1 Tuan Ayah.

"Ahhh-akk."

Dua orang dengan tubuh melekat saling menyatukan kenikmatan dengan indah, yang satu menghadap ke arah atas dan yang satu terpaku dengan tubuh indah yang tersuguh dihadapannya.

"Ikko, sungguh disayangkan jika tubuhmu tidak tersentuh dalam sehari saja."

Pemilik nama tersebut tidak menggubris perkataan yang terlontar dari mulut dibawahnya, yang Ikko lakukan hanya berusaha memaju-mundurkan tubuh dengan berlawanan. Menarik lepas kemeja putihnya dan memejamkan matanya.

"Barat-taa, aku.." Sekali lagi, Ikko masih memejamkan matanya. Berusaha meraih sprei dibagian bawah tubuhnya. Terlihat kesulitan, karena tubuh kekar Barata menghalangi tangannya.

Ikko membuka matanya, pegangan pada sprei dipererat. Menahan desahan pada bibir bawahnya, Ikko menatap ke arah Barata yang tidak bersuara sama sekali.

Terlihat, wajah Barata mulai sedikit memerah. Ikko, memperkuat hentakkan maju-mundurnya. Barata menarik pinggangnya dengan keras, tangan besar milik Barata mencengkram begitu kuat pinggang miliknya.

Kewalahan, Ikko merasakan analnya mulai memanas. "Barata.."

Barata yang awalnya sibuk dengan kegiatannya, kini membantu menghentakkan juniornya kedalam lubang anal Ikko. Tangan kanannya bergerak meraih kepala bagian belakang Ikko, "Ahh, Barata. Kumohon, perlahan."

"Perlahan, Ikko?"

Dua hentakkan keras pada anal Ikko membuatkan semakin menengadahkan wajahnya. Barata menatapnya dengan tatapan menang. Tubuh Ikko terlihat begitu indah, melengkung dan dengan dada yang condong ke arah depan membuat pemikiran Barata semakin liar.

Tepat didepan wajah Barata, jr kecil milik Ikko menegang dan mengacung sempurna. Hangat pada anal Ikko membuat nafsunya semakin memuncak. Namun, sayangnya junior miliknya tidak dapat lagi menahan selama itu.

Ikko semakin mengeraskan hentakkan ke atas-bawah, begitu juga dengan Baratha yang semakin menarik rambut Ikko juga hentakkan yang tidak beraturan tersebut ia rasa dapat menghantarkannya pada klimaks secepatnya.

"Akhhhh !"

Teriakan tersebut berasal dari bibir tebal milik Ikko, cairan hangat mengalir begitu deras didalam analnya. Sedangkan Barata kini justru terdengar mengumpat, dadanya terlihat biasa saja. Tidak berusaha mengatur nafas dengan normal, seperti yang Ikko lakukan.

"Bodoh, bahkan dengan mengendalikan cum agar tidak sembarangan mengalir saja dirimu tidak bisa."

Wajah Barata terlihat kesal, sedangkan Ikko masih berusaha menetralkan nafas. Barata melepaskan juniornya dari anal Ikko, junior Barata yang awalnya menegak sempitnya kini perlahan menurun. Terlihat Barata bangkit dan mengenakan kembali celananya.

Ikko berdecak kesal, ia menghusap ke arah bokongnya. Menatap kesal ke arah Barata sekilas dan kembali ke menatap ke arah jr kecil miliknya. "Hhhh.."

Masih mencoba mengatur nafas, Ikko membalikkan tubuhnya. Merasakan cairan cinta milik Barata yang mulai merembes turun ke arah pahanya. Ikko, terlihat mengangkang. "Nikmat, namun dirimu bukan pemain yang handal. Payah, Tuan Ayah!"

*****

"Barata?"

Barata terlihat bangun, menghusap wajahnya yang terkena sinar matahari pagi. Dengan cepat ia meraih ke arah meja kecil disamping kasurnya. Meminum segelas air dan mulai menjernihkan pikiran.

"Mengapa anda masih berada disini, noona Victoria Zemya?" Barata menatap ke arah Victoria dengan tatapan aneh.

"Tidak biasanya anda kemari sepagi ini, apakah baru menyadari tugas sebagai seorang istri?"

Wanita dengan tubuh bagaikan gitar Spanyol itu terlihat terkekeh pelan, dengan menggunakan kimono. Victoria mendekat, duduk dipangkuan Barata dan menghusap tengkuknya.

"Berapa yang dirimu butuhkan?"

Victoria menggelengkan kepalanya, "Hanya dirimu."

Barata dengan cepat mendorong tubuh Victoria ke ujung ranjang, bangkit dan menghusap kepalanya sendiri. Barata memilih berjalan ke arah kamar mandi.

"Nantikan saya, pada malam ini."

Barata mengambil sikat gigi dan pasta gigi, menekan pasta gigi dan mulai menggosok giginya yang tertata rapi. Sembari melakukan kegiatannya, Barata menatap kearah cermin dihadapannya.

"Jika menanyakan tentang hal tersebut secara berulang, sepertinya akan membosankan. Apakah harus menambah kesenangan?"

5 menit kemudian.

Dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya, Barata berjalan keluar kamar mandi dengan aroma khasnya. Masih dengan sedikit menunduk, menatap ke arah jempol kakinya. Baru beberapa detik dirinya menatap lurus kedepan, ia sudah dikejutkan dengan Victoria yang mengangkang.

Barata memutar bola matanya, berjalan ke arah lemari dan mengambil satu selimut tebal. Tangan besarnya dengan cepat melempar selimut tersebut ke arah Victoria. "Singkirkan pikiran mesum anda tersebut, saya sama sekali tidak tertarik."

Barata berjalan ke arah ranjangnya, meraih banyak yang ia gunakan untuk tidur semalam dan membuka sarung bantal tersebut. Mengambil dompet tebal berwarna hitam, membuka dan memberikan satu kartu kredit untuk Victoria.

"Jangan kembali, sebelum pikiran mesum anda terobati."

Dengan cepat Victoria mengambil kartu kredit tersebut dan berjalan pergi. Barata mendecak kesal, pikirannya menjadi tidak karuan. "Sepagi ini, meeting dan pussy?"

"Gila, Victoria Zemya bukan segalanya. Hanya beberapa perpanjangan dan kalimat diatas materai, jika bukan karena pria itu. Tidak mungkin sudi, saya melakukan semua ini!"

Barata menatap ke arah ranjang berlapis sprei putih yang berada tidak jauh dihadapannya. Kemeja berwarna abu, jas dan celana berwarna hitam. Langkah besar memudahkan dirinya untuk meraih pakaian tersebut dengan cepat, mengenakan dan berjalan turun untuk sarapan.

Langkah demi langkah, ia susuri dengan cepat. Pada meja makan, ia hanya menyantap roti dengan segelas susu(?) Begitulah, tampilan gagah kesukaan bocah.

"Tuan Barata, apakah kali ini saya harus meletakkan susu dalam kemasan ini pada tas berwarna hitam lagi? Atau dikirimkan beberapa menit setelah Tuan sampai di kantor?"

Barata memijat pelipisnya, masih berusaha menikmati segelas susu hangatnya. Barata menatap ke arah perempuan tua disampingnya. "Bi, diletakkan saja pada paper bag hitam. Berikan tambahan satu susu, seorang anak pegai datang dan meminta hal itu ketika saya sedang terpaku."

Wanita tua itu hanya mengangguk, sembari menjauh dari hadapan Barata. Barata menatap ke arah sekelilingnya, "Sangat bersyukur karena rumah ini kembali sepi."

Sangat menghargai waktu, kesendirian, tidak begitu menyukai keramaian dan memilih berdiam didalam kegelapan adalah seorang Barata Yudha.

Tidak ada masa kelam didalam hidupnya. Namun Barata menyukai kegelapan, hanya karena dirinya dapat beristirahat didalam. Tidak ada gangguan dan sunyi. Sebelumnya yang ia tatap hanya secarik kertas, kalimat yang keras dan tututan warisan.

Barata bangkit, mengambil selembar tisu juga tasnya yang terletak diatas meja makan. Kunci mobil sudah selalu berada didalam saku celananya. Menghusap bibirnya, dan berjalan ke arah pintu utama.

Mobilnya sudah berada dihadapannya, dirinya tidak perlu repot-repot mengeluarkan dan memanaskan. Lagi pula, untuk apa Barata menyewa beberapa pekerja jika tidak untuk melakukan hal yang sudah seharusnya dikerjakan?

Barata meraih sakunya dan masuk kedalam mobil, menghidupkan mesin mobil dan mengambil handphone yang terletak didalam tas berwarna hitam itu. Menatap datar ke arah jam yang terpampang jelas, ia melajukan mobilnya dengan cepat.

Mencari nama didalam handphonenya, kemudian menekan tombol memanggil. Jantung Barata mulai berdegup kencang, tatapannya menjadi tak karuan. Menyalakan speaker dan mencoba untuk fokus berkendara.

"Halo, Tuan?"

Barata mengelus dadanya, "Bibi, kue pukis nya tertinggal lagi. Barata sangat ingin memakannya. Tidak apa jika Barata meminta untuk dibawakan? Karena tidak mungkin untuk kem-"

"Tentu Tuan, tidak apa jika tertinggal. Nanti Bibi bawakan, sekalian dengan susu."

Barata terlihat mengangguk, mematikan sambungan telepon dengan cepat dan memberhentikan mobilnya karena rambu-rambu lalu lintas berwarna merah. Awalnya tatapannya masih fokus lurus. Namun, detik berikutnya ia menatap ke arah kanannya.

Terpaku.

Barata menatap ke arah mobil jazz disampingnya. 3 orang berada didalam sana. Seorang wanita, pria dan seorang anak perempuan dengan pipi yang menggemaskan. Barata dapat memperhatikan kejadian didepannya dengan intens.

Awalnya memang baik-baik saja, sebelum satu tamparan mendarat tepat pada pipi wanita yang tengah memangku anak perempuan tersebut. Barata memangilngkan wajahnya, menghusap wajahnya dan menghembuskan nafas.

"TITT!!"

Dengan setengah terkejut Barata mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Menatap ke arah arloji dan melempar handphone ke kursi belakang.

Sesampainya di kantor, Barata masuk kedalam ruangannya dengan langkah yang besar. Meletakkan tas pada meja atas dan membuka jas. Duduk menatap ke arah jendela dengan buku kecil ditangan kanannya.

"Kau lama sekali, aku sudah menunggumu sejak beberapa menit tadi."

Tak asing, Barata membalikkan posisi tubuhnya. Meletakkan kedua kakinya pada meja dihadapannya, Barata terlihat kesal.

"Ah, pagi yang indah menjadi sangat suram. Jalang liar, tengah mengoceh dengan segenggam harapan."

avataravatar
Next chapter