17 Seorang pemuda yang pantang menyerah

"Sudahlah. Bicara denganmu hanya membuatku kesal," ketus Nia dan berlalu meninggalkan Kevin di perpustakaan.

Kantin terasa lengang karena istirahat sudah berlangsung 15 menit. Tinggal 15 menit tersisa untuk yang belum sempat makan. Nia melangkah dengan santai ke kantin dan memesan mie goreng. Ia lalu mencari tempat kosong untuk duduk. Ia sengaja ke kantin saat sepi karena tidak mau bertemu Mela setelah tadi ia membully Nia.

"Boleh duduk disini?" tanya seorang laki laki di sampingnya dan ternyata itu Kevin. Nia memutar bola matanya dan menjawab dengan ketus. "Tidak boleh." Tapi seolah tak paham, Kevin malah duduk disamping Nia. Tentu saja hal itu membuat semua orang di kantin menatap mereka.

"Apa maumu?" Nia meletakkan sendoknya lalu menatap Kevin tajam. Ia meletakkan tangannya di dagu, sebagai tumpuan. Kevin menekuk alisnya tak paham maksud Nia. Gadis itu lalu menghela napas dan menunjuk anak anak perempuan yang menatap tak suka dia. "Kau mau mengerjaiku?"

"Aku tidak mau mengerjaimu. Aku ingin dekat denganmu. Salahkah?" tanya Kevin. Nia menganggukkan kepalanya cepat. "Salah. Lebih baik kau menjauh dariku. Aku tidak mau dibunuh penggemarmu."

"Mereka tidak akan membunuhmu. Katakan padaku jika mereka mengganggumu. Aku akan membelamu," kata Kevin berusaha meyakinkan niat tulusnya. Nia menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Lebih baik kamu menjauh dariku. Lagipula aku tidak tertarik dekat denganmu."

Kevin menundukkan kepalanya kecewa lalu makan dalam diam. Nia mengangkat bahunya dan melanjutkan acara makannya yang tertunda. Tanpa mengucap sepatah katapun, Nia pergi saat bel berbunyi yang membuat Kevin menatap punggung Nia sedih. Ada rasa kecewa saat Nia tak mau dekat dengannya. Tapi menyerah tidak ada dalam kamus Kevin.

#

.

.

Kelas berjalan seperti biasa. Nia memperhatikan guru dengan seksama. Mejanya ia tutupi dengan buku. Netranya terasa panas jika membaca coretan kebenjian di meja. Besok, ia akan membawa tiner untuk menghapusnya.

"Pluk." Sebuah kertas mengenai kepalanya. Nia melirik sekitar, mencari siapa yang melempar kertas. Ia membuku bola kertas. Giginya gemeretak membaca tulisan disitu. Lalu datang lagi lemparan bola kertas.

Beberapa siswa tertawa pelan melihat Nia yang dilempar kertas. Nia meremat tangannya dan menggebrak meja kencang.

"Kalian! Senang ya mengganggu orang?" tanya Nia geram. Ia berdiri dan matanya melotot, menatap semua siswa yang berbisik membicarakannya.

"Ada apa ini? Kenapa kamu teriak Nia?" Bu Septi membalikkan tubuh menghadap murid muridnya. Penggaris di tangannya siap memukul pembuat onar di kelasnya. Nia mengigit bibirnya takut tapi ia berusaha menjelaskan. "Ada yang melempari saya kertas bu," kata Nia.

"Benarkah itu?" Manik Bu Septi menelisik wajah Nia lalu menatap siswa lain. Semua siswa diam, baik siswa laki laki maupun perempuan. Bu Septi memukul meja denga penggaris. "Jawab! Benarkah perkataan Nia?"

Sani mengangkat tangannya. "Benar bu. Saya yang melempar kertas. Tapi saya melakukannya karena tadi Nia tidur. Kan kata ibu tidak boleh tidur di kelas," terang Sani yang diangguki oleh Bu Septi.

Wanita berkacamata itu mendekati Nia membuat Nia menelan ludahnya susah. Bu Septi dengan kasar menarik tangan Nia. "Keluar dari kelas saya."

"Bu, Sani bohong. Saya tidak tidur," jelas Nia. Raut wajahnya memelas. Tapi seolah tuli, Bu Septi tak mengindahkan perkataan Nia. Ia malah menutup pintu dan kembali mengajar. Sementara Nia bersandar pada pintu kelas, menghela napasnya yang terasa berat. Ia terus diluar sampai pelajaran berikutnya.

Waktu berjalan lambat. Nia bosan menunggu pergantian kelas. Ia memutuskan menunggu di tempat lain. Langkahnya menuntunnya ke taman belakang yang sepi. Telinganya mendengar suara seseorang dimaki. Ia melihat seorang siswi memaki pria tua yang memegang sapu. Kepala pria itu menunduk sementara sang gadis mencercanya.

"Bapak! Aku kan sudah bilang, jangan panggil aku nak kalo disekolah. Kalo nanti ada yang dengar gimana? Aku malu!" maki gadis rambut sebahu itu.

Tangan gadis yang memaki pria tua memakai jam tangan branded lalu telinganya memakai anting emas. Cincin emas melingkar di jari gadis itu. Penampilannya berbanding terbalik dengan pria yang ia panggil Bapak. Pria itu hanya memakai kemeja lusuh dan celana yang sobek di dengkulnya.

Nia mendekati pria tua setelah si gadis pergi. "Pak, anda tidak apa apa?" tanya Nia khawatir. Pria yang menjadi tukang bersih bersih menganggukkan kepalanya. Bibirnya tertarik membentuk senyum. "Saya tidak apa apa non."

"Perempuan tadi anak bapak?" Nia bertanya kembali tapi pria itu hanya diam lalu pergi. "Saya lanjut kerja ya non."

Nia menatap punggung layu bapak tadi. Punggung yang terlihat layu diluar tapi kokoh di dalam. Nia yakin dialah tulang punggung keluarga. Keriput di tangannya menceritakan semua perjuangan yang telah dilalui. Kulitnya menggelap terkena sina matahari demi mencari pundi pundi uang.

Nia melirik jam tangannya dan terperanjat saat sebentar lagi pergantian jam pelajaran. Ia buru buru lari ke kelas menghindari keterlambatan.

Bu Septi yang baru saja keluar menatap sinis Nia yang hendak masuk kelas. Samar ia mendengar wanita itu mencibirnya. Andai saja ayahnya memberi kekuasaan padanya, sudah pasti Nia akan memecat Bu Septi.

#

.

.

Tanpa terasa hari sudah sore, menandakan bel pulang sebentar lagi berbunyi. Semua siswa berteriak gembira ketika bel berbunyi namun tak lama teriakan gembira berubah menjadi kecewa saat hujan mendadak turun. Siswa yang membawa payung berhambur keluar sementara yang tidak bawa, menunggu di kelas.

Sudah 30 menit berlalu dan hujan belum berhenti. Nia jalan sampai teras kelas. Gadis kuncir kuda itu memutuskan hujan hujanan.

"Payungku terlalu besar untuk dipakai sendirian. Mau berdua denganku?" kata pemuda yang mendadak disampingnya. Nia menatap sekilas Kevin yang sudah memakai payungnya. "Lebih baik aku lari daripada sepayung denganmu," jawab Nia ketus lalu lari dengan menggunakan tasnya sebagai payung.

Kevin melongo lalu mengejar Nia. Ia mensejajarkan langkahnya dan memayungi Nia. Tapi gadis jangkung itu terlalu keras kepala. Ia menghindar tiap kali Kevin memayunginya. Pemuda mancung itu geram. Ia melempar payungnya ke depan Nia. Sontak Nia menghentikan langkahnya.

"Pakailah. Biar aku yang kehujanan," pinta Kevin. Tubuhnya dibasahi tangisan awan, tak peduli jika nanti ia flu. Yang penting gadis pujaannya tidak kehujanan.

Nia berjongkok untuk mengambil payung. Tentu hal itu membuat senyum Kevin mengembang. Namun senyumnya luntur saat Nia melempar payung itu ke arahnya. "Aku tak butuh payungmu. Pakai saja sendiri," tolak Nia yang melanjutkan langkahnya.

"Memang kenapa sih kalo sepayung? Aku pun tak masalah kalo kamu pakai payungnya dan aku kehujanan!" teriak Kevin geram dengan penolakan Nia.

Ia lalu mengejar Nia dan kembali melempar payung yang refleks ditangkap Nia. Tapi gadis itu bersikukuh menolaknya. Ia melempar balik payung itu ke Kevin. Dan akhirnya tak ada yang memakai payung. Mereka hanya saling lempar payung sampai tempat parkir.

Nia dan Kevin dua darah muda yang sama sama keras kepala dan kekanakan. Mereka tidak kasihan pada payung yang kesakitan karena terus menerus dilempar. Andai payung bisa bicara, sudah pasti payung itu akan memarahi mereka.

avataravatar
Next chapter