46 Kekuatan Tim

=Ami POV=

Malam sudah semakin larut, anginnya berhembus pelan namun semakin dingin menyentuh kulitku. Burung Black Rails berkicauan saling bersahutan dari kejauhan, suara yang begitu indah tetapi juga menakutkan.

Kristo tidur sambil merintih, dapat kuastikan dia sedang menahan sakit. Bagaimana tidak, luka di betisnya masih sangat basah juga tubuhnya yang mendapat banyak luka saat melawan musuh. Segera aku bangkit dan menghampiri pria itu. Dia telah mengenakan tudung kepalanya, bahkan jubbah milik Sing dikenakannya sebagai selimut karena dia merasa kedinginan.

Panas tinggi, aku sangat terkejut saat menyentuh dahi Kristo. Peluh bercucuran deras di seluruh tubuhnya, rintihannya semakin nyaring dan berhasil membuatku panic.

Ku cari-cari di sekitar, ramuan sisa siang tadi tetapi tidak ku temukan. Ku buka buntelan bekalku untuk mencari air yang akan digunakan untuk mengompresnya. Ku robek sedikit kain pada baju bagian lengan, lalu ku celupkan pada air untuk mengomres Kristo.

Kembali ku cari pematik api untuk membuat obor yang akan ku bawa keluar dari rumah ni dan mencari dedaunan untuk ramuan obat.

"Apa yang kamu lakukan?"

Huhh … Jantungku menjadi sangat nyeri karena terkejut.

Bang Athan yang mulanya terlelap di dekat buntelan bekal, tiba-tiba meraih lenganku dan menatap tajam tanpa ekspresi.

"Pematik api. Apa kamu ada menyimpannya? Aku harus menemukan beberapa daun untuk obat Kristo. Badannya panas dan sangat berpeluh, kurasa itu efek dari luka anak panah yang ia cabut," jelasku.

Bang Athan mengubah posisinya menjadi duduk denganperlahan, luka di perutnya pun masih Nampak nyeri.

"Kamu belum ada tidur?" tanyanya yang membuatku menoleh.

"Aku sudah tidur tetapi terbangun karena mendengar rintihan Kristo yang kesakitan."

Bang Athan segera berdiri dan keluar dari rumah. Saat kutanya apa yang akan dia lakukan, dia hanya menunjukkan pematik yang baru dia ambil dari saku.

Argh! Aku kesal dengan sikapnya yang sangat hemat suara itu.

Aku kembali mengecek keadaan Kristo yang masih merintih. Kembali ku carikan kain, kali ini ku gunakan untuk mengompres luka besarnya di betis. Sangat perlahan, aku tidak ingin temanku ini semakin kesulitan karenaku.

"Apa lukanya infeksi?" tanya Sing tiba-tiba yang terbangun karena aku terlalu banyak gerak.

"Ku harap tidak. Tetapi itu benar-benar bereaksi pada tubuhnya," jawabku singkat.

"Ah … Akan ku nyalakan api untuk merebus air. Air hangat selalu efektif untuk meredakan luka yang meradang." Kristo segera bangun dan turun untuk membuat tungku di luar.

Aku tahu, diapun tidak sepenuhnya sehat tetapi dia bersdia membantuKristo, hal itu membuatku sedikit tersentuh.

Selang beberapa waktu, Bang Athan dating dengan membawa cukup banyak dedaunan untuk obat herbal. Segera saja aku menghaluskannya lalu mengoleskannya secara merata pada permukaan luka yang masih sangat basah itu.

Nampak merah dan bengkak, sesekali Kristo bereaksi, seperti terkejut saat aku mengoleskan ramuannya.

"Kamu pakailah juga bersama Sing. Kita semua tidak boleh ada yang tidak baik-baik saja," kataku pada Bang Athan yang masih menghaluskan sisa dedaunan.

"Mendekatlah!" Pria bermata indah itu menatapku, aku bergeming.

"Memar di matamu itu Nampak mengerikan. Mendekatlah, aku akan mengoleskannya untukmu," imbuhnya.

"Ah aku bias melakukannya sendiri, sini wadahnya …," Aku hendak meraih wadah ramuan dedaunan herbal tetapi ketua timku tidak berkenan. Dia menarik wadah itu dan bergerak mendekatiku.

"Aku saja. Kamu bahkan tidak dapat melihat bagian-bagian lebamnya," kata bang Athan sambil mulai mengoleskan ramuan pada mata kananku.

Aku hanya diam, menatapnya kosong dengan detak jantung yang kembali tidak keruan. Sial, aku sangat ingin mengumpat sekarang. Manik keemasannya nampak sangat indah saat kutatap dari jarak yang sangat dekat ini. Akupun dapat melihat dengan jelas garis tulang rahangnya yang kuat.

"Argh!" erangku. Dia berhasil menyadarkanku dari kekosongan pikiran sesaat saat memandanginya.

"Jangan menatapku seperti kamu ingin membunuhku. Aku hanya ingin membantu," ujar bang Athan. "Selesai, silahkan urus sendiri lukamu yang lain."

"Hemm …," anggukku pelan.

Luka diujung bibirku juga terasa pedih kali ini, benar-benar keadaan diri yang kembali mengerikan. Seketika aku mengingat momen saat aku dihajar bang Arlan hingga tak sadarkan diri. Kurasa aku sudah mati.

Sing kembali masuk ke rumah, dia membawa air panas dalam sebuah wadah kecil yang terbuat dari semacam cangkang siput berukuran besar. Aku meraihnya, menyuruhnya untuk mengoleskan ramuan obat pada lukanya sementara aku kembali mengompres Kristo.

"Kita harus bergegas menuju Timur. Aku gerhana bulan hanya tinggal beberapa hari lagi, kurasa kita tidak akan berhasil jika hanya menunggu di tempat ini." Bang Athan beranjak dari tempat duduknya.

Ia merapikan perbekalan dan senjata miliknya sebelum turun untuk kembali mengamati sekitar rumah dan memastikan kalau kami semua aman.

"Maksudmu, kita harus pergi sekarang?" tanya Sing yang masih mengompres luka Kristo.

"Benar. Kita masih harus segera menemukan pedang emas, kita juga harus membawanya ke Gedung Kuning agar dapat menjadi pemenangnya," sahut Athan yang bekacak pinggaang.

"Ehm kurasa Kristo masih sangat lemah. Kita harus menunggunya hingga membaik, setidaknya dia harus dapat berjalan terlebih dulu."

Athan mehela napas kasar, dia melempar pandangannya jauh ke dalam hutan bagian lain yang masih redup karena cahaya matahari masih belum nampak.

"Bukan hanya Kristo, kita semua masih sangat lemah jika harus kembali bertarung. Jika kita tetap melanjutkan perjalanan, aku yakin kita tidak akan berakhir dengan keadaan yang baik-baik saja," ujarku mulai ikut angkat bicara.

Pria bermanik mata keemasan itu berbalik, dia memandangiku dan Sing bergantian.

"Kita bahkan masih belum mengetahui dimana pedang emas itu berada. Apa kita masih harus menunda-nunda perjalanan?"

Tanpa aba-aba, aku mengernyitkan dahi tak suka dengan sikap ketua tim kami itu.

"Ada apa denganmu?" Sing turun dan berdiri di hadapan bang Athan. Mereka saling tatap di halaman depan rumah panggung ini.

"Apa yang salah denganmu? Hingga kamu menjadi sepeti ini? Menjadikan kemenangan sebagai prioritas tanpa mempedulikan keadaan rekan satu timnya? Ku kira kita harus menjadi pemenang dalam keadaan yang baik-baik saja. Ku kira kita akan menjadi pemenang dengan formasi lengkap?" kalimat Sing tidak berheda.

"Kristo akan baik-baik saja. Percayalah. Dia hanya perlu istirahat, setelah itu dia dapat menyusul kita ke Timur," jawab bang Athan yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan emosi Sing.

"Maaf, aku akan menemani Kristo disini. Aku merasakan sakit yang lebih perih jika harus meninggalkannya dalam keadaan seperti ini disbanding mendapat serangan pedang dari musuh," sahutku dari dalam rumah.

"Huhh! Itu pilihanmu. Aku hanya memberi saran agar kita dapat segera menyelesaikan misi terakhir ini dan membuat kalian dapat segera pulang."

Kalimat bang Athan barusan membuatku terdiam. Kurasa Sing pun merasakan hal yang sama. Kami memandangi ketua tim kami yang nampak emosional kali ini.

"Kalian tidak ingin segera pulang dan bertemu dengan keluarga tercinta di Distrik? Itu pilihan kalian!" Athan pergi meninggalkan Sing yang masih berdiri tanpa ekspresi.

Ketua timku itu berjalan menuju hutan bagian timur dengan memasang tudung kepalanya dan membawa pedang.

"Pulang."

Kata itu sungguh terngiang di kepalaku, membuatku iba dengan apa yang harus ku lakukan.

***

avataravatar
Next chapter