2 Keterkejutan

"Aku di mana?"

Kei berkata nada suara lemah. Membuka mata dan tampak cahaya sangat terang dan menyilaukan menembus retina matanya. Hanya telapak tangan menghalangi cahaya terang itu.

"Kamu ada di rumahku, nak."

Sontak Kei menoleh ke sumber suara. Ungkapan dari mulut seorang wanita menarik perhatiannya.

"Siapa kamu?" ia bertanya garang, sejujurnya ada nada takut terselubung dalam dirinya. Matanya membulat, dengan posisi kini duduk, ia menatap wanita dengan senyuman manis terukir di bibir tuanya.

Bisa saja wanita itu orang suruhan pria bajingan yang telah memerkosanya entah sudah berapa jam waktu ia lewatkan hingga sampai di sini.

"Perkenalkan, aku Gina. Panggil saja bibi Gin kalau ingin mengenalku lebih jauh lagi. Dan mengenai mengapa kau ada di sini, bibi punya penjelasan untukmu."

"Jadi gini, sewaktu anak teman bibi pergi, ia menemukanmu di semak-semak dekat perumahan ini. Tubuhmu sangat kacau, dan… Yah, tampaknya kamu dan suamimu baru melakukannya."

"Tidak! Dia bukan suamiku!" bantah Kei segera.

Wanita berwajah segar dan berpostur tubuh gendut itu menatapnya aneh, "Tapi inti tubuhmu? Maaf, tapi sempat dokter datang kemari. Dan kata beliau, ada sedikit perobekan pada inti tubuhmu. Selain tidak berhubungan, bibi rasa tidak ada sebab lain kecuali kecelakaan. Tapi tubuhmu tampak baik-bajk saja."

Kei tertunduk. Dia menatap dalam kasur hangat dan lembut yang kini di dudukinya.

"Tadi juga kata dokter inti tubuhmu membengkak dan memar. Seharusnya tidak diperbolehkan setelah berhubungan, melakukan perjalanan panjang. Apa kamu punya masalah dengan calon suamimu?"

"Tidak!"

"Lalu?"

"Aku belum pernah menikah, setidaknya bertunangan, nyonya!"

"Hmm, apa dia pacarmu?"

"Sudah ku katakan! Dia bukan siapa-siapaku! Jangan banyak tanya, nyonya! Aku tau kamu utusan laki-laki brengsek itu!"

"Arghhh!!"

Kei menjambak kasar rambutnya.

Semakin membuat wanita itu mengeryit, namun lumayan mengerti dengan maksud Kei.

"Ini, minumlah dahulu. Buat pikiranmu kembali segar," wanita itu menyodorkan secangkir teh dengan lembut dan penuh kasih sayang serta kesabaran.

Namun tangan Kei malah menepis teh hangat dari tangan Gina hingga tumpah dan membentuk remahan kaca sebab terbentur dinding.

Gina menghela napas dan tersenyum tipis. Bangkit dari posisi duduknya dan mengutip remahan kaca, "Aku tau hal itu menyakitkan bagimu, nak," suaranya berubah parau.

"Tapi percaya lah, bukan hanya kau yang bernasip naas seperti itu."

"Karena anakku, dia juga sepertimu…"

Pandangan Kei berubah penasaran. Dia menatap Gina yang memunggunginya.

"Dulu anakku adalah gadis periang. Berubah pendiam dan tertutup. Sering berteriak ketika dipegang bagian tubuhnya. Ntah itu lengan, atau sesulur rambutnya."

"Aku dan almarhum ayahnya yang meninggal beberapa bulan lalu sudah menghubungi psikiater. Tapi tak kunjung berhasil karena tak mendapatkan sedikit pun dukungan dari masyarakat, orang sekitar."

Kalimat terhenti. Gina berdiri dan berjalan. Berhenti di samping Kei.

"Kau tau kan, nak? Orang yang dilecehkan seperti itu tidak diterima masyarakat. Hanya dianggap sampah masyarakat karena dikira adalah salah satu wanita nakal."

Kei mengangguk.

"Di sana, anakku semakin depresi. Berangsur gila. Ejekan dan hinaan begitu gencar diterimanya."

"Anakku meninggal karena menubrukkan kepalanya ke dinding hingga geger otak. Dia meninggal dua tahun lalu."

Kei merasa semakin bersalah dengan cerita singkat yang baru diceritakan Gina padanya.

"Maafkan aku bi. Aku tersulut emosi. Aku kira, bibi orang suruhan laki-laki kejam itu."

"Tak apa," Gina berjongkok. "Aku tau kau marah sekali. Dan sudah menjadi hal biasa kalau dalam kemarahan bisikan setan benar-benar menguasai."

"Apalagi ketika pikiran mulai disasarkan kepada hal miring yang mulai bermunculan, bahkan mau saja kita mengikuti. Kita manusia. Penuh salah dan dosa. Bibi memaafkanmu."

***

Dengan ditemani semua nasihat mendidik bibi Gina, Kei benar-benar kembali merasa hidup.

Walau ia tau, dirinya tak sesempurna dahulu. Ia sudah berubah menjadi seorang wanita. Bukan gadis suci lagi. Karena lelaki bajingan itu telah melepaskan keperawanannya.

Kehormatan yang seharusnya menjadi milik suaminya kelak. Ntahlah, Keina tidak tau siapa pria yang akan menikahinya jika tau keadaannya seperti ini.

"Hey, Kei. Apa kabar? Kok melamun gitu sih? Masih pagi-pagi kok, udah melamun aja. Lamunin apa sih?" Celica, sahabat Kei. Datang menghampiri Keina yang tengah melamun.

Keina sontak menoleh. Ia terkejud, namun hanya menarik napas tanpa menghelanya beberapa detik. Mata membulat lebar. Bahkan wajahnya berhasil menjadi bahan tertawaan Celica, anak teman bibi Gina.

"Hahah, kamu sangat lucu Kei!"

Kei mendengus, "Bukan sekali ini aja, Cel."

"Iya… Tapi tetap lucu aja menurut aku. Hahah. Gimana sih kamu bisa selucu ini?"

"Aku tidak sedang membuat lelucon, Cel."

"Haha, iya-iya. Aku ngerti. Kamu pasti mikirin laki-laki yang akan nikahin kamu, kan? Mengingat keadaan kamu…" kalimat Celica tergantung.

"Ssstttt, sudah, diamlah!"

Celica tertawa, wanita yang usianya hanya terpaut lima tahun dari Kei yaitu 29 tahun dan memiliki anak tiga dari pernikahannya itu sudah diberitahu dengan keadaan Kei oleh bibi Gina.

Dan dia mengerti. Sering-sering datang kemari. Bahkan sejak dua minggu diberitahu.

"Yakinlah, Kei. Pasti ada laki-laki yang mau menikah denganmu. Tidak semua lelaki sama saja, Kei."

"Tapi mau cari di mana Cel? Sampai satu dunia ini pun, tak ada!"

"Suamiku?" Celica mendekatkan tubuhnya yang sedari tadi duduk sejak ia sampai dan menyapa Keina. Memainkan mata, seakan memberitahu sesuatu, maksud lain di balik itu.

"Maksudmu, aku menjadi perebut suamimu? Ah, tidak lah, aku bukan pelakor seperti di sinetron, ibu Celica yang terhormat. Keina Natalia ini masih punya pekerjaan lain selain merebut hak milik seseorang!"

"Terus? Kamu mau pergi sama si bajingan brengsek itu!? Kamu tau siapa dia dan di mana!? Ya ampun, Kei! Kenapa gak dikasih tau aja sama aku? Biar aku pukuli dia sampai lenyot sebelum nikahin kamu!"

"Haha, tidak lah, ibu Celica yang terhormat. Aku tidak tau siapa dan asal-usulnya. Sekalipun aku tau, aku ragu dia aka  menikahiku."

"Maksudmu, kalian hanya one night stand?" Celica terkejud. Pasalnya selama ini Kei tidak pernah diberitahu akan cerita ini.

Hanya mengangguk. Belum berkata apapun pada Celica. Kei sudah pergi dari tempat duduk dan menuju kamar mandi dengan menutup mulut.

"Huek!"

"Kamu kenapa, Kei?" Celica mengejar perempuan itu.

Kei menggeleng begitu kuat dan melanjutkan muntahnya lagi.

Lima menit.

Celica hanya bisa memijit leher belakang Kei. Sementara Kei muntah, cairan lengket dan terkesan menyengat.

"Sudah?" Celica menunjukkan raut prihatin.

Kei mengangguk.

"Ayo duduk di sini," Celica menuntun Kei ke kursi dapur, di luar kamar mandi.

Menuangkan teko berisi air ke gelas, "Minum ini," Celica memberi minum kepada Kei.

Kei menerimanya. Wajahnya mendadak pucat dan lemah. Bahkan perlu pertolongan untuk minum saja.

Baru dua tekuk. Kei kembali berlari menuju kamar mandi selurus kursi meja makan di dapur.

Begitulah seterusnya. Celica tidak tahan lagi untuk berkata hal yang merupakan kenyataan yang ia tebak sedaritadi.

"Aku kenapa Cel?" Kei, sudah sangat sangat lemah. Mengatupkan kelopak mata serasa sulit sekali.

"Maaf, tapi menurut perkiraanku kamu hamil, Kei."

Degh!

avataravatar