webnovel

Lamaran Di Pagi Hari

Belum genap dua puluh empat jam pernikahannya dengan Nadan batal, Sofia sudah dikejutkan dengan informasi yang disampaikan sang ayah. Katanya Sofia akan dipinang oleh lelaki bernama Nazam.

"Ayah sudah hubungi keluarganya, mereka setuju dan akan segera datang untuk meminang kamu."

Tak ada berita yang paling megangetkan daripada ini. Sofia mematung hampir sempurna, kesulitan berkata-kata. Bisa-bisanya sang ayah melakukan hal itu tanpa persetujuannya dulu

"Ayah, baru beberapa jam Sofia batal nikah, main sepakat aja buat cari pengganti calon suami," protes Sofia. Tentu saja ia agak keberatan dengan perkataan sang ayah. "Bahkan lukanya masih belum kering, tapi kenapa ...."

Ucapan Sofia menggantung di udara. Memikirkan betapa ayahnya begitu egois. Ia mengira ayahnya tak mau malu jika pernikahan dibatalkan. Maka, mungkin membawa lelaki asing adalah jalan terbaik sebagai solusi.

Sofia mendesah kesal. Dijodohkan dengan seseorang yang tak dikenal dan dadakan? Yang benar saja. Sofia tak percaya keluarganya bisa berpikir sampai sejauh itu.

"Dia anak teman ayah. Pribadinya baik, ayah tahu. Memang kenapa kalau kamu baru pisah dengan lelaki berengsek itu? Perasaan tidak ngaruh sama sekali," balas ayahnya membuat Sofia tercengang.

"Tapi, Yah, Sofia nggak kenal sama laki-laki itu, gimana kami bisa menikah?" tolaknya keras.

"Pengenalan bisa dilakukan setelah menikah. Ayah enggak mau putri ayah gila hanya karena seorang lelaki berengsek yang kabur empat hari sebelum pernikahannya demi wanita lain. Ayah menjodohkan kamu dengan Nazam dengan niat agar kamu bisa perlahan melupakan mantan berengsek kamu itu, dan tentunya ini sudah dipikirkan matang penuh perhitungan. Ibumu juga setuju," jelas sang ayah panjang lebar.

"Tapi, Yah ...."

"Kamu harus nurut kali ini. Karena semua demi kebaikan kamu," putus ibundanya.

"Mbak ...." Sofia menoleh ke arah Nymas. Berharap ia membantunya lepas kali ini.

"Nurut saja, Sofia. Mungkin memang ini yang terbaik buat kamu. Yang penting keluarga tahu dia pria yang baik, yang bertanggung jawab, dan tentunya fix akan menikahi kamu."

Lemas sudah rasanya kaki Sofia. Ia tak bisa menolak setelah semuanya setuju.

Bukan apa, semua butuh proses. Sofia tak mungkin langsung menerima pinangan Nazam yang tak ia kenal itu. Ia takut nanti malah tidak bisa menjadi istri yang baik dan selalu menyakiti perasaannya sebab tak cinta sama sekali.

***

Pagi-pagi sekali rumahnya sudah ramai. Namun, keadaan hati Sofia yang masih patah membuat suasana di rumah itu seperti sepi. Ia kosong dan tak semangat.

Bagaimana tidak? Tiga hari lagi harusnya ia duduk manis di pelaminan dengan bahagia, tetapi semua hancur sekejap mata. Bahkan lebih parahnya Sofia langsung dijodohkan dengan lelaki asing bernama Nazam.

"Pagi, Sofia. Sudah bangun?" Tante Elena menyapa ia yang baru turun dari tangga.

"Heem." Sofia menyahut singkat. Tak punya alasan lain untuk melanjutkan sapaan ke sebuah obrolan.

Terlihat di rumah berantakan. Ramai sekali sudah seperti berada di pasar malam. Orang lalu lalang baik yang dikenal atau tidak.

Mereka adalah pihak WO yang datang untuk diskusi riasan pengantin. Ibundanya yang menemui dan mengatur. Sofia sudah malas. Terserah mau dibuat bagus atau hancur sekalipun. Sebab pernikahan itu tak akan berakhir bahagia untuknya.

Masuk ke dapur, masih sama. Ramai. Saudara ibunya sedang memasak bersama.

"Hai, Sayang. Coba dulu ini menurut kamu enak, enggak?" Tante Wulan menyodorkan sendok penuh kuah sambil sesekali meniupnya.

Terpaksa Sofia menyicip rasa. Kepalanya mengangguk kagum usai merasakan kuah itu begitu kaya rasa.

"Enak banget, Tan."

Tante Wulan tos dengan anaknya yang remaja. Mereka berhasil.

"Oke, sekarang tinggal tunggu agak nyusut dulu baru angkat. Nanti tata yang benar, ya. Awas jangam sampai ada kesalahan, soalnya ini buat tamu spesial," ucap Tante Wulan.

Sofia penasaran. "Siapa tamu spesial?" Perasaan tak merasa akan kedatangan tamu.

"Calon suamimu dan keluarganya. Hari ini mau ke sini," potong ibunda Sofia yang datang dari samping dengan membawa piring-piring dan di tata di meja makan.

"Ooh ...." Sofia menyahut malas. Ia sudah tak kaget lagi soal lelaki pengganti calon suaminya itu.

Terserah. Senyum yang tak pernah terlihat sejak kemarin itu tambah muram saja. Apalagi mendengar calon suami baru mau datang.

Bundanya menghela napas pelan.

"Nazam itu lelaki baik-baik, Sayang. Kamu tidak usah sekecewa itu. Bunda yakin, setelah menjalani hari-hari dengannya, kamu akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya," yakin sang bunda menghibur.

Entahlah, Sofia masih agak meragukan. Kebahagiaan untuknya? Rasanya semua hanya akan berakhir menjadi mimpi yang tak tergapai.

"Kalau rumah tangga kami nanti gagal, bunda sama ayah jangan pernah berharap Sofia bakal mau dijodohin lagi."

Deg!

Perkataan itu terlampau sarkas bagi sang ibunda. Rasanya seperti baru saja Sofia mengiris sedikit hatinya dengan belati. Namun, sayangnya gadis itu tak merasa bahwa perkataannya salah.

"Jangan terlalu bawa perasaan, Sofia. Kami sudah cukup mendengarkan kamu selama ini. Kali ini tolong bagian kamu yang mendengarkan kami. Meski ini seperti memaksa, tapi setidaknya kami tahu mana yang baik untuk kamu," ucap sang bunda yakin dengan mata berkaca.

"Lihat ayahmu, kamu enggak kasihan terus-terusan membuat ayah sedih? Kami menjodohkan kamu dengan Nazam bukan untuk melihat kegagalan! Bunda juga sama sakitnya atas perlakuan Naran, bunda tahu! Kamu pikir kita semua enggak memikirkan itu?" Amarah bunda meledak seraya menangis. Sofia tercenung. Seolah tersadar dari keegoisan diri, air matanya kembali jatuh.

Seluruh anggota keluarga diam, melihat dengan rasa tak nyaman kepada perseteruan kecil Sofia dan ibundanya.

"Maafin Sofia, Bun. Sofia hanya terus berpikir egois, tanpa bersyukur atas usaha keras Bunda sama Ayah untuk membahagiakan Sofia. Sofia janji, enggak akan membantah lagi," ucap Sofia lirih seraya memeluk erat tubuh sang bunda.

Emosi bunda Sofia reda seketika. Ia membelai rambut putrinya lembut.

"Bunda janji, kalau sampai Nazam nyakitin kamu, bunda sendiri yang akan menghabisi dia."

Sofia mengangguk mencoba percaya kata-kata bundanya.

"Sekarang ayo mandi. Sebentar lagi calon suami kamu tiba."

"Siap, laksanakan komandan." Gadis itu mendadak ceria, tapi semua orang tahu itu hanyalah topeng belaka. Memangnya laki-laki macam apa yang melamar di pagi hari? Sofia yakin laki-laki ini punya sedikit kelainan alias tidak normal.

***

Sofia Manaf menatap lurus hampir tak berkedip ketika Nazam sang calon suami sungguh datang di pagi hari, lengkap dengan kedua orang tua serta satu perempuan muda yang diperkirakan adalah adiknya.

"Maaf kami datang begitu pagi, katanya Nazam ada janji temu dengan klien hari ini, jadi memilih waktu pagi begini. Semoga tidak berlebihan," ucap lelaki tua berkumis tebal.

"Tidak apa-apa. Lebih cepat lebih baik." Ayah Sofia tertawa menyambut ucapan itu.

Sementara Sofia masih berdiri bagai patung sekarang. Menatap Nazam bagai terhipnotis. Ternyata lelaki yang ia klaim punya kelainan ini hanyalah lelaki biasa, tampan, dan tampak lebih baik dari Naran dalam segi apa pun. Oh, tidak. Apakah Sofia langsung jatuh cinta? Tak mungkin.

Next chapter