webnovel

Mengalah

Keesokan harinya, Fajar tidak sekolah, mengurung diri di kamar, dan turun jika hanya ada perlu saja, seperti makan atau pergi ke supermarket. Ia malas bertemu dengan adiknya. Kerjaannya di kamar hanya rebahan dan bermain ponsel. Berada satu atap dengan Senja, membuat rumah bagi Fajar serasa memuakkan. Bahkan, mengetahui kalau ia dan Senja adalah saudara kembar, rasanya ia tidak sudi lagi dan ingin kembali ke rahim sang mama dan lahir seorang diri tanpa ada Senja. Suara ketukan pintu mengalihkan fokusnya saat sedang bermain game.

"Masuk aja, nggak dikunci," teriak Fajar.

Senja yang berada di luar, terkejut mendengar respons abangnya. Tumben sekali, begitulah isi hati Senja. Sesaat Senja terdiam, tetapi ia berusaha memberanikan diri untuk masuk.

"Bang," sapanya. Memasang senyum termanis. Perlahan Senja berjalan menuju ranjang, tempat abangnya berbaring sambil bermain ponsel.

Begitu Fajar mengalihkan pandangan dari ponselnya, seketika Fajar langsung bangkit karena amat kaget. Ponselnya juga terjatuh di lantai. Tangan Fajar mengepal erat, buku-buku tangan memutih, dan wajahnya memerah.

"Lo! Berani-beraninya masuk kamar gue!" teriak Fajar. Ia berdiri sejauh lima langkah dari posisi Senja.

"Kan, Abang sendiri yang nyuruh masuk tadi," balas Senja dengan wajah polosnya.

Fajar meraup wajah dengan kasar. Perkataan Senja tak salah, memang ia yang menyuruh masuk tanpa bertanya siapa dahulu. Fajar seketika lupa kalau Senja masih ada di rumah.

"Ngapain lo kemari? Gue jijik lihat lo!" tanya Fajar.

Relung hati Senja terasa sakit mendengar perkataan jijik yang dilontarkan untuknya. Dirinya merasa layaknya sampah. Tatapan abangnya yang tajam, mengoyakkan hati Senja.

"Bang, kita bicara sambil duduk, ya," jawab Senja diiringi senyum tipis. Ia mengajak duduk karena tahu kalau duduk lebih bisa mengontrol kemarahan. Dan, Senja berharap kalau abangnya itu mau menuruti pintanya agar kemarahan Fajar yang mulai memuncak, bisa perlahan reda.

"Alah! Langsung aja. Mau ngomong apa lagi, hah?" tanya Fajar.

Keinginan Senja ditolak. "Maaf, Bang. Senja mau meluruskan kesalahpahaman ini, tentang kematian Papa. Bukan Senja yang ...."

"Cukup!" teriak Fajar, memotong perkataan adiknya yang belum selesai.

"Percuma lo ngejelasin sampai mulut lo berbusa. Sedikit pun gue nggak akan percaya," sambungnya.

"Sungguh, bukan Senja yang buat Papa mati. Itu semua sudah takdir, Bang. Apa yang harus Senja lakukan supaya Abang percaya sama Senja?" tanya Senja.

Fajar menatap tajam ke arah Senja. "Lo mau tau apa yang harus lo lakuin? Yang harus lo lakukan adalah pergi dari hidup gue selamanya, jangan pernah menampakkan wujud lo di hadapan gue lagi. Ngerti?"

Senja diam sejenak sebelum akhirnya ia angkat bicara. "Kalau itu ... mohon maaf, Bang. Senja nggak bisa, Senja masih ingin bertemu dengan Mama dan Abang."

Fajar mendecih. "Kalau lo nggak mau pergi dari sini, biar gue aja yang pergi!" ucap Fajar. Ia meraih kunci sepeda motornya yang berada di atas nakas. Berjalan melewati Senja dan sengaja menyenggol adiknya itu dengan bahu hingga ia sedikit sempoyongan.

"Bang, jangan pergi! Senja sayang sama Mama dan sayang sama lo juga, Bang," ungkap Senja.

Seketika Fajar menghentikan langkahnya. "Gue benci lo, detik ini dan selamanya," tegas Fajar tanpa sedikit pun menoleh ke adiknya.

Fajar menuruni anak tangga dengan cepat. Sampai di undakan terakhir, ia berjumpa dengan Halwah dan ditahan olehnya.

"Fajar, mau ke mana?" tanya Halwah.

"Fajar mau pergi dari rumah ini!" jawab Fajar. Menatap Halwah sebentar lalu pergi.

"Fajar, jangan pergi, Nak. Sayang," ucap Halwah sambil menahan tangan anaknya.

"Maaf, Ma," ucap Fajar lalu menurunkan tangan Halwah di lengannya, "Fajar harus pergi," sambungnya.

"Fajar ...."

Mendengar teriakan sang mama, Senja yang masih berada di kamar Fajar, langsung bergegas keluar.

"Ma, Bang Fajar pergi," ucap Senja sambil menuruni anak tangga.

"Iya, Sayang. Mama nggak bisa menahannya," balas Halwah dengan linangan air mata.

"Ma, lebih baik Senja balik saja ke Bandung. Biar Bang Fajar bisa pulang," kata Senja.

Halwah menoleh ke Senja. "Mama maunya kamu di sini, anak kembar mama ada di dekat mama. Jangan pergi, Nak!" pinta sang mama.

"Ma, saat ini Senja nggak bisa tinggal di sini karena akan terus berantem sama Bang Fajar. Senja juga harus sekolah di Bandung, jaga Nenek, biar Bang Fajar aja yang tinggal di sini, jaga Mama," jelas Senja.

"Kamu yakin, Nak?" tanya Halwah.

"Iya, Ma. Mama doakan aja untuk kebaikan kami. Semoga keadaan yang rumit ini segera terselesaikan," jawab Senja.

Halwah merengkuh Senja dalam pelukannya.

"Mama bakal rindu dengan kamu, Nak," ucap Halwah.

"Senja juga, Ma," balas Senja.

****

Fajar melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Begitu mahir ia menyalip di antara kendaraan-kendaraaan lain di jalanan yang padat. Ia tidak tahu mau ke mana. Ponsel yang ada di kantong celana terus bergetar. Namun, dihiraukan Fajar karena ia tahu pasti mamanya yang menelepon.

Sepeda motor yang ia kendarai berhenti secara tiba-tiba. Fajar menepi dan turun dari sepeda motornya untuk mengecek. Ternyata, ban belakangnya bocor.

"Sial, sial, sial," maki Fajar sambil memukul-mukuk jok sepeda motornya. Tingkah Fajar menarik perhatian orang-orang yang lewat.

Ia mengeluarkan ponsel dan melihat ada tiga puluh panggilan tidak terjawab. Dan, semua dari mamanya. Fajar tidak ada niatan untuk menelepon balik. Lelaki itu membuka aplikasi WhatsApp dan menghubungi tukang bengkel langganannya. Sambil menunggu, ia men-scroll beranda chat. Mata Fajar membulat, senyum miring muncul di bibirnya usai membaca chat dari sang mama.

"Akhirnya, orang itu pergi juga," gumam Fajar.

Tak lama, Pak Pardi, tukang bengkel langganan Fajar sudah datang. Ia pun menunggu di salah satu emperan toko yang masih tutup. Beberapa menit kemudian, sepeda motor Fajar sudah selesai diperbaiki. Usai mengucapkan terima kasih, ia melajukan sepeda motornya ke rumah. Begitu sampai, ia langsung mendapati Halwah yang duduk di teras.

"Orang itu udah pergi? Baguslah," ucap Fajar.

Halwah membuang napas. "Jaga bicara! Siapa yang kamu sebut orang itu? Dia adik kamu, Fajar! Kapan kalian bisa berdamai?" tanya Halwah.

"Entah. Mungkin, kalau dia juga mati," jawab Fajar seenaknya.

Halwah spontan bangkit dari kursinya dan mendaratkan tamparan keras di pipi kiri Fajar. Lelaki itu terkejut melihat perlakuan mamanya. Sambil memegangi pipi, ia menatap mata Halwah yang berlinang. Fajar merasa bekas tamparan mamanya terasa panas dan sakit.

"Ma-mamaa nampar Fa-Fajar," ucapnya terbata-bata.

Halwah menyeka sudut matanya yang berair. "Maafin mama, Nak. Omongan kamu tadi itu sangat keterlaluan. Selama ini adik kamu sudah mengalah, dia rela balik ke Bandung agar kamu tidak marah lagi dengannya. Tapi kamu tega mengatakan adik kamu mati!" ucap Halwah.

"Maaf, Ma. Fajar ke kamar," balas Fajar. Telinganya panas mendengar mamanya yang terus membicarakan Senja. Untung saat ini ia sedang bahagia karena tidak lagi bertemu dengan adiknya itu.

Next chapter