9 Bab 9

Di sebuah club malam yang ada di Jakarta terlihat Rindi tengah menikmati minumannya. Tanpa ada yang tau, Rindi menghabiskan malamnya disini dengan meminum minuman alkohol. Tadi dia mencoba menenangkan dirinya dengan berkeliling kota Jakarta, saat sudah memantapkan hatinya. Rindi memaksakan dirinya untuk hadir di pesta pertunangan Precy dan Rasya. Tetapi hatinya hancur seketika saat sampai disana, bertepatan dengan saat Percy dan Rasya tengah saling menyematkan cincin. Rindi langsung berlalu pergi dan berakhir di Club malam ini.

Seikhlas-ikhlasnya seorang wanita, tetap saja hatinya hancur saat harus berbagi lelaki yang di cintainya dengan wanita lain. Dan wanita itu adalah sahabatnya sendiri.

Sesakit apapun kau menyakitiku, aku masih tetap setia berdiri di sini menunggumu. Berharap kamu mau kembali memilihku walau rasanya sulit.

Oho oho oho

Ia terbatuk-batuk karena terlalu banyak meminum vodka. Wajahnya sudah sangat merah karena air mata dan mabuk. Tetapi rasa panas di tenggorokannya tak sebanding dengan hatinya yang terbakar. "Kamu jahat Percy, aku tidak bisa mengikhlaskannya seperti ini dalam kesakitan." isaknya sambil terus meneguk minumannya dan berbicara ngawur tak jelas.

"Masih frustasi ternyata," ucapan seseorang membuat Rindi menengadahkan kepalanya dan menatap lekat-lekat pria di depannya ini karena pandangannya sudah mulai kabur.

"Jangan menggangguku," ucap Rindi dengan sinis dan hendak meneguk minuman dalam gelasnya lagi.

"Cukup," seseorang itu merebut gelas di tangan Rindi.

"Hey tuan sombong apa urusanmu melarangku, Hah??" ucap Rindi semakin melantur.

Pria yang tak lain adalah Dafa hanya bisa tersenyum kecil melihat Rindi. "Kamu terlihat sangat lucu saat mabuk."

"Apa yang kau katakan? Jangan merayuku, aku wanita yang sedang bersedih." Ucapnya kembali menangis. "Aku di khianati kekasih dan sahabatku, hikzz."

Dafa meringis menatap Rindi yang menangis kencang, untungnya disini sangat berisik hingga tidak ada orang yang mendengar tangisan Rindi. "Sssttt, anak manis jangan nangis lagi yah." Dafa mengusap kepala Rindi.

"Dia jahat, dia menghancurkan harapan dan hatiku,, hikzz hikzz hikzz."

Ini pertama kalinya Rindi bersikap manja dan konyol di depan seseorang yang baru dia kenal. Bahkan di depan Percy saja Rindi selalu menampilkan wajah ramah dan anggunnya.

Rindi menjatuhkan kepalanya di tubuh Dafa dan mengusap ingusnya ke kaos yang Dafa gunakan membuat sang empu meringis melihat tingkahnya. "Dia jahat," ucap Rindi menjauhkan kepalanya dan kembali ingin meneguk minumannya tetapi di tahan Dafa. "Sudah cukup, kau terlalu banyak minum."

"Apa perdulimu tuan arogant??" jawab Rindi dengan sinis.

"Ayo pulang," Dafa menarik tangan Rindi membuatnya berdiri dari tempat duduknya.

"Hey tuan arogant,,,,!!! Lepaskan tanganku." pekiknya mencoba menepis pegangan Dafa tetapi sangat sulit dan tubuhnya sudah melayang dan berada di pundak Dafa. Rindi terus berteriak memaki Dafa dan memukuli punggungnya.

Dafa terus membawa Rindi keluar Club melewati beberapa orang.

Cekrek,, 'Oh Shit!!' batin Dafa saat seorang paparazi berhasil mengambil gambarnya yang sedang memangku tubuh Rindi yang terus berontak memakinya.

Dafa berjalan cepat menuju mobilnya dan meninggalkan tempat itu untuk menghindari paparazi itu. "Kenapa kau menculikku, tuan Arogant !! menjauh, turunkan aku." Teriaknya memukuli lengan Dafa.

"Tenanglah Rindi, aku akan mengantarmu pulang." Ucapnya hingga sebuah mobil menghalangi jalannya. Dari mobil itu keluar dua orang yang ia kenal salah satunya. "Hah, kembaranmu menjemput."

Dafa menuruni mobilnya dengan senyuman khasnya. "Hallo Randa,"

"Berhenti bersikap manis, sekarang keluarkan Rindi." Ucapnya dengan tajam.

"Jangan suudzon, gue berniat baik mau membawanya pulang." jawab Dafa dengan santai.

"Gue Nggak percaya sama loe, Dafa." ucap Randa menatap Dafa dengan tajam.

Verrel berjalan membuka pintu penumpang tanpa menghiraukan perdebatan Randa dan Dafa, ia melihat Rindi yang sudah sangat mabuk dan berbicara ngawur. Tanpa pikir panjang lagi, Verrel membopong tubuh Rindi. "biar kita yang membawa Rindi pulang." ucap Verrel saat melewati mereka berdua dan membawa Rindi pergi menuju mobilnya.

"Jangan mengganggunya, Dafa. Gue tau kebejatan loe." ucap Randa menatap Dafa yang hanya memasang senyumannya. Randapun berlalu pergi meninggalkan Dafa.

Dafa hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan senyuman kecil khasnya menatap kepergian mobil yang di tumpangi Randa dan juga Rindi. Setelah tak terlihat lagi, iapun memasuki mobilnya dengan menghubungi seseorang memberitahukan kalau barusan ada seorang wartawan yang akan menyebar berita tentangnya mungkin akan menganggap dia tengah bersama Randa. Ia meminta orang itu membereskannya.

***

Di dalam mobil Verrel, Rindi terus saja berceloteh dalam pelukan Randa. "Percy kamu jahat,, aku tidak mau kamu duain. Kenapa kamu tega mengkhianatiku. Kenapa harus Rasya? Kenapa, hikzzz...." isaknya membuat Randa menangis memeluk kembarannya itu.

Verrel sesekali melirik ke belakang melalui kaca spion. Rindi semakin meracau tak jelas, kadang memaki kadang menangis. "Sebaiknya Rindi jangan di bawa pulang ke rumah." ucap Verrel membuat Randa menengok ke arahnya.

"Lalu dia akan tidur dimana?" Tanya Randa. "Mama nyuruh gue buat tidur di rumah."

"Sebentar," Verrel menghubungi seseorang. "Assalamu'alaikum De, kamu sudah tidur?

"....."

"Apa kamu mau ikut Kakak menginap di hotel?"

"...."

"Kakak tidak bisa pulang, karena harus menemani Rindi. Kamu bisa membantu Kakak menemaninya? Karena Randa tidak bisa menemani."

",,,,,"

"Baiklah, bersiaplah dan pakai mantel. Kakak jemput kamu setengah jam lagi, bilang ke Bunda dan Ayah kalau kamu akan menginap di luar denganku."

",,,,,"

"Baiklah," setelah mengucapkan salam, Verrel mematikan telponnya.

"Bagaimana? Apa Leonna mau membantu?" Tanya Randa.

"Iya, dia mau membantu. Gue akan antar loe pulang sekarang, biar Rindi bersama gue dan Leonna." ucap Verrel yang di angguki Randa.

***

Rindi terbangun dari tidurnya dan menatap sekeliling karena ini bukanlah kamarnya. "ini dimana?" gumam Rindi berangsur bangun sambil memegang kepalanya yang terasa pening.

"Kakak sudah bangun," ucap seseorang membuat Rindi menengok.

"Leonna? kenapa kamu ada disini?" Tanya Rindi mulai bingung.

"Jangan dulu tanyakan itu, minumlah teh hangat ini. Ini bisa menghilangkan rasa pusing di kepala Kakak." Leonna menyodorkan segelas teh hangat itu. Dan Rindi menerimanya dan langsung menyeduhnya.

"Aromanya enak kan?" tanya Leonna membuat Rindi mengangguk tersenyum manis.

"Terima kasih yah. Sekarang jawab pertanyaanku, kenapa aku ada disini. Seingatku semalam aku-"

"Gue yang bawa loe kesini." ucapan Verrel memotong ucapan Rindi.

Rindi menengadahkan kepalanya dan baru sadar kalau Verrel juga ada disini, Verrel terlihat mengusap rambutnya yang basah sehabis mandi. "gue gak bisa bawa loe pulang ke rumah, loe tau kan gimana reaksi nyokap loe kalau tau loe mabuk." tambah Verrel membuat Rindi terdiam.

"Sorry gue ngerepotin loe. Leonna, terima kasih yah dan maaf karena aku mengganggu kalian berdua." ucap Rindi merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa Kak, santai saja." ucap Leonna dengan senyumannya. "aku akan pesankan sarapan." tambah Leonna beranjak menuju telpon yang ada di kamar hotel.

Verrel melempar handuknya asal, ia sudah memakai celana dan kaos polos berwarna putihnya. Iapun memilih duduk di sisi ranjang di hadapan Rindi yang masih merenung.

"Kalau tidak sanggup, lepaskan saja." ucapan Verrel menyadarkan Rindi dari lamunannya.

"Verrel, gue-" gumam Rindi sudah menangis terisak. Sampai kapan Rindi akan menyembunyikan kesakitan ini dari yang lain.

Verrel tau karakter Rindi begitu berbeda dengan kembarannya Randa. Rindi sangatlah tertutup pada semua orang, bahkan ke orangtuanya sendiri. "hikz....hikz...hikz... gue terlalu mencintainya, Rel."

Verrel langsung menarik Rindi ke dalam pelukannya tanpa menyadari kalau Leonna tengah memperhatikan mereka berdua. Verrel sudah menganggap Rindi sebagai saudaranya sendiri, bagaimanapun Verrel harus menjaganya, karena selain Percy, Verrellah sahabat lelaki Rindi.

"Menangislah, keluarkan segala kegundahan loe." Verrel membelai kepala Rindi dengan lembut, Rindi menangis sejadi-jadinya di dada bidang milik Verrel.

"Terkadang yang diingankan sebenarnya tidak di butuhkan, sedangkan yang di butuhkan tidak bisa dimiliki. Tapi tuhan tau apa yang terbaik untuk kita." Ucap Verrel.

"Apa maksudmu?"

"Kamu akan memahaminya nanti." Ucap Verrel. "Rasa sakit adalah guru terbaik untuk belajar. Melangkahlah dan tetap menatap ke depan, hidup loe gak berhenti disini. Bersiaplah untuk melangkah ke masa depan yang jauh lebih baik."

Rindi melepas pelukannya dan menatap Verrel dengan sendu. "Tanpa Percy?"

"Maybe, tetapi belajarlah kuat untuk kenyataan terburuk." Rindi terdiam mencermati ucapan Verrel. "Gue tau menjalankan tak semudah berbicara. Tapi gue berharap loe bisa kuat menerimanya." Verrel mengusap air mata Rindi, dan membelai pipinya dengan lembut.

Leonna berdiri mematung di tempatnya mendengarkan dan memperhatikan suaminya dengan Rindi. Hatinya terasa tercubit melihat itu dan sedikit cemburu melihat perhatian Verrel pada Rindi. Ia memalingkan wajahnya memunggungi mereka saat matanya terasa memanas dan berkabut.

Bip bip bip

Bel kamar terdengar, dan mampu menyadarkan Leonna dan yang lainnya. "a-aku yang akan membukanya," ucap Leonna tanpa berbalik ke arah mereka, seraya mengusap air matanya yang tanpa terasa luruh membasahi pipinya.

"Gue gak yakin mampu, hikzz." Rindi menundukkan kepalanya membuat Verrel kembali menariknya ke dalam pelukannya.

Leonna bahkan sudah menata sarapan di meja bar, tetapi Verrel dan Rindi masih bertahan pada posisi berpelukan dengan tangisan Rindi.

Setelah melihat Rindi sudah berhenti menangis, Leonna memantapkan hatinya untuk mendekati mereka berdua. "maaf Kak, sarapannya sudah siap." ucapan Leonna menyadarkan mereka berdua. Seketika Rindi melepas pelukannya karena tidak enak dengan Leonna.

"Maaf Leonna." cicit Rindi seraya menghapus air matanya.

"Tidak apa-apa Kak." jawab Leonna tersenyum manis.

"Sudah jangan menangis lagi," Verrel menghapus air mata Rindi di depan Leonna. " loe wanita yang tangguh." tambahnya dan itu membuat Rindi tak nyaman karena Leonna melihat ke arah mereka dengan tatapan cemburunya.

"Gue lapar," Rindi beranjak terlebih dulu meninggalkan Verrel dan Leonna, karena tidak ingin membuat Leonna semakin cemburu padanya. Verrel berdiri dan mengelus kepala Leonna dengan senyuman khasnya.

"Kenapa melamun?" Tanya Verrel dan Leonna hanya menjawab dengan gelengan kepalanya diiringi senyuman kecilnya. "ayo sarapan." Verrel menarik tangan Leonna menuju meja bar dimana Rindi berada.

***

Percy berdiri di dalam ruangannya dengan tatapan kosong menatap keluar jendela yang memperlihatkan jalanan ibu kota. Bayangan dirinya bersama Rindi berputar di kepalanya seperti film yang tengah di putar. Hatinya sakit, rindu dan hancur menjadi satu.

Setelah kejadian saat mereka bertengkar, Percy tidak bisa menghubungi Rindi. Ia menghilang tanpa ada kabarnya.

Di tempat lain, Rasya tengah duduk di balkon kamarnya tengah melamun. Hatinya berkecambuk tak karuan, ia berusaha bersikap biasa saja tetapi itu sulit untuknya. Ia terlihat begitu jahat sekali,

Tatapannya mengarah ke arah cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Ia memainkannya dengan beribut pernyataan di benaknya.

Tak berbeda jauh dengan Rindi yang duduk di sebuah taman, ia menatap kursi taman yang tengah di tempati pasangan kekasih. Ia mengingat dulu dia dan Percy sering menghabiskan waktu disini, berbincang dan bercanda di kursi taman itu.

Tak terasa air matanya kembali mengalir membasahi pipinya, puing kenangan itu memutar di kepalanya seperti sebuah film yang sedang di putar.

Complicated....

***

avataravatar
Next chapter