10 Jangan pernah mengejek Nia

Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Beberapa orang mulai masuk ke rumah dan tidur dengan nyaman di kamar hangat mereka. Tapi dua darah muda itu masih betah diluar. Kevin dan Nia duduk di depan minimarket. Mengistirahatkan tubuh sekaligus menghilangkan pening yang mendera Kevin.

Tangan mulus Nia terampil mengelap peluh yang membasahi Kening Kevin. Pupil pemuda itu membesar saat bertabrakan dengan manik coklat Nia. Seperti terhipnotis, wajahnya mendekat pada paras secantik putri salju itu.

Bibir tebalnya semakin mendekat pada bibir tipis Nia. Caramel gadis yang memakai piyama itu terbuka lebar saat menyadari jarak mereka hanya beberapa centi. Ia bisa merasakan deru napas pemuda itu.

"PLAK"

Tamparan mendarat di pipi pemuda pemilik manik hitam pekat itu. Pemuda itu terkesiap atas sikap Nia. Sedangkan pelaku penampar mendelik tajam pada Kevin.

"Mau apa kau? Mau ku teriaki sebagai orang mesum?!" jerit gadis itu seraya mendorong bahu Kevin. Semburat muncul hingga telinga Kevin. Seketika pemuda itu tergagap dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"A-aku, tidak, ah m-maaf," gugup Kevin sambil menahan debaran jantungnya. Dalam hati ia merutuki kecerobohannya. Tubuhnya tidak bisa diajak kompromi saat terlalu dekat dengan gadis yang suaranya merdu ini. Otaknya mati seolah tak ada isi.

Nia berdiri. "Perutmu masih sakit tidak? Aku mau pulang," kata Nia sambil menepuk nepuk pantatnya yang berdebu. Ia berkali kali melirik jam di tangan Kevin. Sudah terlalu larut untuk tetap diluar. Ia tak mau besok terlambat ke sekolah.

"Sudah tidak kok. Ayo naik," ujar pemuda itu dan menunggangi kuda besinya. Motornya melaju lambat. Ia tak mau cepat berpisah dari Nia. Moment seperti ini sulit sekali didapatkan. Ia merasa sayang jika tidak menggunakannya dengan baik. Ingin rasanya waktu berhenti sebentar saja. Agar ia bisa lebih lama bersama Nia.

#

.

.

.

"Sudah sampai," tutur Nia dan turun dari motor Kevin.

"Ini rumahmu? Wow." Kevin tercengang saat sampai di depan rumah Nia. Tinggi pagar melebihi tinggi badannya sendiri dan halaman luas yang samping kanan dan kirinya dipenuhi berbagai bunga. Rumput hijau yang ia injak terasa empuk. Dari luar saja rumah Nia terlihat estetik.

"Terimakasih. Aku akan mencuci kemajamu. Besok atau lusa akan ku kembalikan,"

"Eh tak usah dicuci. Sini, kembalikan saja sekarang," dalam hati ia berkata tak mau aroma tubuh Nia hilang begitu saja. Ia ingin aroma tubuh Nia tertinggal di kemejanya.

Dahi Nia berkerut mendengar perkataan Kevin. "Aneh sekali orang ini," gumam gadis itu.

"Dasar aneh, ini," ucapnya sambil melepas kemeja dan mengembalikannya pada Kevin. Ia masuk tak lama setelah Kevin menghilang dari pandangannya.

#

.

.

"Ah capek~"

"Tapi... menyenangkan," kekeh Kevin saat teringat hal yang baru saja ia dan Nia lakukan. Mungkin terdengar aneh, tapi bagi Kevin, moment tadi sangat berarti. Senyumnya merekah saat otaknya memutar wajah Nia. Hatinya berbunga bunga dan perutnya geli seperti ada kupu kupu yang melayang.

Netranya tertuju pada kemeja yang ia pinjamkan pada Nia. Hidungnya mengempis saat menghirup aroma manis yang menguar pada kemejanya. Tangannya meremat kuat sambil membayangkan paras gadis semanis madu itu.

"Tunggu." Matanya terbuka lebar saat ia sadar dengan apa yang ia lakukan sekarang. Refleks tangannya melempar kemeja itu ke lantai. Rona merah menghiasi pipi putihnya.

"Mesum! Kau laki laki mesum Kevin!," hardiknya pada diri sendiri.

Ia merutuki dirinya yang terlihat seperti orang mesum. Dan lagi tadi ia hampir mencium Nia. Entah apa yang akan dipikirkan Nia. Mungkin gadis itu akan semakin ilfeel pada Kevin. Sepertinya ayam geprek tadi membuat otaknya rusak. Atau memang dirinya saja yang tak bisa mengendalikan diri.

#

.

.

.

Kelas masih kosong, hanya ada Nia di dalam kelas. Ia memilih berangkat lebih pagi daripada melihat pertengkaran orang tuanya. Kepalanya menelungkup pada kedua tangannya. Matanya menatap lurus jendela.

"Hah." Ia menghela napas bosan. Tak ada hal menarik baik di rumah maupun sekolah. Matanya terpejam membayangkan hidupnya yang berubah 360 derajat. Andai orang tuanya tidak bertengkar, menyayanginya sepenuh hati, mempunyai banyak teman, dan pacar yang tampan.

"Tuk tuk. Hei hei. Nia..." dahinya berkerut saat mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke arah jendela. Ia memutar bola matanya saat tahu siapa yang memanggilnya.

"Apa?"

"Boleh aku masuk?"

"Ck masuk saja!"

Pemuda berambut hitam itu duduk di samping Nia. Cengiran terpatri diwajahnya seperti orang gila. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Nia dan berkata, "ada yang mau ku berikan padamu. Temui aku di atap saat istirahat".

Refleks Nia mendorong bahu pemuda itu menjauh. Telinganya terasa geli saat napas Kevin menerpa kulitnya. "Mau kasih apa sih? Mencurigakan" ujarnya sambil menelisik wajah Kevin. Matanya menyipit mencari tahu hal apa yang akan diberikannya.

Kevin tersenyum tipis dan beranjak dari duduknya. "Kalo mau tahu, temui aku saat istirahat. Eh teman temanmu mulai datang, aku pergi dulu," pamitnya meninggalkan seribu pertanyaan di kepala Nia. Perkataan Kevin mencurigakan. Ia yakin tak sedekat itu sampai Kevin harus memberikan sesuatu untuknya.

Pelajaran berjalan seperti biasa. Guru menjelaskan topik hari ini, presentasi, dan tanya jawab, yang membedakan ia tidak seaktif biasanya. Matanya menatap kosong papan tulis. Pikirannya terisi penuh oleh orang tuanya dan Kevin. Iya, Kevin, pemuda yang akhir akhir ini mengganggunya. Ia berpikir siasat apa yang direncakannya dan bagaimana cara menjauhkan diri dari pemuda itu.

"Saatnya istirahat. Saatnya istirahat." Nia terperanjat saat bel istirahat berbunyi. Sepertinya ia melamun terlalu lama. Tanpa pikir panjang ia melangkahkan kakinya ke atap sekolah.

Sampainya di atap, ia tak melihat siapapun. Angin berhembus kencang menerbangkan rambut ekor kudanya. Ia berjalan sampai pagar pembatas. Dibawah sana banyak murid SMA 1 Jakarta. Ada yang tertawa bersama teman temannya, main bola, dan makan sambil berteduh di pohon, mereka nampak... bahagia, tidak sepertinya.

"Apa yang kau lihat?" Telinganya mendengar seseorang berdiri di belakangnya. Ia membalikkkan tubuhnya dan menatap jengah pemuda di depannya.

"Lama sekali. Cepat, apa yang mau kau berikan?" Nia menggerutu tak sabar. Bibirnya mengerucut lucu, ah ini membuat Kevin gemas, ingin rasanya pemuda itu mencubit pipi Nia. Kevin menyodorkan plastik berisi makanan dan seragam. Alis Nia terangkat sebelah, tak paham maksudnya, meski ia tetap menerimanya.

"Seragam untukmu. Aku tahu seragammu dibuang Mela. Dan ini makanan untukmu. Aku malas makan di kantin. Disana banyak perempuan centil," terangnya yang membuat Nia tertegun. Entah Kevin punya niat apa, tapi sikap Kevin membuatnya terharu.

"Terimakasih. Tapi tanpa kau beri pun, aku akan beli seragam baru. Kau tau, aku termasuk orang kaya. Jangan kau kira aku tak mampu beli seragam baru" katanya ketus. Mungkin ia terdengar sombong, tapi sebenarnya ia hanya menutupi rasa harunya. Ia tidak mau Kevin berpikir ia menyukainya atau apapun itu.

Pemuda itu senyum kecil, ia tahu Nia benar benar berterimakasih padanya. Hatinya menghangat saat melihat Nia makan dengan lahap mie ayam yang ia berikan. Nia jauh lebih menarik dari semua wanita yang selama ini mengejarnya.

Tangannya terlulur membersihkan sisa makanan yang menempel di sudut bibir Nia. Sontak Nia terkejut dan membersihkan bibirnya sendiri. Ia memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona di pipi.

"Haha ternyata kau seperti anak kecil yah," ledek Kevin. Senyum jahil nampak di wajah tampannya.

"Apa kau bilang?" sergah Nia tak terima diejek Kevin. Senyum Kevin semakin mengembang melihat reaksi Nia.

"Kau seperti anak kecil. Makan saja belepotan," cemooh pemuda jangkung itu.

Dalam hati ia tertawa saat hidung Nia kembang kempis. Namun sedetik kemudian ia menyesal sudah mengejek gadis caramel itu.

"Aaaa ampun! S-sakit!" rintihnya saat tangan kuat Nia menjambak rambutnya. Tidak, jangan rambut, butuh waktu lama menata rambutku, mohonnya dalam hati. Kevin memang menyayangi rambutnya. Ia stiap hari memakai sampo dan vitamin rambut, juga menatanya dengan pomade.

"Tidak ada ampun untukmu!" ucapnya penuh penekanan. Tangannya semakin mencengkram rambut pemuda mancung itu. Yang dicengram hanya bisa pasrah dan mengaduh kesakitan. Ini menjadi pelajaran untuknya, jangan sekali kali mengejek Nia, ia menyeramkan.

avataravatar
Next chapter