2 Pencarian

"Siapa saja yang mengetahui tentang perasaanku kepada Keenan? Hm, tidak banyak. Hanya Tuhan, aku, dan diary ku ini. Walau, terkadang orang-orang di sekitar kami seringkali berkata bahwa mereka bisa membaca perasaanku kepada Keenan seperti buku. Namun, aku selalu mengelak. Selama pernyataan tersebut tidak keluar dari mulutku, aku anggap tidak ada yang mengetahui perasaanku kepada Keenan. Aku sangat menjaga rahasia ini. Aku tidak ingin Keenan tau lalu menjauhiku. Karena berada bersamanya adalah sebuah anugerah yang tidak ingin aku lepaskan. Aku akan tetap diam jika diamku dapat membuahkan hasil, untuk terus bersama dengan Keenan."

~

"Wanda, kamu mau ke mana??" tanya Mama yang melihat Wanda terburu-buru keluar rumah dengan ranselnya.

"Ma, mobil yang angkut kotak donasi buku kita di mana??" tanya Wanda dengan panik tanpa menjawab pertanyaan Mamanya.

"Tadi Mba Septa kasih kotaknya dia langsung pergi katanya sih harus ambil dari tempat lain. Emang kenapa?" tanya Mama.

"Aduh, itu isinya ada barang berharga Wanda, Ma. Wanda sekarang ke TK Seribu Harapan ya, Ma, kalau gitu," kata Wanda.

"Gak. Gak ada. Sekarang mending kamu masuk ke mobil kita langsung berangkat ke rumah baru. Lagian kan truknya juga gak langsung ke TK Seribu Harapan kali, pasti keliling dulu. Besok aja ambil barangnya udah," kata Mama yang sudah setengah marah dengan Wanda yang dari tadi menghambat proses pindahan mereka.

"Emang barang apa sih, Wan? Mau gua aja yang ambilin?" tanya Keenan yang daritadi menguping perbincangan Wanda dengan Mamanya.

"Hah? Eng-enggak apa-apa kok. Besok aja gua ambilnya santai. Gak gitu penting kok," jawab Wanda mengelak karena ia tidak ingin Keenan yang nanti menemukan buku diary nya itu.

"Lu belom jawab gua loh, barang apa sih yang hilang?" tanya Keenan yang ternyata masih penasaran.

"Itu, barang yang gua punya dulu. Ehm dari gua bayi. Itu loh, boneka yang dikasih nenek gua!" kata Wanda berbohong karena ia tidak ingin Keenan mengetahui ia menulis diary. Di pikiran Wanda kalau Keenan tau, Keenan pasti maksa mau baca!

"Ohh, yaudah kalau gitu besok gua temenin lu ke TK Seribu Kasih cari boneka lu itu," kata Keenan menawarkan bantuan, seperti yang biasa ia lakukan.

"Gak usah! Gua bisa sendiri kok. Lagian emang besok lu gak kerja? Kalau gua kan ada Shelly yang jaga toko jadi bisa," Wanda mencoba mencari alasan agar Keenan tidak ikut.

"Yaudah, yaudah. Kalau emang lu segitunya gak pengen gua temenin, yaudah deh," kata Keenan meledek Wanda.

"Gak gitu, bro! Kan gue pikirin kerjaan lu juga," kata Wanda yang dibalas Keenan dengan anggukan sambil memutarkan bola matanya.

Setelah percakapan singkat itu, Wanda ditemani Mamanya, Mba Septa, dan juga Keenan menyusul Papanya dan adiknya, Winnie. Mereka pun sibuk memindahkan barang dari mobil dan truk pindahan ke dalam rumah baru mereka. Setelah itu mereka sekeluarga tertidur kelelahan, kecuali Wanda. Wanda tidak bisa tidur karena memikirkan keberadaan diary nya itu. Wanda mencoba membalik-balikan badannya untuk mencari posisi yang enak untuk tidur.

-

"KRINGG!!" alarm dari handphone Wanda membangunkan Wanda yang baru berhasil menikmati tidur selama 5 jam. Wanda melihat handphone nya dan melihat bahwa jam menunjukkan pukul 8.00 WIB, ia pun langsung bergegas mandi dan mengambil tas, dompet, handphone, dan botol minumnya. Wanda sangat terburu-buru dan ia hanya melewati orangtuanya yang menawarkan sarapan padanya. Wanda langsung memesan ojek online dan menuju TK Seribu Harapan. Sepanjang jalan, Wanda menerima beberapa pesan dari Keenan.

"Pagi banget udah pergi, ke mana lu?"

"Oh, gua tau ke TK Seribu Harapan ya?"

"Naik apa lu ke sana? Kabarin ya kalau udah sampe"

Kira-kira begitulah isi pesan Keenan kepada Wanda yang tak dibalas Wanda karena Wanda tidak sempat melihat handphonenya saat perjalanan dengan ojek online menuju TK Seribu Harapan. Sesampainya di TK Seribu Harapan, Wanda langsung menghampiri guru yang pertama kali ia liat di sana. Tidak banyak ruangan dan guru di TK Seribu Harapan. Kira-kira TK Seribu Harapan hanya memiliki 3 ruangan dan 2 toilet berserta 3 guru tetap. "Permisi, Bu, perkenalkan saya Wanda. Saya mau nanya, Bu, kira-kira Ibu tau gak ya buku-buku yang dari hasil donasi itu taronya di mana, Bu?" tanya Wanda.

"Oh, kalau buku yang dari donasi kita selalu susun di perpustakaan di situ. Emang ada apa ya?" tanya Ibu Glinda, guru yang ditanya oleh Wanda.

"Oh begitu, aku boleh lihat gak ya, Bu? Jadi kemarin aku ada donasi buku, tapi aku salah masukin buku. Aku masukinnya malah buku yang aku lagi butuh dan pake banget buat tugas aku," jelas Wanda.

"Boleh kok. Kebetulan kalau buku yang baru kemarin dikirim kita susunnya di rak yang sebelah kanan, sini Ibu tunjukkin aja," kata Bu Glinda mengantar Wanda ke salah satu ruangan yang ternyata adalah perpustakaan yang dimaksud Bu Glinda.

"Di sini kalau buku yang baru datang kemarin. Silakan diperiksa aja," kata Bu Glinda sambil menunjuk rak buku di bagian kanan perpustakaan. Wanda pun langsung memeriksa rak yang ditunjuk Ibu Glinda. Hasilnya nihil. "Ibu yakin ini bukunya semuanya disusun di rak yang ini? Kalau aku cek rak lain boleh, Bu?" tanya Wanda. Ibu Glinda pun langsung membolehkan Wanda memeriksa rak lain karena kasian melihat Wanda sangat panik. Wanda mencari ke semua rak yang ada, tapi tetap saja hasilnya nihil. "Bu apakah ada kemungkinan anak-anak meminjam bukunya, Bu?" tanya Wanda yang sudah mulai frustasi mencari diarynya. "Kalau anak-anak sih baru tadi pagi kelas TK B kunjungan ke perpustakaan karena baru dapet buku baru," jawab Bu Glinda yang langsung dipotong dengan pertanyaan Wanda, "aku boleh nanya ke anak-anak kelas TK B itu Bu?"

"Mari saya antar," kata Bu Glinda yang ikut gelisah karena melihat Wanda mulai frustasi.

"Anak-anak, kenalin ini Kak Wanda. Bilang apa anak-anak," kata Bu Glinda sesampai di kelas TK B.

"Hallo, Kak Wanda," kata para murid secara serentak. Sapaan yang kesannya sepele itu berhasil menenangkan hati Wanda sedikit. Wanda sangat menyukai anak-anak sehingga sangat mudah anak-anak membuatnya senang.

"Kak Wanda di sini mau bertanya tadi pagi siapa saja yang meminjam buku di perpustakaan boleh angkat tangannya," kata Wanda sambil tersenyum. Sekitar lima anak mengangkat tangan mereka.

"Yang tadi angkat tanga, sekarang boleh angkat bukunya. Kak Wanda pengen lihat kalian pinjem buku apa sih," kata Wanda sekali lagi. Kelima anak yang tadi mengangkat tangannya pun mengangkat buku mereka. Wanda memerhatikan setiap buku yang diangkat. Tidak ada buku yang berwarna hijau. Tidak ada diary Wanda di sekolah itu.

"Terima kasih, anak-anak! Udah boleh turunin kok bukunya. Yang lain jangan lupa sering-sering membaca juga yaa," kata Wanda dengan senyuman yang hangat walau di dalam hatinya ia sangat kacau.

"Bagaimana? Bukunya ada?" tanya Bu Glinda memastikan. "Gak ada, Bu. Kira-kira saya bisa cari di mana lagi ya, Bu? Saya bingung banget," jawab Wanda. Belum sempat menjawab pertanyaan Wanda, seorang anak mengangkat suaranya, "Kak Wanda mau ngajar kita ya hari ini gantiin Kak Peter?". Wanda terkejut dengan perkataan anak tersebut. Wanda pun bertanya kepada anak yang tadi mengajukan pertanyaan kepadanya, "memang Kak Peter ke mana? Kok harus digantiin?". "Gak tau, Kak. Kita udah nunggu setengah jam tapi Kak Peter belum ada," jawab anak yang tadi bertanya kepada Wanda.

"Peter itu salah satu sukarelawan di sini. Biasanya dia setiap hari Rabu dan Jumat jam 09.00 sampai jam 10.00 ngajar prakarya di sini. Tapi, enggak tau juga ini kenapa dia belum dateng," kata Bu Glinda menjelaskan kepada Wanda. Wanda merasa iba melihat anak-anak yang semangat belajar tanpa kehadiran gurunya. Rasa iba Wanda mengalahi rasa paniknya. Wanda pun mengangguk dan berkata, "kalau aku gantiin Kak Peter untuk hari ini gak apa-apa gak, Bu?" Bu Glinda terkejut mendengar pertanyaan Wanda. "Kamu gak apa-apa? Kalau kamu memang sukarela gantiin Peter untuk saat ini, saya sangat senang hati membolehkan sih," jawab Bu Glinda dengan penuh semangat. "Iya, Bu. Gak apa-apa. Kebetulan saya juga suka sama anak-anak. Saya juga lumayan bisa prakarya kok, Bu, kebetulan hehe," jawab Wanda.

"Anak-anak, kelas Ibu serahkan ke Kak Wanda ya! Terima kasih Wanda. Ibu harus ke kelas TK A sekarang. Ibu tinggal dulu ya," kata Bu Glinda kepada anak-anak dan Wanda lalu ia segera meninggalkan kelas.

"Oke, anak-anak, Kakak boleh tau kemarin sampai mana kelas prakaryanya?" tanya Wanda kepada seluruh kelas.

"Ini kak," kata seorang anak perempuan yang ada di paling depan kelas.

"Ohh, kalian lagi belajar mozaik ya? Apakah ada yang bawa kertas origami? Kita lanjutin mozaik kalian ya," kata Wanda.

"Kak biasanya yang bawa origaminya Kak Peter," jawab seorang anak laki-laki yang duduk di sebelah kiri ruangan.

"Waduh, hmmm, kalau gitu..," perkataan Wanda dipotong oleh kehadiran seorang laki-laki yang terlihat sedang terengah-engah karena habis berlari. "Anak-anak maaf banget ya kakak telat," kata laki-laki itu kepada anak-anak dengan masih terengah-engah.

"Gak apa-apa kak, udah digantiin Kak Wanda kok," jawab anak perempuan yang duduk di depan kelas. Pandangan laki-laki tersebut tertuju kepada Wanda yang sedang kebingungan. "Lu ngajar di sini?" tanya laki-laki itu kepada Wanda. Perkataan laki-laki itu langsung dibalas oleh anak-anak, "Lu? Apa itu 'lu'?". "Eh maksud saya, kamu ngajar di sini?" kata Peter memperbaiki kata-katanya. "Iya, kebetulan yang harusnya ngajar belum datang. Kamu siapa ya?" tanya Wanda kebingungan. "Oh iya, saya yang seharusnya ngajar di sini. Kenalin, saya Peter," kata Peter sambil mengulurkan tangannya. "OH! Kamu Peter yang seharusnya ngajar di sini. Aku Wanda, tadi mendadak jadi guru pengganti jadi gantiin aja deh. Sorry-sorry. Silakan mengajar Pak Guru," balas Wanda sambil menyalami tangan Peter yang ia ulurkan tadi. "Eh gak apa-apa. Lanjutin aja ngajarnya. Btw, ini origaminya," kata Peter sambil meletakkan origami yang sudah ia potong untuk prakarya anak-anak. Peter kemudian duduk di bangku kosong yang terletak di depan kelas sambil mempersilakan Wanda untuk mengajar kelas dalam waktu yang tersisa. Peter hanya tersenyum melihat Wanda yang ternyata handal dalam mengajar kelas.

-

"Kenapa senyam-senyum daritadi. Naksir ya?" ledek Wanda kepada Peter setelah semua murid keluar dari kelas.

"Geer banget lu. Gua daritadi senyum karena seneng aja bisa lihat ada orang baru yang sukarela ngajar di sini. Jarang banget loh. Ditambah lagi lu jago ngajar pula. Sekolah ini butuh banget pengajar lagi. Ngomong-ngomong lu tau tempat ini darimana?" kata Peter mengklarifikasi senyumannya itu.

"Makasih loh dipuji. Tadinya tuh gua ke sini bukan buat ngajar. Gua tuh nyari buku gua yang hilang. Jadi kemaren gua donasi buku ke sekolah ini, tapi ternyata ada buku penting gua yang ikut masuk ke kotak donasi. Jadi gua pagi-pagi banget ke sini deh. Terus pas tau ini kelas gak ada yang ngajar, gua jadi tertarik ngajar. Lagian gua juga suka banget sama anak-anak," balas Wanda.

"Bukunya udah ketemu?" tanya Peter.

"Belum sih. Gua juga bingung mau cari bukunya di mana lagi. Gua udah cari di perpustakaan dan di kelas ini tapi gak ada juga," jawab Wanda.

"Emang bukunya kayak gimana sih? Dan emang kenapa penting banget tuh buku buat lu?" tanya Peter penasaran.

"Buku itu penting karena itu buku gua tulis dari sejak lama banget. Bukunya warna hijau gitu," jawab Wanda.

"Sebentar," kata Peter yang langsung membuka tasnya dan mencari sesuatu dari tasnya. "Kayak gini?" tanya Peter mengeluarkan buku hijau dari tasnya. Wanda melihat buku yang baru saja Peter keluarkan dari tasnya. Matanya langsung membesar dan ia pun tanpa sengaja berteriak, "IYA! ITU BUKU GUA!"

avataravatar
Next chapter