir.

Zia bersyukur dalam hati. Ia sudah harus pergi les, dan ia pasti akan terlambat jika pria itu bertamu kerumahnya.

"Kalau gitu saya pamit,"

"Hati-hati dok." ucap Zia.

Setelah memasuki mobil Radit belum menghidupkan mesinnya. Debaran jantungnya masih terasa ketika ia satu mobil dengan Zia tadi. Apalagi setelah Zia menyuruhnya hati-hati membuat Radit ingin segera mendekap gadis itu dalam belitan pelukan hangatnya.

Tidak ingin membuat Zia curiga, ia langsung menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan rumah gadis kecilnya.

"Aku akan menjemput mu kembali, ingat itu sayang."

------

TBC,,,,

avataravatar
Next chapter