31 Keluh Kesah Hans, Aku Lelah

Luci terlanjur tertidur sebelum Spider bisa menjelaskan siapa dirinya secara lengkap.

Melihat si cantik Luci sudah terkulai dan hampir jatuh dari kursi, Spider pun lekas membopong tubuh Luci untuk menuju sofa dan ditidurkan di sana.

Sofa itu berwana putih dan sangat empuk. Sofa tersebut tadinya tersimpan dan tersembuni di dibalik dinding.

Benda itu hanya akan bisa keluar jika Spider menekan salah satu tombol pada remote yang tersedia di dalam ruangan.

Sebenarnya perancang ruangan ini sempat menyarankan kepada Spider untuk menggunakan teknologi suara dalam pengoperasian alat-alat canggih itu.

Namun Spider menolak karena Spider adalah tipikal orang yang tidak terlalu suka bicara.

Spider meletakkan Luci pelan-pelan ke atas sofa. Lalu lelaki itu membenarkan posisi Luci yang saat ini sudah terbaring.

Disisirinya wajah Luci dan juga tubuh gadis itu. Lalu Spider duduk di pinggiran sofa yang lain.

Spider mengelus wajah gadis itu. Semua elusan dan sentuhan itu akan berakhir di bibir sintal milik Luci.

Jika sebelumnya Spider bisa menahan diri untuk tidak 'menyentuh' Luci, maka tidak kali ini.

Spider memajukan wajahnya untuk mendekati Luci. Lalu lelaki itu mencium bibir milik Luci.

Sebuah kecupan singkat demi untuk membuktikan apakah Luci sudah bangun atau belum.

Lalu ketika melihat Luci terlihat sama sekali tidak terbangun, barulah Spider mencium bibir gadis itu agak dalam dan agak lama.

Di dalam hatinya Spider berharap bahwa ini adalah ciuman pertama yang didapat Luci.

Tapi secara fakta Spider salah, karena ciuman pertama Luci sudah jatuh di tangan Evan Robert Hudan.

***

Luci bangun ketika hari sudah petang. Dan ketika gadis itu bangun Spider sudah duduk di kursi putarnya dengan membaca sebuah dokumen.

Gadis itu lalu mengucek matanya dan mendudukkan tubuhnya agar bisa lebih sadar.

'Sejak kapan aku tidur di sini?' batin gadis itu. Lagi pula saat datang tadi Luci yakin bahwa tidak ada sofa di ruangan ini.

Saat Luci ingin mengecek jam, ternyata baterai ponselnya habis. Gadis itu memukul kepalanya sendiri.

"Kau sudah bangun? Ternyata tidurmu memang benar-benar lama.

"Jika ada orang yang melihatmu tidur pasti aku sudah dikira membiusmu." Spider terkekeh lalu menutup dokumen yang dibacanya tadi.

"Eh, yeah aku sangat lelah. Sekarang jam berapa?" Luci bertanya dengan mata masih agak sembab. Rasa kantuk masih agak tertinggal di mata gadis itu.

"Pukul tujuh."

"Malam?" Luci pun membelalak saking kagetnya.

Masalahnya dia belum menemui Hans. Siapa tau Hans sudah bangun.

Dan siapa tau anak itu merasa khawatir ketika bangun dan berada di kamar lain yang sangat berbeda.

"Aku harus menemui Hans." Luci mulai bangkit dan merapikan rambutnya yang berantakan. Tas ransel miliknya ternyata berada di sofa yang lain.

"Baik, tapi setelah itu kau harus makan. Kau belum makan dari tadi pagi." Spider mengajukan sebuah syarat.

Jika diamati baju Spider sudah agak berbeda. Jika tadi lelaki itu memakai sebuah kemeja berwarna putih polos sekarang Spider memakai sebuah kemeja putih dengan sedikit garis lembut pada motifnya.

Wajahnya juga lebih bersih. Mungkin tadi Spider menyempatkan untuk mandi.

"Baik, aku akan makan setelah ini. Lagi pula aku memang sangat lapar." Luci berkata jujur yang seketika dijawab dengan kekehan geli dari Spider.

Spider pun berdiri untuk berjalan memimpin. Setelah menekan tombol remote, sofa di mana Luci tadi tidur sudah tenggelam di belakang dinding lagi. Luci merasa kagum berada di sini.

Di saat melihat kecanggihan sofa itu Luci jadi teringat apakah tadi Spider sudah menunjukkan kepada Luci tentang identitasnya yang sebenarnya? Apa Luci keburu tidur? Hm, itu bisa ditanyakan nanti saja setelah Luci bertemu dengan Hans.

Mereka berjalan beriringan. Luci berjalan di samping Spider karena sangat takut.

Gadis itu melihat lagi semua pengamanan ketat yang dilaluinya tadi pagi.

Walaupun sudah pernah sekali melihat dan sudah pernah sekali melaluinya tapi Luci tetap saja masih ketakutan. Apalgi ketika laser dan tembakan meletus di ruangan itu.

Pintu manual didorong oleh Spider yang kemudian disusul oleh tubuh Luci yang melesat untuk menuju lift.

Setelah Spider sudah ikut bergabung bersamanya, Luci menekan angka tiga pada tombol lift.

Di dalam lift mereka tak banyak bicara, bahkan bisa dibilang ketika di dalam lift mereka diam seribu bahasa.

Luci yang dikarenakan sedang memikirkan Hans. Spider yang sedang memikirkan tentang hal lain yang ingin ia rahasiakan.

Setelah pintu lift terbuka Luci buru-buru keluar bahkan tanpa perlu mengajak Spider. Gadis itu melesat dengan cepat untuk menemui Hans.

Pintu kamar Hans dibuka oleh Luci, di dalamnya beradalah Hans yang masih belum tidur.

Anak itu tidak melakukan banyak hal kecuali membaca.

Buku bacaan anak itu adalah dongeng-dongeng lawas yang memiliki akhir bahagia. Atau Hans biasanya sering membaca buku yang mana ada ibu peri di dalamnya.

Hans selalu saja berkata bahwa anak itu ingin memiliki ibu peri. Lalu ketika ibu peri itu datang, Hans bisa meminta kesembuhan kepada ibu peri itu.

"Hans," teriak Luci dengan sangat bahagia.

Hans yang tadinya masih sibuk tenggelam di balik lipatan buku akhirnya mendongak. Ketika matanya menemukan Luci yang berlari ke arahnya Hans pun tersenyum sumringah.

"Kak Luci." Anak itu merentangkan kedua tangannya ke udara.

Rentangan tangan yang kosong itu lalu diisi oleh tubuh Luci yang sekarang memeluk Hans dengan erat dan penuh rasa syukur.

"Kenapa baru datang? Aku sudah menunggu Kakak lama sekali." Hans mengajukan protesnya.

Wajahnya sudah tidak sepucat pagi tadi. Sekarang Hans sudah lebih agak segar, entahlah alasannya apa.

"Maaf, Hans Sayang, aku masih sibuk." Luci berusaha tersenyum untuk menghibur anak itu. Tangan gadis itu sekarang mengusap kepala Hans.

"Berhentilah bekerja dengan keras, Kak!" Hans memohon dengn wajah yang sangat.

"Tidak bisa, Sayang."

"Apa karena ibu? Dia masih suka menjebak kakak dengan hutang-hutangnya?"

Tebakan Hans seketika membuat Luci kaget.

Dari mana Hans bisa mengetahui semua itu? Padahal selama ini Hans berada di rumah sakit dan Luci tidak pernah membahas semacam itu di rumah sakit.

"Hans, bagaimana kau tau tentang itu?"

"Aku mendengarnya dari Paman Tedy ketika dia berbicara dengan Bibi Amy."

Amy adalah sepupu Daniel. Sementara Tedy adalah suami Amy.

Hubungan Amy dan Daniel sangatlah dekat dan akrab, bahkan sebenarnya semua keluarga Daniel memiliki hubungan yang sangat baik dan dekat dengan Daniel.

"Mereka juga bilang Kakak bekerja begini juga demi membayari pengobatanku.

Jangan memaksakan diri, Kak! Toh aku juga akan mati sebentar lagi." Hans menunduk dengan bahu bergetar bukan main.

Tangan mungil itu mencengkeram buku dongeng yang dibelikan oleh Tedy.

Tedy selalu baik kepada Hans, Amy pun baik kepada Hans.

Hanya saja setelah melihat Tante Arum begitu mengucilkan Hans, Amy tidak berani untuk merawat Hans, selain memang Amy tidak memiliki uang.

"Hans, kau tidak boleh berbicara seperti itu. Cuma kamu yang kupunyai di sini." Luci hampir menangis. Tapi air matanya berusaha ia tahan. Luci tidak ingin membuat Hans sedih.

"Tadi malam aku dibius. Aku berada di sebuah lorong dan Ibu yang membawaku bersama orang lain.

"Lalu tiba-tiba ketika bangun, aku sudah berada di rumah sakit lagi.

"Sekarang katakan, apa tadi malam Ibu meminta uang kepada Kakak?" lirih Hans dengan wajah masih menunduk sedih.

Bagi Hans buku dongeng di tangannya sudah tidak menarik perhatiannya lagi.

"Aku – dia."

"Berhentilah bersikap begitu, Kak! Berhentilah membuatku untuk menjadi beban bagi orang lain.

"Aku lelah disebut sebagai beban dan pembawa sial!" Hans menyemburkan semua emosinya tanpa pikir panjang.

***

avataravatar
Next chapter