1 One

"Ah sialan!" umpatan tersebut tidak terlalu jelas ia ucapkan. Karena, ada sebatang rokok bertengger di mulutnya yang baru saja ia keluarkan dari bungkusnya. Padahal baru saja laki-laki itu ingin membakar ujung rokok tersebut, temannya tiba-tiba datang lalu menepuk pundaknya sehingga membuat korek api itu terjatuh.

"Haha.. sorry, Bas. Gua dari tadi nyariin lu, ternyata lu di sini." ujar temannya yang hanya dibalas deheman oleh Bastian.

Bastian memberikan sebatang rokoknya pada Zian dan langsung diterima olehnya. Tiada hentinya mereka berdua menghisap rokok tersebut, asapnya mengepul di mana-mana. Mereka tidak peduli dengan jam pelajaran saat ini, yang mereka inginkan hanya bolos dan bersantai di rooftop.

"HEYY!!"

"Ah, shit!" Bastian melempar rokoknya ke bawah lalu menginjaknya. Begitu juga dengan Zian, ia melakukan hal yang sama.

"MASUK KE KELAS, CEPAT!!" teriak salah satu guru yang melihat kelakuan dua muridnya itu.

"Iya iya, berisik!" Zian berjalan melewatinya dan turun dengan tangga.

"Dasar bocah ini." Guru itu geram pada dua muridnya yang nakal. Saat melihat ke kelasnya tidak ada mereka, ia sudah menduga jika anak-anak nakal itu berada di atap.

Mereka berdua kini sudah tiba di kelasnya, saat itu jam kelas tengah berlangsung. Tanpa memperdulikan guru yang mengajar, mereka langsung masuk. Namun, langkah Bastian melambat, ia melihat gadis manis duduk satu meja dengannya.

"Heyy!! Bastian, Zian!! Dari mana saja kalian?!!"

"Ngerokok." jawab Bastian santai dan duduk di tempatnya. Ia menopang kepalanya dan memperhatikan gadis di sebelahnya.

"Astaga!" Bu Rani sudah tahu betul para watak muridnya itu. "Cepat keluarkan buku kalian!"

Bastian langsung mengambil buku tulis di tasnya, ia sekolah memang hanya membawa satu buku tulis. Bastian Tidak peduli pada guru yang sedang menerangkan, sejak masuk kelas ia tidak henti-hentinya menatap gadis itu.

"Woy! Lu murid baru, ya?"

Gadis itu menoleh, ia mengangguk kecil dan mengulas senyum simpulnya.

Ia salah tingkah saat gadis itu melempar senyum. Bastian menyisir rambutnya dengan jari, mencoba untuk tebar pesona. "Nama lu siapa?" Bukannya fokus belajar, ia malah asyik menggoda gadis di sebelahnya.

Bastian melihat gadis itu menulis sesuatu di bukunya. Setelah itu dia menggeser buku yang baru saja ditulis. Terdapat tulisan, 'Namaku Aleta, kamu?'

"Ohh, Aleta." Ia mengangguk paham. "Gua Bastian." Gadis itu kembali mengangguk. "Nanti istirahat mau gua ajak keliling gak? Hitung-hitung biar lu tau letak tempat-tempat di sini." Bastian melihat gadis itu kembali menulis di kertas lalu menunjukkan lagi padanya.

'Iya, makasih.'

"Selow sama gua mah."

Setelah itu Bastian diam dan tidak bertanya apapun lagi. Tapi, ia tidak berhenti memandangi wajahnya. Sebenarnya ia juga bingung, kenapa gadis itu tidak menjawab langsung saja pertanyaannya, dan malah menulis di kertas? Tak terasa jam pelajaran sudah selesai, bel istirahat pun telah berbunyi.

"Ayo! Mau ke kantin bareng, gak? Habis itu baru gua temenin lu liat-liat sekolah." ucap Bastian pada Aleta.

Aleta menggeleng, lalu ia menuliskan sesuatu lagi di kertas dan menunjukkannya pada Bastian. 'Aku bawa bekel.'

Bastian membaca tulisannya itu lalu pandangannya beralih melihat wajah Aleta yang tengah menampilkan senyum tipisnya. Ia masih heran, saat gadis itu tidak juga bicara sejak tadi.

"Lu gak bisa ngomong, ya? Dari tadi setiap gua nanya ditulis mulu." ucapnya asal bicara. Yang dilempar ucapan begitu hanya diam dan meratapi nasibnya.

"Dia tunawicara, Bas." celetuk seseorang yang duduknya tidak jauh dari mereka.

Setelah mendengar itu, Bastian memasang wajah jijik pada Aleta. "Kalau tau gini, jijik gua ngomong sama lu dari tadi." Bastian beranjak dari kursi lalu menendang mejanya yang membuat gadis itu terlonjak kaget. "Dasar cacat!" Setelah itu ia pergi bersama temannya. "Ayo, Yan. Cabut!!"

Kini Bastian dan Zian berjalan beriringan menuju kantin. Mereka berdua selalu menjadi sorotan di sekolah. Tentu bukan karena wajah mereka yang tampan, tetapi karena mereka sering merundung murid-murid yang lemah. Jadi, semua orang tidak ada yang berani berurusan dengan dua sejoli itu. Tapi tidak bisa dipungkiri, wajah mereka tampan bak seorang pangeran.

"Murid pindahan itu?" tanya Zian.

"Bisu dia. Padahal baru mau gua deketin."

Zian tertawa lepas. "Tapi kayaknya seru kalau kita gangguin."

Bastian terkekeh. "Dia gak bakalan bisa ngadu, kan?"

Kini mereka sudah tiba di kantin, namun mata Zian tertuju pada seseorang yang sudah menjadi langganan perundungannya. "Lu pesen aja, Bas. Gua mau nyamperin tuh bocah."

Bastian mengangguk. "Lu urus dah."

Zian berjalan ke arah meja orang tersebut. "Hai, Bro!" sapanya seraya merangkul laki-laki itu. Seisi kantin seketika menjadi senyap, begitu juga laki-laki itu yang kini terdiam ketakutan.

Zian memukul keras kepalanya. "Gua nyapa, lu kenapa diem aja?"

"U-uhh,,, i-i-iyaa. Hai!"

Zian terkekeh, ia duduk di hadapan orang itu. "Enak tuh makanannya."

Orang itu mengangguk kaku, dirinya sangat takut saat ini.

Zian mengambil gelas berisi air lalu menumpahkan isinya ke piring itu. "Lu harus sering-sering makan sayur, Dit." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu merebut sendok dari orang di depannya. "Sebagai teman yang baik, gua bakal suapin lu." Zian tersenyum dan mengaduk makanannya.

"Dan ini sentuhan terakhir biar makanannya jadi lebih nikmat." Ia tampak mengumpulkan air liurnya lalu meludahi makanan itu. Setelah itu ia menyendokkan makanannya ke mulut Adit. "Ayo, buka mulutnya," titah Zian.

Adit menggeleng dan menutup mulutnya rapat-rapat.

"Cepet, Sialan!" Ia tampak memaksakan untuk memasuki sesuap makanan itu pada mulutnya. Namun, Adit tidak juga membuka mulut, tentu saja ia jijik melihat makanannya itu.

"Makan ini, atau buka baju lu disini?!" ancam Zian.

Tidak ada yang berani menghentikan Zian, mereka semua tampak takut.

Karena kesal tidak ada jawaban, Zian mengambil piring itu lalu menumpahkan isinya ke kepala Adit. "Buka baju lu! CEPET!" Tangannya kembali memukul kepalanya.

Adit langsung turun dari kursi dan bersujud di hadapan Zian. "Ma-maafin aku, a-ampun."

Zian tertawa senang lalu ia berteriak pada temannya, "Bas! Gimana nih? Maafin gak?"

"Maafin aja, Yan. Kita punya target baru." teriak Bastian.

"Oke." Ia menurut dan langsung meninggalkan laki-laki itu. Kakinya berjalan menghampiri Bastian yang masih menunggu makanan.

__________

Sudah beberapa menit kemudian, Aleta menghabiskan makanannya sendiri di kelas. Ia masih memikirkan hal yang barusan, saat laki-laki bernama Bastian itu menendang meja karena merasa jijik padanya. Aleta sempat kecewa, ia pikir ia akan mendapatkan teman di hari pertama sekolahnya di sini.

Tangannya merogoh tas ransel miliknya dan mengambil sebuah kamera. Aleta sangat menyukai seni, ia senang memotret hal-hal yang baru ataupun sesuatu yang menarik di matanya. Aleta beranjak dari kursi dan berjalan keluar untuk mengambil gambar dengan kameranya.

Ia terus berjalan mengikuti kemana langkah kakinya, sambil terus memotret semua objek yang terlihat bagus. Saat ia masih terus melakukan hobinya, dari kamera Aleta bisa melihat Bastian yang sepertinya tengah berjalan mendatanginya. Ia juga sempat memotret Bastian setelah itu melepaskan kameranya dan membiarkan benda itu menggantung di lehernya.

Bastian kini sudah berada di hadapannya. Ah, bukan hanya Bastian, ada Zian juga di belakangnya.

"Cantik banget, Bas." celetuk Zian yang menyentuh rambut Aleta. Aleta yang sedang diperlakukan seperti itu sontak menepis tangannya.

"Anjir! Jual mahal banget."

Bastian terkekeh. "Lu juga maen sentuh-sentuh aja. Eh tapi, gua juga hampir ketipu sama tampangnya itu."

"Kasian, cantik-cantik cacat." iba Zian.

Bastian langsung menyambar tangan Aleta dan menariknya. "Ikut gua!" Gadis itu mencoba menarik tangannya kembali, tetapi rasanya sulit. Cengkraman tangannya sangat kuat, hingga membuat pergelangan tangannya sakit.

"Mau dibawa ke mana?" tanya Zian.

"Atap."

Bastian dan Zian terus membawa Aleta menaiki anak tangga menuju Rooftop, ada banyak murid lain yang memperhatikan mereka. Pasti akan ada sesuatu terjadi, pikir para murid-murid itu.

Setelah menaiki beberapa anak tangga, mereka bertiga kini sudah berada di atas atap. Bastian langsung mendorong Aleta dan membuat dia terjatuh.

Bastian tertawa setelah apa yang ia perbuat. Zian juga ikut terkekeh, ia berjalan menghampiri gadis itu dan berjongkok di depannya. "Lu takut, hmm? Anggaplah ini sambutan dari kita berdua." ucapnya sedikit menyentuh tengkuk gadis itu.

Aleta takut, ia bergerak mundur dengan posisi yang masih terduduk. Kepalanya terus menggeleng dan bibirnya bergetar. Tidak ada kata yang bisa ia lontarkan, ia juga bingung harus bagaimana melawan dua laki-laki itu.

Bastian langsung menghampiri gadis itu, dan tubuh Aleta kini sudah berada tepat di bawah kakinya. Bibirnya menyeringai melihat Aleta yang sudah mengeluarkan air matanya. Posisi Bastian merangkak di atasnya, ia membentangkan kedua tangan Aleta ke samping dan menahannya.

Bastian lagi-lagi terkekeh geli, Ia mulai mendekatkan wajahnya dan menyusup masuk ke dalam leher gadis itu.

"Ah, bangsat. Start duluan dia." maki Zian sedikit tak terima.

Aleta terus memberontak dan berteriak, hanya itu yang bisa ia usahakan, berteriak kencang berharap seseorang menolongnya. ia merasakan laki-laki itu terus menyesap kulit lehernya bahkan beberapa gigitan kecil juga bisa Aleta rasakan. Air matanya terus mengalir, dirinya pasrah. Sulit untuknya melepaskan cengkraman laki-laki itu. Semakin lama lehernya terasa perih, karena ulah Bastian. Aleta menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah, ia takut sangat takut. Aleta juga bisa melihat Zian yang sedari tadi terus merekam pelecehan ini. Ini baru hari pertama, bagaimana hari kedepannya?

Ya Tuhan, selamatkan aku.

đŸ”„

avataravatar
Next chapter