12 Bab 12

Rasya baru saja menuruni taxi, tatapannya mengarah ke sebuah rumah bergaya belanda modern. Saat ini ia berada tepat di depan rumahnya, sang Papa memaksa dia untuk datang ke rumah karena ada yang ingin di bicarakan. Rasya tau apa yang akan di bicarakan oleh sang Papa.

Ia menarik nafas panjang dan berjalan menuju ke gerbang rumah saat seorang security membukakan pintu untuknya. Ia berjalan menuju pintu masuk dan memasuki rumahnya.

"Sayang," Ratu memeluknya saat ia sampai di ruang keluarga. Angga terlihat tengah duduk bersantai sambil menikmati tehnya.

"Apa kabar Ma," Rasya melepas pelukannya.

"Mama sangat mengkhawatirkanmu," Ratu membelai pipi Rasya, sedangkan Rasya hanya menampilkan senyumannya.

"Duduklah Sya," ucap Angga membuat Rasya dan Ratu bersama-sama duduk di sofa yang ada disana.

"Papa tidak bekerja?" tanya Rasya mencium tangan dan kedua pipi Angga.

"Papa masuk nanti sore," ucapnya seraya melipat kakinya dan bersandar ke sandaran sofa. Terdengar helaan nafasnya darinya seraya melepas kacamata yang dia gunakan. "Kenapa Sya?"

Rasya terdiam mendengar pertanyaan Angga yang tidak basa basi. Rasya tau niat Papanya memanggilnya kesini adalah untuk mengintrogasinya. "Maksud Papa apa?"

"Sya, Papa yakin kamu mengetahui hubungan Percy dan Rindi." Rasya kembali terdiam mendengarnya, ia melirik ke arah Ratu yang terus menggenggam kedua tangannya seakan tak ingin melepaskannya.

"Pa, itu hanya masalalu."

"Apanya yang masalalu? Sudah jelas mereka masih berhubungan dan saling mencintai, jangan bodohi kami lagi, Rasya." Ucap Angga geram.

"Walaupun memang begitu, Rasya tidak bisa berbuat apapun lagi."

"Ceraikan dia,"

"Pa," Rasya membelalak lebar mendengar penuturan Angga barusan. Ia tidak menyangka orangtuanya akan memintanya untuk menceraikan Percy, yang baru 3 hari ini menjadi suaminya.

"Kami sudah merundingkan semua ini, Sayang. Jalan terbaiknya mungkin kamu bercerai dengan Percy dan kami akan membawamu ke Jersey, disana ada sepupumu anak dari sodara tiri Papa. Kamu bisa meneruskan study disana dan mencapai impianmu untuk menjadi seorang guru musik." Ucap Angga.

"Pa,"

"Sya, Papa tidak ingin kamu berada di antara mereka. Kamu akan sakit hati,"

"Rasya tau, sejak awal Rasya sudah tau resikonya menikah dengan Percy."

"Lalu kenapa kamu masih menerima pernikahan ini, Sya? Kamu jelas tau kalau Percy mencintai Rindi." Ucap Angga.

"Karena aku mencintainya," gumam Rasya membuat Ratu dan Angga semakin membelalak lebar.

"Kamu gak salah bicara kan?" tanya Ratu,

"Tidak Ma, Pa. Rasya memang mencintainya."

"Sejak kapan?" tanya Angga.

"Dari sejak kami SMA, sejak Percy menyelamatkan Rasya dari penculikan itu. Rasya sudah mencintainya jauh sebelum Rindi bersamanya. Jauh sebelum mereka saling mencintai, Rasya memendamnya selama ini." Cicitnya.

Ratu dan Angga saling beradu pandang dengan tatapan tak menyangka. "Kenapa kamu diam saja selama ini?" tanya Ratu.

"Rasya berpikir mungkin kami tidak berjodoh, Rasya memilih mundur. Hingga sesuatu terjadi, Rindi melakukan sesuatu pada Rasya. Dan apa aku harus diam saja, aku tidak lupa saat itu. Bukankah cinta itu egois, jadi sekarang Rasya tidak akan pernah melepaskan Percy." Tangisnya sudah pecah. "Rasya mencintainya, dan Rasya tidak akan membiarkan Rindi mengambilnya kembali. Tidak," isaknya membuat Angga dan Ratu terdiam membisu.

Kenapa harus kembali terulang, pikir Angga.

"Sejak awal Rasyalah yang dekat dengan Percy, tetapi Rindi merebutnya."

"Kalian dekat karena kalian bersahabat," ucap Ratu.

"Tidak Ma, aku merasa lebih dari sahabat." Isaknya mengingat betapa perhatiannya Percy saat itu. Ia juga yang selalu menjaga Rasya, "Yang di lakukan Percy berbeda dengan yang di lakukan Verrel."

"Sya, cinta itu memang egois. Tetapi cinta bukan sebuah obsesi, keegoisan bisa menyengsarankan kita." Ucap Ratu.

"Aku tidak bersalah, aku tidak merebutnya dari Rindi. Tuhan sendiri yang mengantarkan Percy padaku, dan sekarang apa aku salah kalau aku mempertahankan suamiku? Apa aku salah mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku?" ucapnya bertanya pada Ratu dan Angga yang terdiam.

"Rasya tau, Papa dan Mama tidak ingin kejadian di masalalu kembali terjadi. Tetapi sekarang Percy sudah menjadi milikku. Walau aku harus kehilangan sahabatku, aku akan tetap mempertahankan cintaku."

Angga terdiam membisu mendengar ucapan Rasya, bayangan dirinya di masalalu terbayang begitu saja. 'Kamu tidak mencintaiku, Angga. Ini adalah obsesi, kamu menghancurkan hubunganku dengan Dhika. Kamu membuat dia membenciku,'

'Dimana otak loe, Angga. Tega sekali loe mengkhianati sahabat loe sendiri hanya demi seorang wanita. Loe rela meninggalkan brotherhood hanya demi Lita, wanita yang baru saja loe kenal. Ini bukan cinta, karena cinta itu tidak akan menjerumuskan loe.'

'Gue akan memaafkan loe, asal loe bisa memutar waktu kembali. Dan bawa Lita kembali buat gue, maka gue akan memaafkan loe. Selain itu jangan mengharapkan apapun. Gue lebih baik tidak mengenal pria egois seperti loe.'

Angga mengusap wajahnya gusar saat bayangan menyakitkan itu kembali terngiang di kepalanya. Matanya memerah saat mengingatnya, rasa sakit itu masih ada. Sakit karena tidah di tolak wanita yang di cintainya, sakit karena di jauhi sahabatnya dan sakit karena rasa bersalah yang sangat teramat. "Ceraikan Percy."

Ucapan Angga membuat Rasya menatap ke arahnya dengan tatapan yang nanar. "Pa,"

"Rasya, Papa tau rasa sakitnya. Lebih baik melepaskannya daripada tetap bertahan tanpa di harapkan!" bentak Angga dengan mata memerahnya membuat Ratu dan Rasya terdiam.

"Sakit Rasya, rasanya sangat sakit. Bertahun-tahun menahan sakit itu, sakit yang hampir setiap hari membuatmu kesulitan untuk bernafas." Ucapnya mulai tenang. "Papa tidak ingin kamu sampai merasakannya."

"Cinta bukanlah obsesi, kalau kamu memang tulus mencintainya maka lepaskan dia. Relakan dia bersama wanita yang dia cintai." Ucap Angga mendekati Rasya dan duduk di hadapan anaknya itu. "Lepaskan Percy, jangan membuat hidupmu semakin hancur."

"Kamu pikir saat dia bersamamu, kamu akan bahagia? Tidak Sya, kamu akan semakin sakit saat melihatnya malah semakin terluka karena berada di dekatmu. Papa merasakannya saat Thalita terus menangis memikirkan Dhika, sedangkan Papa berusaha untuk membahagiakannya. Hasilnya nihil, obsesi cinta tidak akan menghasilkan apapun. Percaya lah," Angga mengusap kepala Rasya dengan lembut.

"Lihatlah Papa, Papa melepaskan Thalita untuk bersama Dhika. Dan sekarang Papa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dan berharga untuk Papa. Kamu lihat sayang, Papa dan Mama kamu bahagia, sangat bahagia." Rasya menatap Angga di depannya yang terlihat berkaca-kaca. "Papa tidak ingin kamu melalui hari-hari menyeramkan itu, papa tidak ingin kamu mengalami apa yang pernah Papa rasakan."

"Dengan kamu melepaskannya, yakinlah akan ada pria yang jauh lebih baik untukmu."

Ucapan Angga terus terngiang di telinga Rasya, walau saat ini dia sudah berada di dalam taxi untuk kembali ke apartement. Tangisnya tak juga mau reda, ia meminta sopir taxi menuju ke AMI Hospital.

Sesampainya disana, Rasya melangkahkan kakinya dengan helaan nafas dan degupan jantungnya. Ia terus berjalan hingga sampai di ruang ICU, disana terlihat sepi sekali.

Rasya ingin memasuki ruangan itu tetapi gerakannya terhenti saat melihat sosok yang dia cintai tengah berada di dalam sana tengah memegang tangan Rindi.

Rasya berdiri di depan jendela ruang ICU, di dalam terlihat Percy tengah mengecupi tangan Rindi dan matanya terlihat memerah karena air mata.

Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya, ia tidak paham dengan perasaannya ini. Benarkah mereka hancur karena dirinya?

Ucapan Angga kembali terngiang di telinganya. Haruskah ia menceraikan Percy sekarang?

Andai rasa ini tidak pernah ada, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan merasakan rasa yang sangat menyakitkan ini...

Cintaku hanya getaran internal yang tak akan pernah bisa kamu rasakan sampai kapanpun juga.

Rasya berjalan mundur menjauhi ruangan itu, ia menghapus air matanya dan berbalik untuk berlalu pergi. Tetapi gerakannya terhenti saat Randa berdiri menatap ke arahnya, ia berdiri hanya berjarak beberapa meter dari Rasya.

Keduanya bertatapan dengan tatapan yang sulit untuk di artikan. Setelahnya Rasya beranjak pergi melewati Randa begitu saja. Ia mempercepat langkahnya meninggalkan rumah sakit itu.

***

Rasya sudah memasak untuk Percy, ia menyiapkan makan malam untuk mereka bersama di apartementnya. Walau keberadaannya tak berharga tetapi dia akan tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 tetapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan Percy. Bahkan mungkin makanannya sudah dingin. Ia masih tetap menunggu Percy di ruang televisi, tatapannya mengarah ke arah pintu apartement yang tak juga di buka.

Tak terasa sudah pukul 23.00 dan masih tak ada tanda-tanda kedatangan Percy. Rasya hanya tersenyum kecil dan beranjak memasuki kamarnya.

Di apartement ini ada dua kamar. Kamar yang berdampingan, tetapi kamar di samping Rasya itu terlihat tidak hidup karena jaranng ada kehidupan disana. Rasya tersenyum kecil melirik ke pintu kamar Percy, dan iapun memasuki kamarnya.

Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu kamarnya, rasanya sangat kesepian dan sakit. Walau di tahan sekuat apapun juga, air mata itu tetap luruh membasahi pipi seakan mewakilkan rasa sakit di dalam hatinya.

Sampai kapankah kehidupan menyedihkan ini akan ia lalui. Tidak adakah sedikit kebahagiaan untuknya.

***

Tepat pukul 23.30 Percy datang, ia langsung menuju ke dalam kamarnya untuk membersihkan tubuhnya.

Di bawah guyuran air, ia memejamkan matanya. Rindi masih koma dan belum ada perkembangan apapun. Ia ingin sekali terus menemaninya tetapi ada Rasya disini, setidaknya ia harus berlaku adil. Siang bersama Rindi dan malamnya pulang ke rumah, setidaknya itu jauh lebih baik.

Walau Percy tak langsung pulang dan malah menghabiskan waktunya di rumah latihan brotherhood hanya untuk menenangkan dirinya. Ia merasa malu untuk berhadapan dengan Rasya, karena ia terlihat mengabaikannya. Tetapi ia juga tak bisa berbohong kalau pikirannya hanya terfokus pada Rindi yang masih belum menunjukkan apapun.

Hidup itu sungguh menyakitkan. Takdir semacam apa yang tuhan berikan padanya, apa ini sebuah hukuman? Tetapi hukuman untuk apa?

Percy menarik rambutnya ke belakang, menengadahkan wajahnya dan membiarkan guyuran air shower menerpa wajahnya.

Pada awalnya terlihat indah, manis dan bisa membuat hati bahagia. Namun ketika kaki ini melangkah dan terus melangkah berjuang untuk menggapainya ternyata semua tidaklah sama persis dengan anggapan seperti yang telah di bayangkan semula..

Takdir tuhan mampu memporak porandakan kehidupan yang awalnya manis dan indah itu.

***

Rasya baru saja keluar dari kamar untuk membuatkan sarapan, ia tau Percy sudah pulang. Ia berjalan menuju meja makan dan masih ada makanan semalam tanpa ada yang menyentuhnya. Ia tersenyum miris,

Akhirnya Rasya memilih untuk membuang semua makanan itu dan memasak nasi goreng. Tak lama terdengar suara pintu terbuka dan menampakan Percy yang sudah memakai pakaian kerjanya.

"Pagi Per," sapa Rasya dengan senyumannya.

"Pagi," Percy membalas senyumannya. "Aku berangkat duluan yah, kebetulan ada meeting dengan om Gator dan Verrel." Setelah mengucapkan itu Percypun berlalu pergi meninggalkan Rasya.

"Tidakkah kamu sarapan dulu," gumam Rasya karena terlambat, Percy sudah keluar apartement. Tanpa ada kecupan hangat,,

Rasya menatap nanar dua piring nasi goreng di depannya, ia pikir pagi ini ia akan makan bersama dengan Percy tetapi kenyataannya hanya harapan semu.

Iapun memilih duduk sendiri dan menikmati sarapannya tanpa minat, air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya, siap untuk luruh membasahi pipinya.

Percy terlihat jelas menjaga sikapnya, ia seakan ingin menjaga perasaan Rindi.

***

Percy baru saja sampai di kantor Okta, ia berjalan bersama sekretarisnya menuju ruangan Okta untuk melakukan meeting bersama.

Sesampainya di sana, terlihat sudah ada Verrel dan Sarah yang tengah membahas sesuatu dengan Okta. Ia duduk di antara mereka dengan menampilkan senyuman kecilnya.

"Wih pengantin baru," goda Verrel membuat Percy mendengus.

"Pengantin baru tapi wajahnya kusam." Ejek Okta. Mereka memang senang sekali menggodanya, Sarah terlihat terkikik melihatnya.

"Selamat pagi," seruan itu membuat mereka semua menengok, dan Carelina bersama Adit berdiri di ambang pintu.

"Masuklah nona Carelina," ucap Okta dengan sangat ramah membuat Verrel mendengus sebal. Caren memilih duduk di samping Verrel karena Percy memilih duduk di sofa single, tidak memperdulikan kode dari Verrel untuk dia duduk di sampingnya.

Percy melihat ke arah Verrel yang di apit oleh Sarah dan Caren, seketika sosok Verrel berubah menjadi dirinya yang di apit oleh Rasya dan Rindi. Seketika ia bergidik ngeri, bukannya senang yang ada malah menakutkan. Ia bukan type pria yang suka menyakiti hati perempuan, apalagi ia memiliki adik perempuan yang harus ia jaga melalui sikapnya.

Okta mulai membuka suaranya, dan membahas meeting hari ini. Ia mengatakan kalau mereka harus pergi ke Bandung langsung untuk proyek kerjasama ini. Percy tak menanggapinya, pikirannya terlalu sibuk dengan masalahnya sampai pertanyaan Okta menyentakkan lamunannya.

"Bagaimana Mr. Percy?"

"Eh," Percy terlihat gelagapan, semua mata tertuju padanya. "Aku setuju,"

Dan Oktapun mengakhiri meeting hari ini, Percy berlalu pergi lebih dulu meninggalkan kantor Okta. Ia segera menuju ke rumah sakit, ia ingin menghabiskan waktunya bersama Rindi dan menemaninya.

Sebelum ke rumah sakit, ia membeli sebucket bunga untuk Rindi. Bunga kesukaannya,

Sesampainya disana, ia melihat Randa bersama Samuel menuju cafetaria. Kalau Randa pergi berarti bersama siapa Rindi sekarang, pikirnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ruang ICU.

Deg

Sesampainya disana, langkah Percy terhenti saat melihat seorang pria tengah duduk di sisi brangkar dan Rindi terlihat sudah siuman.

Hatinya sakit saat tau orang pertama yang di lihat Rindi bukan dirinya, ia masih berdiri di depan jendela ruang ICU seperti Rasya kemarin menatap nanar ke dalam ruangan dimana Rindi terlihat memperhatikan pria yang Percy tidak kenal tengah berbicara.

Dari penampilan pria itu, terlihat dia sepertinya teman Randa dari kalangan ke artisan mereka. Percy menunduk menatap bunga yang ia pegang, ia memilih menyimpannya di atas kursi tunggu dan berlalu pergi dengan langkah gontainya menuju keluar rumah sakit. Hatinya terasa di remas remas oleh tangan tak kasat mata.

***

Rasya kaget saat Percy datang di pukul 19.30, tidak seperti biasanya. Ia terlihat lemah dan tidak bertenaga. "Kamu sudah pulang?"

Percy hanya tersenyum kecil. "Aku akan memasakkan makanan untukmu." Percy hanya mengangguk dan berlalu pergi menuju ke dalam kamarnya. Rasya masih memperhatikannya dan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Percy.

Rasya sudah menyiapkan makanan di atas meja, ada rasa senang di dalam hatinya. Akhirnya Percy mau memakan masakannya, tak lama terdengar suara pintu di buka dan Percy keluar dengan pakaian tidurnya. Ia duduk di salah satu kursi meja bar dan Rasya langsung mengambilkan nasi dan lauknya.

"Terima kasih, Sya." Percy masih menampilkan senyumannya walau terlihat tak bersemangat. Rasya tak ingin menanyakannya, ia hanya mampu membalas senyuman Percy dan duduk di kursi lainnya.

Mereka makan dalam diam, hanya suara benturan sendok dan garpu yang memenuhi ruangan itu. "Bersiaplah, besok pagi kita akan ke Bandung."

Rasya tersentak mendengarnya. "Kita?"

"Iya, aku ada pekerjaan disana. Aku tidak mau kamu sendirian disini, karena aku cukup lama disana. Jadi ikutlah, Leonna juga akan ikut."

"Baiklah,"

Percy kembali terdiam dan menikmati makanannya dalam diam. "Emm, Percy."

Mendengar penuturan Rasya, Percypun menengadahkan kepalanya menatap Rasya. "Bagaimana Rindi?" tanyanya lirih.

"Sepertinya dia sudah membaik," ucap Percy kembali menikmati makanannya membuat Rasya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Kenapa Percy terlihat tidak bersemangat.

***

avataravatar
Next chapter