2 Tuhan bermain dadu

Matahari mulai bekerja menggantikan rembulan. Sinarnya menelusup dari balik tirai mengenai kelopak gadis di ranjang Queen size. Tubuhnya menggeliat tanda terusik dari tidurnya. Netranya mengerjap membiasakan diri. Arloji menunjuk pukul 6 tanda gadis itu harus bersiap ke sekolah. Menatap lama wajahnya di cermin, sepertinya memakan waktu lama untuk menyembuhkan bengkak di pipi.

Sadar harus segera berangkat, ia segera membersihkan tubuhnya. Tetesan air membasahi kulitnya membuat lengan kirinya terasa perih. Namun ia tak ambil pusing sebab sakit di lengannya tak sebanding dengan penderitaannya.

Derap langkah kaki terdengar dari atas tangga. Seorang gadis berseragam SMA turun dari tangga menuju ruang makan. Disana duduk dua orang dewasa sedang makan dengan tenang. Sang wanita berumur 34 tahun menyapa dengan ramah. Senyuman mengembang di wajahnya berharap gadis yang disapa membalasnya. Tapi tampaknya suasana hati gadis itu sedang tak baik, ia hanya duduk di depannya tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Sayang, ada apa? Kau tidak mau membalas sapaan Ibumu ini?" lirih sang wanita.

"Tak usah menyebut dirimu Ibu jika kau tidak mengakui ku sebagai anak di depan orang lain," sindir Nia.

"Jaga ucapanmu pada Ibumu Nia. Ayah tidak pernah mengajarkanmu tak sopan." Sang suami membela istrinya.

"Haha kau pun sama Pak Adikara. Kau tidak mengakuiku sebagai anak. Aku kan yatim piatu." Seringai tampak di wajah Nia.

BRAK

Adikara tak terima dengan perkataan anaknya. Ia menggebrak meja dengan keras membuat Sekar dan Nia tersentak. Sekar mencoba menenangkan suaminya. Ia tahu sifat suaminya saat sedang marah dan ia tak mau ada yang terluka.

"Sayang, tenang dulu. Kamu tidak mau terlambat karena sibuk memarahi Nia kan?" Sekar berujar lembut sembari mengelus punggung Adikara berusaha menenangkan.

"Anakku, kami punya alasan merahasiakanmu. Ibu adalah penyanyi terkenal dimana punya banyak penggemar. Ayah pengusaha sukses dan punya banyak musuh. Jika mereka tahu kita punya anak diluar nikah, mereka akan menjatuhkan ayahmu." Sekar berusaha menjelaskan sambil menggenggam tangan Nia.

Nia menghela napasnya panjang dan menepis tangan ibunya. Hatinya sesak seakan berada di ruangan sempit tanpa oksigen. Ingin rasanya ia berteriak namun suaranya tercekat. Nia memilih menghabiskan makanannya secepat mungkin agar tak lama melihat wajah orang yang dibencinya.

"Ibu, aku tau perkataanmu hanyalah alasan. Kalian memang hanya mementingkan karir kalian dan menganggapku penghalang. Aku mengerti, aku juga tidak berharap lebih pada kalian."

Setelah mengatakan kalimat itu, Nia pergi dari hadapan orang tuanya. Entah Nia yang egois karena ingin diakui sebagai anak atau orang tuanya yang egois karena mendewakan uang dan karir.

"Anak kurang ajar! Sekar, seharusnya aku tidak mencegahmu menggugurkan kandunganmu. Seharusnya kau tak pernah terlahir Nia!" ujar Adikara sambil melampar gelas ke arah pintu.

Ayahnya melempar gelas kaca bermaksud melukai anaknya yang dianggap kurang ajar tapi untungnya gadis rambut kelam itu sudah berlalu sehingga gelas itu hanya mengenai pintu. Entah apa jadinya jika gelas itu mengenai kepala Nia. Sudah pasti darah segar akan mengalir membasahi seragam dan lantai.

##

"Eh eh ada berita viral nih Nisa Sabyan jadi pelakor Ih murahan."

"Masa sih? Padahal keliatan alim."

"Penampilan alim belum tentu benar."

"Benar juga eh ada berita viral lagi nih."

Terlihat beberapa gadis berkerumun di satu meja membahas gosip dan hal lain yang sedang trend dengan semangat. Andai saja mereka seantusias itu saat belajar. Di meja lain terlihat beberapa pemuda asik main game. Lalu ada yang mencoret papan tulis, sibuk merias diri dan ada yang sedang mengerjakan tugas. Coba tebak siapa yang mengerjakan tugas? Tentu saja Nia Anggraini.

Saat ini guru guru sedang rapat sampai istirahat makan siang. Dan siswa siswi diberi tugas untuk dikumpulkan besok tapi sepertinya hanya Nia yang mengerjakannya.

Sebenarnya alasan Nia mengerjakan tugas selain agar bisa tidur cepat, dia tidak tahu mau melakukan apa. Nia tidak punya teman di kelas. Pandangannya mengedar ke seisi kelas. Dalam lubuk hatinya ia iri pada anak anak lain yang punya teman.

"Andai saja punya teman. Hah yasudahlah siapa juga yang mau berteman denganku?"

"Aku mau berteman denganmu kok," ujar Mela yang entah kapan ada di depan Nia.

"Tidak, terimakasih." Nia menatap malas Mela. Lebih baik mati daripada punya teman seperti Mela.

"Hey jangan seperti itu. Pokoknya kau temanku. Karena kita teman, kerjakan tugasku ya. Nanti malam aku mau kencan jadi tak ada waktu untuk mengerjakan tugas."

Liat kan tak mungkin seorang Mela mau berteman dengan Nia. Dia hanya ingin memanfaatkan Nia. Tapi Nia tak sebodoh itu. Gadis tinggi itu memilih tidur daripada meladeni Mela. Mela yang merasa diabaikan menarik rambut Nia.

"Berani sekali kau mengabaikanku."

Nia hanya menatap datar Mela tak peduli dengan perkataannya. Tangannya melepas cengkraman Mela dari rambutnya. Namun Mela tak tinggal diam. Dia menarik kursi Nia hingga gadis rambut sepinggang itu terjatuh dari kursinya. Manik coklatnya melebar terkejut akan tindakan Mela.

Segera Nia berdiri dan menjambak Mela kencang. Terjadilah tarik menarik antara Nia dan Mela. Merasa ada hiburan, teman temannya membentuk lingkaran dan bersorak. Tak ada niatan memisahkan justru mereka menyemangati Nia dan Mela agar terus berkelahi sampai salah seorang guru memisahkan mereka.

"Nia! Mela! Ke ruangan saya sekarang!"

Pak Yoga, guru olahraga memisahkan mereka saat mendengar suara riuh dari kelas ini. Matanya menatap tajam. Interogasi berlangsung tak adil. Dengan handalnya Mela berakting seolah ia korban.

"Aku sedang mengobrol dengan teman temanku, tiba tiba Nia menarik rambutku. Wajar kan aku membalasnya?" ujar Mela sesenggukan.

"Bohong pak. Mela yang mulai duluan. Aku hanya membela diri."

"Cukup Nia. Bapak tau Mela berkata jujur. Bapak tidak heran sikapmu seperti ini. Anak yang tidak punya orang tua selalu membuat masalah."

Tangan Nia terkepal kuat mendengar ucapan Pak Yoga. Dalam hati ia menghitung sampai sepuluh guna menetralkan emosinya. Ia tak mau meledak di hadapan gurunya.

Dan disinilah Nia sekarang membersihkan toilet sendirian. Seragamnya basah oleh keringat. Nia menatap nanar wajahnya di cermin. Air mata meleleh mengalir membentuk sungai di pipi. Tak ada keberuntungan dihidupnya seolah Dewi fortuna mengutuknya. Bolehkah ia menyalahkan takdir? Sepertinya Tuhan kalah saat bermain dadu dengan Iblis.

#

.

.

Terlihat dua orang beda jenis kelamin sedang bernyanyi di atas panggung. Seolah mantra, semua orang terhipnotis oleh mereka. Sekar Putri dan Duta Batara menyanyikan lagu Rizky Febian-makna cinta.

Sekilas mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Tatapan yang dalam dan senyum hangat menghiasi wajah mereka. Kalian tau istilah baper? Itulah yang dirasakan penonton. Baper karena mereka terlihat serasi di panggung.

"Wow apa ini? Kalian romantis sekali." Host menghampiri dua penyanyi di atas panggung.

"Semua orang disini pasti penasaran dengan hubungan kalian. Benarkah kalian hanya teman duet atau ada sesuatu diantara kalian?"

Duta, sang penyanyi pria mendekatkan mikrofonnya. Ia melirik Sekar dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Untuk saat ini kami hanya teman duet tidak tau nanti. Bisa saja kami menjalin cinta." Ucapan Duta menimbulkan kehebohan diantara penonton.

"Woah apakah ini pernyataan cinta? Bagaimana Sekar?" Host membalas dengan heboh.

Sekar tersedak mendengar ucapan Duta. Dia merasa risih dengan sikap Duta namun berusaha menutupinya. Bibir merah mudanya melengkung. Sekar menjawab dengan tenang.

"Ah kamu bisa saja Duta. Aku jadi malu. Kita lihat nanti yah."

Sekar menjawab seolah memberi harapan pada Duta. Tanpa Sekar sadari ucapannya menyalakan api cemburu pada pria di ujung sana. Pria itu menatap nyalang Sekar seolah siap membunuhnya kapanpun. Jemarinya mengepal hingga menancap di telapak tangannya menandakan emosi tengah menguasai.

"Ternyata Istriku sudah bosan hidup. Baiklah akan ku kabulkan permintaanmu."

avataravatar
Next chapter