11 Bab 11

Acara Resepsi baru saja selesai, kini Rasya dan Percy pergi menuju ke kamar hotel yang sudah di siapkan untuk pasangan pengantin. Selama perjalanan tak ada yang mengeluarkan suara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sesampainya di dalam kamar, tak ada yang membuka suara. Keduanya diam membisu di tengah suasana kamar yang sangat romantis. Keduanya masuk ke dalam kamar itu, tetapi seketika Percy mendapat telpon dan langsung berlari keluar kamar.

"Percy," panggil Rasya tetapi Percy terus berlari menuju lift tanpa memperdulikan Rasya.

Rasya mematung di ambang pintu dengan perasaan tak menentu, akan kemana Percy??

Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan menatap sekeliling kamar itu yang sudah di sulap seromantis mungkin. Hiasan bunga yang cantik, tebaran kelopak bunga di atas ranjang dan wine di atas meja bar.

Seketika ruangan yang romantis itu berubah menjadi mencekam baginya, tanpa terasa air mata Rasya luruh membasahi pipinya.

Haruskah di malam pertamanya dia di tinggalkan oleh suaminya sendiri. Suami yang baru beberapa jam yang lalu mengikrarkan ijab qabul. Ia perlahan menutup pintu kamarnya dan tubuhnya merosot ke lantai, ia menangis.

Dadanya terasa nyeri dan sesak, hingga tangisnya begitu memilukan. Di malam pertamanya dia harus di tinggalkan sendiri tanpa kata. "Hikzz...hikz...hikz..."

Haruskah seperti ini? Tidak adakah sedikit kebahagiaan untuknya,,

Hanya suara isakan yang memenuhi ruangan bernuansa romantis itu.

***

Percy berlari menyusuri lorong rumah sakit, barusan adalah Randa yang memberitahunya. Ia terus berlari walau masih memakai tuxedo hitamnya. Ia baru saja sampai di luar ruangan emergency dimana keluarga Rindi tengah menunggunya.

Bug

Percy tersungkur saat Seno melayangkan tinjunya. "Berani sekali kau menampakan wajahmu disini!" amuknya terlihat sudah menangis.

"Bangun," Seno menarik kerah jas Percy dan kembali melayangkan tinjunya membuat beberapa orang menjerit dan memanggil satpam karena keributan itu. Percy tak melawan, ia diam saja menerima pukulan dari Seno.

Bug

Kini Seno yang tersungkur karena tinjuan seseorang. "Berani sekali kau memukul putraku!" amuk Edwin.

Pertama kalinya Edwin emosi dan berani memukul sahabatnya sendiri. Dewi terlihat membantu Percy untuk bangun, Seno juga emosi dan ingin melayangkan tinjunya ke Edwin tetapi Angga keluar dan menahannya.

"Hentikan!" pekik Angga yang baru keluar dari ruang emergency.

"Berani sekali loe memukul putra gue!" amuk Edwin emosi dan ingin kembali meninju tetapi Angga berusaha menahannya walau sedikit kesusahan. Hingga Daniel dan Okta datang dan membantu Angga memisahkan mereka berdua.

"Ada apa ini!" pekik Daniel.

"Dia memukul putraku!" amuk Edwin.

"Karena anak loe menyakiti putri gue sampai dia mengalami kecelakaan!" amuk Seno dengan emosi yang memuncak. Seno memang sosok yang paling emosional di antara brotherhood yang lain.

"Ini bukan salah anak gue, sialan!"

"Loe yang sialan!" Seno kembali melayangkan tinjunya ke Edwin, keduanya berkelahi hingga Daniel, Okta dan Angga berusaha memisahkan mereka berdua.

"Cukup! Kalian sungguh kekanakan," ucap Daniel.

"Tunggu. Ada apa ini? Memangnya apa yang terjadi dengan Percy dan Rindi?" tanya Angga terlihat bingung.

"Gara-gara Percy menikahi Rasya, Rindi putri gue jadi terluka dan mengalami kecelakaan." Isak Irene.

"Tunggu, apa maksudnya Percy dan Rindi? Dan Percy kenapa kamu kesini, dimana Rasya?" tanya Angga yang bingung.

"Rasya ada di kamar hotel," ucap Percy menahan kesakitan di perutnya.

"Dan kamu meninggalkannya sendiri????" bentak Angga.

"Santai loaloa," Okta menahan lengan Angga yang ingin mendekati Percy.

"Loe gak tau kan Angga, kalau Percy dan Rindi itu berpacaran dan mereka saling mencintai. Tapi orangtuanya Percy ngotot menjodohkannya dengan putri loe." Ucap Irene dengan sengit.

"Tutup mulut loe, Irene. Loe juga gak setuju hubungan Percy dan Rindi." Ucap Dewi.

"Tapi gue gak seegois loe, Kak. Gue gak sampai menjodohkan Rindi."

"Tapi tetap saja loe memaksa mereka berdua untuk putus." Ucap Dewi tak ingin kalah.

"Karena mereka beda keyakinan." Ucap Seno.

"Itu juga alasan gue !!" amuk Dewi sudah sangat geram.

"Sialan, jadi kalian memanfaatkan putri gue." Amuk Angga, "Kalian sengaja membohongi gue, dan kalian mengorbankan perasaan putri gue!"

"Anak gue yang jadi korban. Loe lihat sendiri bukan." Pekik Seno,

"Tapi anak gue juga korban perasaan! Ini tidak bisa di biarkan, gue akan meminta Rasya menceraikan Percy sekarang juga." Ucapan Angga membuat Dewi dan Edwin terpekik kaget. Percy hanya diam membisu, dia sudah terlalu pusing dan sakit menjalani semua ini. Pikirannya terfokus pada Rindi di dalam sana.

"Loe gila, Ga?" pekik Dewi berjalan ke hadapan Angga.

"Gue gak gila! gue gak ingin putri gue hancur dan di jadikan pelarian." Pekik Angga.

"Loe gak bisa seenaknya," ucap Edwin.

"Kenapa gak bisa?" Angga semakin emosi menatap tajam pada Edwin.

"Tenang!" bentak Daniel berusaha melerai mereka semua. "Kalian gila, ini rumah sakit dan gak seharusnya kalian ribut disini."

"Semuanya bisa di selesaikan dengan baik-baik." Ucap Okta.

"Diam kalian berdua! Ini gak ada urusannya sama kalian berdua!" bentak Seno.

"Gue gak ikut campur, gue hanya ingin kalian menyelesaikannya dengan berbicara baik-baik." Ucap Okta.

"Loe gak ada urusannya disini, Gator." Ucap Edwin terdengar sengit seraya menunjuk wajah Okta.

"Fine, terserah kalian!" Okta mendorong bahu Edwin dengan kesan dan berlalu pergi.

"Dan loe Niel, ini gak ada urusannya dengan brotherhood jadi jangan ikut campur." Ucap Seno.

"Kalian semua munafik dan egois!" ucap Daniel.

"Diam! loe gak ngerasain apa yang gue rasain." Amuk Seno menunjuk wajah Daniel seraya mencengkram kerah baju Daniel.

"Gue gak takut sama loe, sialan!" Daniel mendorong tubuh Seno hingga mundur beberapa langkah ke belakang. "jangan menunjuk wajah gue!" pekik Daniel ikut emosi dan meninju Seno.

Seno yang emosi ingin memukul Daniel kembali kalau Angga tidak kembali menahannya. "Maaf tuan, tuan. Pak Dhika memanggil kalian semua ke dalam ruangannya."

Semuanya menengok ke arah 5 orang satpam yang berdiri tak jauh dari mereka. "Kalau kalian tidak mau, kami akan menyeret kalian."

Semuanya menghela nafas, Daniel merapihkan kemejanya dan berlalu pergi meninggalkan mereka semua. Dan yang lainnya ikut beranjak pergi kecuali Randa yang menunggu Rindi.

Saat mereka sampai di dalam ruangan Dhika, terlihat sudah ada Okta, Chacha, Jack, Elza, Ratu, Serli dan Thalita disana.

Elza, Ratu, Jack, dan Serli sudah datang bersama Okta dan Daniel tetapi mereka memilih melaporkannya ke Dhika saat melihat perkelahian itu.

"Duduk," ucapan dingin Dhika membuat mereka semua duduk di atas sofa. Dhika menyimpan berkas yang tengah dia pegang dan berjalan menuju sofa, Thalita berdiri agar Dhika bisa duduk tetapi Dhika menolaknya. Ia memilih berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana miliknya.

Tatapan tajam milik Dhika terarah ke mereka bertiga. "Apa hak kalian membuat keributan di rumah sakit gue?" tanya Dhika tenang tetapi begitu dingin. Bahkan aura menyeramkan itu mulai keluar dari dirinya, membuat semuanya diam tak berkutik.

"Seno, loe yang memulai. Coba jelaskan." Dhika melihat ke arah Seno yang masih diam membisu.

"Gue terlalu khawatir memikirkan kondisi Rindi, loe dan Angga belum memberikan kabar apapun tentang keadaannya. Dan melihat kedatangan Percy membuat gue semakin emosi. Apalagi sebelumnya dia terlihat menangis histeris karena pernikahan Percy dan Rasya." Ucap Seno dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kalau tau Rindi dan Percy memiliki hubungan, gue gak akan menerima lamaran dari keluarga Jonshon." Ucap Angga terdengar geram. "Ratu, telpon Rasya suruh dia pulang ke rumah. Untuk apa dia diam sendirian di kamar hotel tanpa ada SUAMI." Sindir Angga menekankan kata suami membuat Percy menunduk.

Ratupun mengetik sesuatu di dalam handphonenya dengan mata yang berkaca-kaca, ia yakin putrinya sekarang ini pasti sangatlah terluka.

"Gue tau gue salah karena merahasiakan ini dari loe, Ga. Tapi ini demi kebaikan Percy dan mertua gue." Ucap Dewi memecah keheningan.

"Kebaikan apa? Loe lihat, anak gue sekarang pasti terluka karena Percy meninggalkannya di malam pernikahan mereka!" pekik Angga.

"Pelankan suara loe Angga," pekik Edwin yang tidak suka di bentak.

"Anak loe gak seberapa Angga, Ratu. Loe lihat putri gue? Dia koma, dia kritis." Isak Irene,

"Kalau saja loe membiarkan putri loe masuk ke agama islam, mungkin ini gak akan terjadi dan anak gue gak akan jadi korbannya." sindir Ratu mulai bersuara, ibu mana yang kuat melihat anaknya terluka.

"Kenapa tidak Percy yang pindah agama ke agama Rindi, bukankah dia seorang pria yang mencintai Rindi." Ucap Irene.

"Itu tidak akan pernah terjadi," ucap Edwin dengan sinis.

"Kenapa? Karena loe dan keluarga loe terlalu egois." Pekik Seno kembali emosi.

"Loe pikir loe gak egois? Loe juga menyakiti Rindi." Ucap Elza. "Kalian semua menyakiti anak-anak kalian."

"Diam loe Elza, gue gak minta loe bersuara!"

"Loe yang diam ARSENO! berani sekali loe membentak wanita yang usianya di atas loe." Bentak Dhika membuat Seno terdiam. Aura menyeramkan dalam dirinya keluar hingga mendominasi ruangan itu. Tak ada yang berani membuka suara mereka saat sang leader mengamuk.

"Kalian semua egois, pernahkah kalian memikirkan perasaan anak-anak kalian, hah?" amuk Dhika.

"Yang Dhika katakan-"

"Diam gator," ucap Dhika membuat Okta akhirnya diam juga. "Ada satu orangpun yang membuka suara, gak akan segan-segan gue lempar keluar dari sini." Mendengar gertakan itu, semuanya memilih diam membisu.

Dhika melirik ke arah Percy yang terdiam, "Gue gak nyangka kalian sungguh kekanakan dan egois. Kalian bahkan gak pernah sedikitpun melirik ke anak-anak kalian."

"Gue tau sejak awal, Dewi yang gencar mencarikan jodoh untuk Percy. Gue juga tau Irene dan Seno yang menekan Rindi untuk memutuskan Percy karena agama kalian berbeda. Gue selama ini diam, gue diam karena gue pikir itu urusan keluarga kalian dan kalian tau mana yang baik dan tidak untuk keluarga kalian sendiri. Tapi ternyata gue salah,"

"Bukan begitu-"

"Diam Dewi, gue gak suka saat berbicara ada yang memotong." Ucap Dhika dengan sangat dingin membuat Dewi terdiam.

"Gue memang tau karakter kalian, tapi gue yakin dengan Edwin. Dia lebih dewasa dan tau cara menyelesaikan masalah. Tetapi ternyata gue juga salah." Ucapan Dhika mampu memohok Edwin. "Sorry Win, gue tau loe lebih tua dari gue. Tapi yang gue katakan ini memang benar adanya, kalian masih kekanakan."

"Sekarang gue ikut turun tangan, karena kalian sudah membuat keributan di rumah sakit gue dan gue gak suka ada pertentangan di brotherhood." Ucapnya, "kalau ada yang keberatan karena gue ikut campur, silahkan acungkan tangan atau pukul gue. Gue gak akan segan-segan membalas pukulannya." Ucapan Dhika dengan tajam dan terdengar menyeramkan.

"Dan buat loe, Angga. Loe gak berhak meminta Rasya bercerai pada Percy, apa loe gak kasian dengannya yang baru saja menikah lalu harus menjadi seorang janda."

"Gue hanya tidak ingin dia menjadi penghalang antara Percy dan Rindi. Gue tidak ingin kejadian di masalalu kembali terulang."

"Rasanya sangat sakit saat di jadikan pelampiasan, Kak Dhika." Ucap Ratu dengan tangisannya.

"Rasya berbeda dengan loe, Angga. Bukankah sudah jelas semuanya, Rasya tak melakukan cara yang licik seperti loe." Sindiran Dhika mampu memohok Angga. Saat Dhika emosi, maka harus siap merasa tersindir hingga memohok hati.

"Kalian harus sadar. Rasya, Percy dan Rindi sudah dewasa. Mereka sudah bisa menentukan mana yang baik untuk mereka dan mana yang tidak. Tidakkah kalian percaya pada mereka?" tanya Dhika.

"Gue gak akan membahas yang sudah berlalu, yang jelas sekarang. Semuanya sudah terjadi karena keegoisan kalian, jadi untuk selanjutnya biarkan anak-anak kalian yang memutuskan. Kalian tidak berhak mencampurinya."

"Dan disini, Percy tidak bersalah. Ada yang menyalahkannya maka berhadapan dengan gue." Mendengar ucapan Dhika membuat Percy menengok ke arahnya. Sejak dulu walau Dhika sering menggodanya hingga dia menangis, tetapi Dhikalah om yang paling dekat dengannya di antara yang lain.

"Percy juga korban keegoisan orangtuanya." Ucap Dhika melirik Edwin dan Dewi. "Dia di tekan oleh mereka hingga dia tidak sengaja menyakiti dua wanita sekaligus. Tetapi keegoisan dan kesombongan kalian menutup mata kalian. Seakan Percylah yang bersalah disini."

"Loe Wi, kalau loe tidak di setujui menikah dengan Edwin dan orangtua loe memaksa loe menikah dengan oranglain, apa loe akan diam saja. Apa loe akan berontak? Gue sih sanksi kalau loe akan diam saja." Sindir Dhika membuat Dewi semakin merasa malu.

"Rindi juga disini tidak bersalah, dia korban keegoisan orangtuanya juga." Sindir Dhika melirik Seno dan Irene. "Kalau misalnya loe yang ada di posisi Rindi, Ren. Apa yang akan loe lakukan kalau saat itu Seno menikah dengan Tasya, apa loe akan merelakannya?"

"Jawabannya tidak, bukan." Mendengar ucapan Dhika membuat mereka berdua menunduk dan hanya menangis. "Kalian terlalu egois, terlalu memikirkan diri kalian dan keluarga kalian tanpa memikirkan perasaan anak-anak kita. Gue berani menjamin, kalau kalian ada di posisi anak-anak kalian sekarang. Kalian akan memilih kabur dan menikah diam-diam," ucap Dhika. "Gue tau masalah agama sangatlah sensitive. Tetapi selama puluhan tahun kita bersahabat, bukankah perbedaan itu bukanlah masalah?"

"Cara kalian menyampaikan kepada anak-anak kalianlah yang salah. Kalian sangat menekan mereka, hingga tanpa sadar kalianlah yang sudah menyakiti mereka."

"Harusnya kalian bersyukur karena anak-anak kalian tidak berontak, mereka memikirkan keluarganya sendiri. Baik Rindi maupun Percy, mereka berkorban untuk keluarganya sendiri. Tetapi kalian masih saja egois." Ucap Dhika menghela nafasnya. "Tetapi baiklah, kita tidak perlu membahas agama. Kita bahas saja apa yang terjadi saat ini."

"Untuk kedepannya gue tidak ingin mendengar keributan lagi, apalagi membuat keributan di rumah sakit gue. Gue gak akan segan-segan meminta satpam untuk menyeret kalian semua keluar rumah sakit! Dan untuk selanjutnya keputusan ada pada kalian, gue tidak ingin ikut campur terlalu jauh."

Semuanya masih diam membisu, tak ada yang membuka suaranya. "Maafin gue Dhika, gue sungguh konyol." Ucap Edwin merasa malu pada Dhika.

"Minta maaflah pada Seno, Angga dan Percy begitu juga sebaliknya. Gue gak akan memaksa kalian untuk saling memaafkan, kalian bukan anak kecil yang harus gue akurkan. Kalian sudah dewasa bahkan sudah tua. Rasanya tidak pantas gue meminta kalian untuk saling memaafkan."

"Maafin gue, Win, Percy, Angga dan Daniel. Gue sungguh emosi karena kondisi Rindi." Ucap Seno mengusap wajahnya dengan gusar.

"Loe juga ngebentak gue, sialan." Sindir Okta.

"Ya, loe juga gator, gue sangat minta maaf." Ucap Seno.

"Gue juga minta maaf sama loe, Ga." Ucap Edwin.

"Maafin gue, Kak Dewi." Ucap Irene.

"Gue juga minta maaf,"

"Sekarang sudah selesai kan, jadi keluarlah." Ucap Dhika melenggang pergi menuju kursi kebesarannya.

Mereka mulai bubar satu persatu tanpa suara, Dhika juga masih terlihat mengontrol emosinya. "Percy tetaplah tinggal."

Mendengar ucapan Dhika, Percy kembali duduk. Disana juga masih ada Thalita, Dhika berjalan menutup pintunya saat semuanya sudah keluar ruangan Dhika. Ia berjalan mendekati sofa dimana Percy dan Thalita berada.

Dhika duduk di sofa tepat di depan Percy. "Om tidak sedang membelamu," ucap Dhika membuat Percy mengangguk. "Om tau selama ini kamu tertekan karena ulah orangtuamu. Tetapi pahamilah, setiap orangtua selalu ingin yang terbaik untuk putranya."

"Percy paham Om,"

"Kamu boleh menemui Rindi dan menemaninya, tetapi ingatlah sekarang ada Rasya sebagai istrimu. Bagaimanapun juga, Rasya lebih berhak atas dirimu." Percy terdiam menunduk. "Jaga perasaannya, itu sudah tugas dari seorang suami."

"Setidaknya lakukan tugas suami, walau kamu belum mencintainya." Ucapan Dhika membuat Percy mengangguk.

"Akan Percy usahakan Om,"

"Usahakanlah Percy, jangan kembali menambah korban. Rindi memiliki takdirnya sendiri, mungkin sekarang saatnya kamu memahami kalau kalian tidak berjodoh." Percy masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.

"Om tidak tau jodoh kalian siapa, bisa saja takdir kembali mempermainkan kalian bertiga. Tetapi untuk sekarang, tolong jaga perasaan Rasya. Dia istrimu sekarang," Percy kembali mengangguk.

"Sebaiknya kamu pulang, dan temui Rasya. Jangan sampai dia pulang ke rumahnya, itu tidak baik." Ucap Thalita.

"Tapi Rindi,"

"Ada kami dan orangtuanya yang akan mengurusi Rindi, sebaiknya kamu temani Rasya." Percypun mengangguk lirih dan beranjak pamit keluar ruangan.

Dhika menghela nafasnya seraya memijit pangkal hidungnya. "Kamu sangat menyeramkan, Dhika."

Mendengar ucapan Thalita, Dhika melihat ke arahnya dengan kernyitan. "Kamu terlihat seperti devil tadi, sungguh menyeramkan sampai mereka semua tak ada yang berani membuka suara." Ucap Lita.

"Bukankah harusnya begitu," kekeh Dhika. "Kamu tenang saja, aku masih tetap suamimu yang tampan dan ramah." Goda Dhika membuat Thalita mencibir.

"Sudah gak cocok menggombal," Dhika terkekeh mendengarnya. "tetapi kamu terlalu kasar tadi."

"Segitu belum kasar, sayang. Rasanya aku ingin memukul wajah Seno dan Edwin tadi dan menyeret mereka keluar rumah sakit, berani sekali membuat keributan disini. Tetapi aku masih menahan emosiku, apalagi saat Seno membentak Elza, aku sungguh tidak suka. Dia juga membentak Daniel tadi."

"Kak Seno kan memang emosional,"

"Yah, karena itulah dia tidak pantas di beri kelembutan." Ucap Dhika.

"Kamu akan lembur?" tanya Lita.

"Sepertinya, aku harus memastikan kondisi Rindi. Banyak urat Syaraf dan tulangnya yang hancur." Gumam Dhika.

"Apa Rindi akan-"

"Aku berharap tidak, aku belum bisa memberi kabar kepada mereka semua karena mereka masih terlihat emosi."

Thalita terdiam mendengar penuturan Dhika barusan.

***

Percy berjalan dengan gontai menuju kamar hotelnya. Jasnya sudah terlepas dan hanya dia pegang, dia membuka pintu kamar hotel dan terlihat Rasya sudah terlelap dengan meringkuk seperti bayi. Bahkan dia masih memakai gaun pengantinnya.

Percy yang terlalu lelah, memilih merebahkan dirinya di atas sofa yang ada di ruangan itu. Pandangannya menyalang menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang memikirkan Rindi dan pertengkaran tadi.

Dia merasa kehidupannya sangatlah rumit, ia tidak bisa berkutik sedikitpun.

Tetapi sekarang dadanya terasa nyeri memikirkan Rindi, bagaimana kondisi gadisnya saat ini.

***

Rasya mengerang pelan dalam tidurnya, ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Kepalanya terasa berat dan matanya terasa sakit sekali karena kelamaan menangis. Ia berangsur bangun dan sedikit kaget saat melihat Percy tertidur di atas sofa.

Ada perasaan senang di dalam hatinya, setidaknya dia terbangun tidak sendirian. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan juga membersihkan wajahnya.

Setelah dari kamar mandi dan berpakaian santai, ia beranjak mendekati Percy dan melepaskan sepatu yang masih melekat di kakinya juga kaos kakinya. Setelahnya ia menyelimuti tubuh Percy hingga batas dada. Ia mengamati wajah Percy yang terlelap, terlihat lelah sekali.

Ingin sekali ia membelai wajah Percy yang terlihat tegang dan lelah itu, tetapi keberaniannya menghilang. Rasya memilih berlalu pergi untuk menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Setelah cukup lama, Percy terbangun dan sedikit mengernyitkan dahinya melihat selimut di tubuhnya. Ia berangsur bangun seraya memijat pangkal hidungnya. Ia melihat Rasya tengah menata makanan di atas meja bar.

Percy beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Rasya hanya meliriknya sebentar dan kembali fokus dengan pekerjaannya.

10 menit berlalu, Percy sudah terlihat segar dengan sudah memakai pakaian kerjanya. "Pagi,"

"Pagi Sya," jawab Percy duduk di kursi meja bar tepat di depan Rasya. "Hari ini kita langsung pindah ke apartement gue,"

"Baiklah,"

"Gue tidak ingin masalah ini semakin panjang dan rumit lagi kalau orangtua kita mengetahui hubungan kita." Ucapan Percy membuat Rasya menelan salivanya sendiri, ia hanya bisa mengangguk.

"Aku ikut kamu saja,"

"Sepertinya mengganti panggilan jadi aku kamu tidak masalah." Ucap Percy membuat Rasya tersenyum.

"Mungkin panggilan ini lebih enak di dengar, Per."

"Baiklah, gue akan mencobanya."

"Emm Per, semalam loe kemana? Semalam juga mama memintaku pulang, tapi aku tidak bisa."

"Kenapa?" tanya Percy menatap Rasya.

"Karena gue istri loe sekarang, rasanya tidak baik pergi begitu saja tanpa ijin suami." Ucapan Rasya membuat Percy termengu.

Suami....?

Ingat Percy, sekarang Rasya adalah istri kamu.

Percy hanya tersenyum pendek dan mulai menikmati sarapannya. "Sya, Rindi semalam kecelakaan."

Oho oho oho

Rasya tersedak makanannya sendiri mendengar penuturan Percy, "Ba-bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaannya?"

"Gue gak tau keadaannya sekarang bagaimana, semalam beberapa orangtua brotherhood berkelahi. Om Seno mengamuk."

"Apa pesan dari mama semalam juga ada sangkut pautnya?" Percy menganggukkan kepalanya.

"Mereka sudah mengetahuinya, tetapi syuruklah om Dhika mampu melerai mereka." Ucap Percy, "Sya, gue tau ini salah tetapi gue tetap meminta ijin sama loe. Semetara gue ingin menemani Rindi." Ucapan Percy mampu memohok hati Rasya.

"Gue janji, gue hanya ingin menemaninya. Tidak akan ada yang lainnya lagi,"

"Kenapa loe harus meminta ijin sama gue," kekeh Rasya walau hatinya terasa tercubit.

"Karena sekarang kita adalah sepasang suami istri, setidaknya gue tidak ingin menyakiti loe walau mungkin memang sudah menyakiti loe." Ucap Percy terdengar parau. "gue sungguh merasa dilema, Sya. Tapi jujur saat ini pikiran gue terfokus pada Rindi, gue sangat mengkhawatirkannya."

"Lakukanlah sesuka loe, Per. Gue paham keadaan loe," ucap Rasya walau hatinya tidak mengijinkannya.

"Thanks Sya, loe memang sahabat gue." Percy merasa lega akhirnya Rasya bisa mengerti.

"Sama-sama, gue akan membereskan beberapa pakaian kita. Sekarang kita ke apartement loe kan?" Percy menganggukkan kepalanya.

Rasya beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lemari, air matanya luruh membasahi pipi. Tidak ada istri yang merelakan suaminya mengurusi wanita lain yang jelas-jelas mantan kekasihnya sendiri. Tetapi Rasya berusaha untuk tidak egois, dia yang tidak seharusnya ada di antara mereka berdua.

***

avataravatar
Next chapter