webnovel

Chapter 2

When we live such fragile

lives It's the best way to survive

"Bunda akan hitung sampe tiga, kalo kalian belum turun juga, kalian bakalan jalan kaki ke sekolah!" teriak Jana dari bawah tangga yang disusul teriakan-teriakan panik.

"Tunggu!!! Lho kok… kaus kaki aku di mana? Erga!!! Kamu ambil kaus kakiku, ya?" teriak Raka.

"Nggak kok. Aku udah ada," jawab Erga. "Satu…," teriak Jana.

"Aggghhh…. Tunggu!!! Kaus kaki Raka ilaaa…ng," teriak Raka lagi. Jana mendengar langkah kecil berlari masuk kembali ke dalam kamar tidur.

"Pake yang lain aja kenapa sih?" Jana mendengar Erga sedikit mengomel. "Aku nggak mau pake yang lain. Itu kaus kaki yang aku suka," jawab Raka. "Sama aja. Sama-sama putih kok," balas Erga.

"Lain," Raka tetap bersikeras.

"Dua…," teriak Jana lagi sambil melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul 06.35. dia mendongak ketika mendengar ada langkah halus sedang menuruni tangga. Erga terlihat rapi dengan seragam sekolahnya.

"Raka mana?" Tanya Jana.

"Bentar lagi turun, lagi pake kaus kaki," ucap Erga lalu berjalan menuju lemari sepatu. "Rakaaa!!! Panggil Jana.

"Bentar… bentar…," Raka menjawab sebelum kemudian tubuh kecilnya berlari menuruni tangga. Lain dengan Erga, Raka masih terlihat berantakan. Rambutnya tidak disisir dengan rapi, kemejanya sudah dimasukkan ke dalam celananya dengan asal dan kerahnya naik di bagian belakang.

"Dasinya mana?" Tanya Jana sambil menurunkan kerah kemeja Raka.

Raka langsung melirik Erga yang mengangguk kepalanya. "Ada di Erga," jawab Raka.

Jana mencoba melarikan jari-jarinya pada rambut Raka agar lebih rapi, tapi rambut keriting itu menolak bekerja sama, sebelum melepaskan Raka berlari ke arah lemari sepatu. "Lampu udah mati semua?" Tanya Jana.

"Dah," jawab Erga dan Raka bersamaan. "AC?" Tanya Jana lagi.

"Dah," jawab Raka sambil mengenakan sepatunya. "Yakin?" Tanya Jana. Raka mengangguk semangat.

"Ya udah, ayo berangkat. Kita udah telat ini," ucap Jana dan mematikan lampu ruang tamu. Dia membuka pintu depan dan menunggu dengan sedikit tidak sabar hingga Raka selesai mengikat tali sepatunya.

Pukul 06.45 Erga dan Raka lari melewatinya sambil berteriak, "Aku duduk depan," pada saat bersamaan.

"Aku duduk depan, kamu kemaren udah duduk di depan," omel Erga.

"Tapi aku kemaren kan sakit, jadi Bunda kasih aku duduk depan," sangkal Raka.

"Kamu ngalah dong sekali-sekali. Minggir, sekarang giliran aku." Erga mencoba mendorong Raka yang sedang mengadang di depan pintu penumpang mobil.

Jana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. Setelah mengunci pintu rumah dan dia pun menaiki mobil dan menghidupkan mesin. Dia menurunkan kaca jendela bangku penumpang dan berteriak," Bunda nggak peduli siapa yang duduk depan, tapi kalo kalian nggak masuk sekarang juga, Bunda berangkat sendiri."

Dari kaca spion kiri Jana melihat Erga menundukkan kepalanya dan membuka pintu belakang, sedangkan Raka membuka pintu depan dengan senyum penuh kemenangan. Mau tidak mau dia tersenyum melihat anak-anaknya ini. Meskipun mereka adalah anak kembar dengan wajah sama persis, tingkah laku mereka seperti bumi dan langit. Keduannya memang memliki kepandaian jauh di atas rata-rata, tetapi secara emosi Erga jauh lebih dewasa daripada Raka. Sehingga walaupun kadang-kadang Erga kelihatan sudah kehabisan kesabarannya mengahadapi Raka, akhirnya dia selalu mengalah juga. Untungnya mereka masih berumur tujuh tahun jadi masih ada beberapa tahun lagi sebelum mereka mulai pacaran. Jana berharap mereka setidak-tidaknya akan memiliki selera yang jauh berbeda, sehingga tidak akan bertengkar rebutan cewek. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana cara menengahi pertengkaran seperti itu.

Jana mengucap syukur karena lalu lintas cukup lancer untuk hari Rabu, sehingga mereka bisa sampai di sekolah sebelum bel berbunyi. "Belajar yang tekun, ya," ucap Jana sambil mencium pipi Raka dan Erga. "Jangan bandel. Bunda nggak mau dipanggil sama Kepala Sekolah lagi gara-gara kalian disetrap. Oke?"

"Oke, Bunda," jawab Erga dan Raka bersamaan. Lalu mereka turun dari mobil dan berjalan memasuki area sekolah sambil bergandengan tangan. Anak-anaknya tidak pernah berhenti membuatnya terkesima, satu menit bertengkar sudah seperti perang dunia ketiga, tapi menit selanjutnya mereka sudah adem-ayem seakan-akan pertengkaran tidak pernah terjadi.

Setelah satu lambaian tangan kepada mereka, Jana membawa mobilnya kembali ke jalan raya. Hari ini jadwalnya super padat. Ada proyek pembangunan mall baru di kawasan Mangga Dua dan Bos sudah merongrongnya agar segera menyelesaikan desain bangunan. Kalau saja Minah, pengasuh anak-anaknya tidak memutuskan menikah dengan sopir Jana sebulan yang lalu, dan dua-duanya balik ke Jawa, Jana yakin pekerjannya tidak akan terbengkalai seperti sekarang. Dia betul-betul tidak bisa berpikir dikelilingi oleh dua anak berumur tujuh tahun yang bandelnya ngalah-ngalahin Dennis the menace. Satu hari setelah Minah pergi, dia dipanggil ke sekolah karena Raja baru saja membuat salah satu temannya babak-belur. Ketika dia melihat Raka yang tidak lebam sama sekali meskipun wajahnya agak sedikit merah dan temannya dengan seragam agak robek dan hidung disumbat tisu karena mimisan, hal pertama yang terlintas di kepalanya adalah: sejak kapan anaknya jadi preman sekolah?

Ketika Jana Tanya kenapa dia ngegebukin temannya, Raka hanya menjawab, "Abis Mark bilang Erga banci, soalnya Erga nggak mau bales pukulannya. Banci itu bad word kan, Bunda? Mark nggak boleh kan pake kata itu?" dengan jawaban seperti itu Jana tidak bisa memarahinya, apalagi karena dia hanya mau membela harga diri kembarannya.

Lain waktu Jana di telepon oleh Asti, ibunya Bowin, salah satu teman Raka dan Erga, yang mengundang mereka ke acara ulang tahunnya. Asti berteriak histeris di telepon dan memintanya segera menjemput anak-anak dari rumahnya saat itu juga. Jana terpaksa meninggalkan rapat dengan kontraktor dan datang secepat mungkin ke tempat kejadian. Dia baru saja turun dari mobil ketika melihat beberapa anak yang basah dari ujung rambut hingga ujung kaki dan diselubungi busa berwarna putih, berhamburan keluar dari rumah Asti. Buru-buru dia masuk ke dalam rumah dan mengikuti jejak-jejak basah menuju kolam renang di halaman belakang.

"Jeng Jana, akhirnya sampai juga," teriak Asti masih histeris.

Jana mencoba tidak menghiraukan cara Asti menyapanya. Dia paling benci dipanggil "Jeng", karena terkesan seperti ibu-ibu pejabat dengan sasakan supertinggi dan kalau bicara biasanya menggunakan bahasa Jawa halus atau bahasa Belanda.

"Erga sama Raka baik-baik aja, kan?" Tanya Jana khawatir.

"Mereka sih nggak pa-pa, kolam renang saya yang bermasalah," balas Asti sambil menggiringnya ke halaman belakang.

Langkah Jana langsung terhenti ketika melihat kolam renang berukuran kecil dan lebih cocok disebut kiddy pool ( tapi Asti, yang bangga sekali karena punya kolam di halaman rumahnya menolak menyebutnya kiddy pool ), sudah berlimpah busa warna putih.

"Erga sama Raka numpahin detergen ke dalam kolam," jelas Asti. "Saya lagi pergi ke dapur sebentar untuk ambil minuman, waktu saya balik keadaan udah begini."

"Seberapa banyak yang ditumpahin?" Tanya Jana mencoba serius, padahal dalam hati dia ingin ketawa. Dia tidak tahu dari mana Raka dan Erga mendapat darah kebandelan mereka, karena jelas-jelas dia tidak pernah sebandel ini waktu SD.

"Cukup untuk membuat kolam renang saya jadi begini," jawab Asti sambil melambaikan tangannya kea rah kolam renang dengan putus asa.

Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut, Jana segera mencari Erga dan Raka lalu menggeret mereka untuk meminta maaf kepada Asti dan Bowin Karena telah merusak acara ulang tahun itu.

"Saya minta maaf sekali soal ini. Tolong saya dikirimi tagihan untuk membersihkan kolam renang," ucap Jana sambil menyodorkan kartu namanya kepada Asti.

"Jeng Jana, mohon maaf lho, Jeng, kalo saya lancing. Saya tahu anak-anak seumuran Raka dan Erga memang suka bandel, tapi kok sepertinya mereka bandelnya luar biasa, ya?"

Jana mencoba tersenyum ketika mendengar komentar ini, meskipun dalam hati dia ingin meneriaki Asti agar tidak mengata-ngatai anak-anaknya. "Biasanya mereka nggak sebandel ini, tapi babysitter mereka baru berhenti dan saya belum dapat pengganti yang cocok untuk mereka," ucapnya semanis mungkin.

"Saya tahu Jeng sibuk, tapi apa nggak bisa Jeng berhenti kerja untuk jagain mereka?" meskipun nada Asti lembut, Jana mendengar ada nada sinis di dalamnya.

"Asti, saya ini single parent. Kalo saya berhenti kerja, itu berarti anak-anak saya nggak bisa makan," ucap Jana ketus.

"Oh, Jeng, saya minta maaf. Saya nggak tahu."

Asti adalah jenis orang yang selalu mau tahu urusan orang lain, sehingga Jana hanya harus menunggu lima detik sebelum Asti menanyakan pertanyaan selanjutnya. "Ayah mereka ada di mana?"

Jana mengembuskan napasnya sebelum menjawab, "Ayahnya anak-anak sudah lama meninggal."

Suatu kebohongan besar, dia bahkan tidak tahu keberadaan laki-laki yang sudah menghamilinya itu. Mata Asti langsung terbelalak, dan sebelum dia bisa bertanya-tanya lagi, Jana langsung memotong, "Maaf, saya harus buru-buru. Sekali lagi saya mohon maaf soal ini, tolong saya ditelepon kalo tagihannya udah sampai."

Jana langsung meninggalkan Asti yang masih kelihatan penasaran. Dia tahu bahwa kehidupannya adalah suatu misteri di antara para orangtua teman-teman anak-anaknya. Kebanyakan dari mereka menyangka dia pasti menikah muda karena di umurnya yang baru 27 tahun dia sudah punya anak berumur tujuh tahun. Dia bahkan yakin bahwa beberapa dari mereka menudingkan jari padanya sebagai korban MBA alias Married by Accident.

Tetapi dia sudah hidup dengan gossip-gosip itu semenjak kehamilannya dan dia sudah kebal. Jana kembali menumpukan perhatiannya ke jalan raya menuju Rasuna Said. Dia memasuki area bangunan kantornya dan berhenti di depan lobi. Joko langsung mengambil alih posisinya di belakang setir. "Selamat pagi, Mbak," ucapnya.

"Pagi, Jok," balas Jana dan melangkah masuk ke bangunan kantor.

Jana memasuki ruang kerjanya tepat pukul 08.30. dia meletakkan tas di atas meja dan tidak lama kemudian Caca, asistennya, melangkah masuk sambil membawa agendanya.

"Pagi, Bu," ucapnya. Jana hanya menggangguk dan duduk di kursi kerja.

"Ibu ada pertemuan dengan TO jam 09.30 untuk membicarakan tentang desain Mangga Dua; jam 11.30 ada pertemuan dengan Ibu Marlene tentang proyek di yogya. Saya udah minta Joko supaya menjemput anak-anak dari sekolah nanti, jadi ibu nggak usah khawatir tentang itu. Dari jam 14.00 sampai 17.00 udah saya blok supaya nggak ada yang ganggu ibu di kantor."

Jana sudah terbiasa dengan keefesienan Caca dalam mengatur jadwalnya sehingga dia hanya perlu mengangguk sebagai tanda setuju. Setelah Caca berlalu, Jana menyalakan komputer di mejanya dan menunggu hingga wajah Erga dan Raka menghiasi layar sebelum menyerang outlook. Untungnya tidak banyak e-mail yang harus dijawab. Pukul 09.25 dia melangkah menuju ruang kerja TO, alias Tjakra Oetomo, bosnya. Tubuh pak Tjakra yang tinggi besar sedang berdiri dihadapan beberapa maket gedung-gedung yang telah didesain oleh para arsitek dan dibangun oleh kontraktor di bawah pengawasannya.

"Pagi, Pap," ucap Jana lalu mencium pipinya.

"Pagi, saying," sambut Papi dan membalas ciuman Jana. "Ayo kita lihat desain kamu untuk Mangga Dua," lanjutnya.

Mereka berjalan menuju sebuah meja besar dan Jana membuka gulungan plan di genggamannya untuk di periksa oleh Papi, yang langsung mengeluarkan kacamata baca dari kantong kemejanya. Setelah menenggerkan kacamata pada batang hidunganya, Papi membungkuk dengan pulpen merah di tangan kanan. Jana sadar bahwa untuk orang seumurannya, Papi masih kelihatan superfit dan ganteng dengan gaya dandy ala Sean Connery. Banyak orang mengatakan Papi orangnya "sulit" dan "keras" karena selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi selama ini orang selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi selama ini orang selalu menoleransi sikapnya karena dia adalah salah satu arsitek terbai di Indonesia. Papi, seperti juga Eyang Kung, adalah pemegang tujuh puluh persen saham PT. Oetomo Jaya yang menguasai bisnis konstruksi pembangunan gedung-gedung di area Jawa dan Bali. Di dalam keluarga Oetomo hanya ada dua jenis karier, yaitu arsitektur dan teknik lanskap. Semenjak kecil Jana sudah di persiapkan oleh keluarganya untuk bergabung dengan perusahaan turun-temurun ini. Entah insiden horor apa yang akan terjadi kalau misalnya dia memutuskan berkarier di dunia lain.

Kemungkinan Papi akan langsung kena stroke.

Beberapa menit kemudian, setelah Papi puas dengan coretannya, beliau menegakkan tubuh. Tangannya mendorong plan yang ketika di bentangkan di atas meja setengah jam lalu masih rapi dan bersih, dan sekarang kelihatan seperti salah satu adegan film Texas Chainsaw Massacre, ke arah Jana. Itulah Papi, semua orang yang berpikir beliau orangnya "sulit" dan "keras", jelas-jelas nggak pernah merasakan jadi anaknya. Kedua kata itu terlalu lembut untuk menggambarkan sikap Papi padanya. Di dalam kepala Jana, hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan Papi, yaitu "Impossible". Tidak peduli apa yang Jana sudah capai di dalam hidupnya, Papi tidak akan pernah puas. Sifat Papi itu semakin parah setelah Jana pulang dari Amerika, tanpa membawa ijazah dan hamil. Mungkin kalau dia membawa laki-laki yang sudah menghamilinya pulang, Papi dan Mami masih bisa menoleransinya.

Masalahnya Jana yang saat itu patah hati dan suoer pissed-off dengan bajingansatu itu tidak sudi mengucapkan namanya.

Percakapan yang dia miliki dengan kedua orangtuanya delapan tahun lalu terlintas di benaknya.

"Siapa yang menghamili kamu, Jana?" teriak Papi.

"Cowok yang aku kenal di frat party beberapa bulan yang lalu." Jawab Jana yang disambut pekikan, "Oh, lord, help us," dari Mami yang kini menatapnya seakan-akan dia memiliki tanduk.

Sepertinya beliau tidak percaya anaknya yang diajar untuk menghadiri misa di gereja setiap minggu berkelakuan seperti perempuan jalang.

"Namanya siapa?" Tanya Papi penuh selidik. "I don't know," jawab Jana.

"Kamu bahkan nggak tahu namanya?" Papi sudah berteriak lagi dan Mami mencoba menenangkannya.

Papi menghela napas dalam sebelum berkata-kata lagi. "Apa dia tahu kamu hamil?" tanyanya dengan lebih tenang.

"Pap, gimana dia bisa tahu? Aku bahkan nggak pernah ketemu dia lagi setelah malam itu."

Dalam hati Jana berharap dia tidak akan disambar petir karena sudah membohongi orangtua.

"Oh my God, Jana. Papi dan Mami membesarkan kamu lebih baik dari ini. Mami nggak percaya kamu bisa sebegini teledornya dengan hidup kamu. Muka Papi dan Mami mau dikemanain kalo tetangga sampe tahu kamu hamil tanpa suami?" ucap Mami yang kelihatan sudah siap menangis.

Sekarang giliran Papi mencoba menenangkan Mami sambil memberikan tatapan penuh tuduhan kepada Jana. Kalau saja tatapan bisa membunuh, Jana pasti sudah mati berlumuran darah. Setelah Mami lebih tenang, Papi berkata, "Jana, kamu lihat kan kehamilan kamu ini sudah membuat Mami stress? Apa kamu nggak kasihan sama Mami? Kamu harus menggugurkan kandungan kamu, Jana."

"Pap…"

"Sekarang, sebelum terlambat," potong Papi dengan nada meninggi. "Papi…" Jana mencoba menyela tapi tidak dihiraukan.

"Papi akan cari tahu klinik aborsi yang bisa tutup mulut."

"Aku nggak mau aborsi, aku mau membesarkan bayi ini, 'teriak Jana mulai histeris' Dan apa rencana kamu untuk ngasih makan bayi ini?"

"Aku bisa cari kerja."

"Dan kerja jenis apa yang kira-kira bisa kamu dapatkan hanya dengan ijazah SMA, hah?" "I don't know. Something."

Papi mendengus keras. "Kalo kamu pikir Papi akan ngebiarin kamu tinggal di rumah ini sementara kamu punya anak haram itu, kamu salah."

"Aku nggak perlu bantuan Papi, oke? Aku bisa berdiri sendiri." "No… you cannot. You are a child!!!"

Dan Jana yang seumur hidupnya selalu taat dan sopan pada orangtua, untuk pertama kalinya meledak di hadapan mereka. "Yes, I am a child, yang masih suka bikin kesalahan dan perlu bimbingan orangtua. Aku minta maaf karena udah ngecewain Papi, tapi keputusanku sudah bulat, aku nggak mau aborsi. Bayi ini nggak salah apa-apa, dan dia nggak seharusnya jadi sasaran cuma gara-gara kesalahan yang aku buat. Dia berhak hidup. Dan kalo Papi dan Mami nggak bisa nerima kenyataan itu hanya gara-gara malu sama tetangga, itu berarti Papi dan Mami nggak berhak mengenal anak ini."

Dan dengan dramatis Jana melangkah pergi, meninggalkan orangtuanya terbengong- bengong. Dia tidak bisa menghabiskan satu detik lagi di bawah atap Papi kalau beliau tetap memaksanya menggugurkan kandungannya dan memanggil anaknya "anak haram". Dia tidak tahu kemana dia akan pergi meminta bantuan. Putra, adiknya yang baru saja menginjak bangku SMA masih tinggal dengan orangtua mereka dan di bawah kontrol mereka. Papi adalah anak tunggal, sedangkan Tante Mika, adik Mami, tinggal di Jepang.

Untungnya dia tidak perlu pusing lama-lama karena tanpa disangka-sangka, Papi menuruti permintaannya.

Sampai sekarang dia masih tidak percaya bahwa dia berani memberikan ultimatum seperti itu kepada orangtuanya, tapi setiap hari melihat Raka dan Erga, dia bersyukur telah melakukannya. Dan dia rasa Papi dan Mami juga merasakan hal yang sama karena mereka lebih memanjakan cucu-cucu mereka daripada dirinya.

"Masih banyak perbaikan yang perlu kamu lakukan untuk desain itu." Kata-kata Papi menarik Jana dari masa lalu.

Jana tahu pertemuan mereka sudah berakhir ketika Papi meninggalkannya membereskan plan dan melangkah menuju mejanya. Jana baru saja mengambil satu langkah menuju pintu ketika Papi memanggilnya. "Jana, ada sesuatu yang Papi perlu bicarakan dengan kamu."

Hal pertama yang terlintas di kepala Jana adalah: "Oh no, what did I do this time?" dari pengalaman, tidak pernah ada hal bagus yang mengikuti perintah itu. Dengan langkah ragu Jana menuju meja Papi. Perhatian Papi tertuju pada selembar kertas di hadapannya, yang kelihatan seperti undangan. Jana melirik amplop di atas meja, yang berlambangkan salah satu yayasan yang menerima sumbangan dari keluarga Oetomo setiap tahunnya.

"Ini undangan untuk acara penggalangan dana minggu depan. Papi mau kamu menghadiri acara ini." Papi meletakkan undangan yang tadi di bacanya di hadapan Jana, yang kini menatap Papi dengan sedikit mengerutkan dahi.

"Bukannya biasanya Papi yang selalu datang sendiri ke acara ini?" tanyanya bingung. "Biasanya memang begitu, tapi ada bagusnya kamu mulai lebih aktif mewakili Papi ke acara- acara seperti ini daripada ngedekem aja di rumah kayak kura-kura."

Jana hanya mengerlingkan matanya kepada Papi sebelum berkata, "Pap, aku punya anak kembar umur tujuh tahun. Babysitter dan sopirku baru aja berhenti, kerjaanku seabrek, aku nggak punya suami yang bisa bantu, mana aku ada waktu?"

"Kamu kan bisa titipin Erga dan Raka sama Mami dan Papi kalo kamu mau keluar," Papi bersikeras Jana menatap Papi curiga, tidak biasanya beliau sebegini ngotot menginginkannya muncul di hadapan publik. "Bukannya Papi bilang ke aku untuk nggak muncul di publik? Bahwa akan mempermalukan keluarga kalo melakukan itu?" Tanya Jana curiga.

"Itu kan delapan tahun yang lalu waktu kamu hamil tanpa suami." Balas Papi tenang. "So what, sekarang aku single mother. Masih tanpa suami di mana bedanya?"

Papi mengembuskan napas dan berkata, "Papi Cuma nggal mau kamu kesepian. Erga dan Raka juga udh semakin besar, mereka perlu figure laki-laki dalam kehidupan mereka."

Hah? Sejak kapan Papi jadi sentimental begini? Jana menatap Papi tajam, kemudian menyipitkan matanya untuk lebih memastikan lagi. Laki-laki di hadapannya kelihatan seperti Papi, tapi jelas-jelas tidak bertingkah laku seperti Papi. Kalau dia ada waktu mungkin dia akan menginvestigasi hal ini lebih lanjut, tapi karena dia tidak ada waktu, akhirnya dia hanya berkata, "Aku harus membicarakan hal ini sama Erga dan Raka dulu, nanti Papi aku kasih tahu."

Tanpa menunggu balasan dari Papi, Jana langsung ngacir keluar ruangan itu.

Next chapter