webnovel

1 1

Ray geleng kepala. Sedikit gemas sedikit kesal, banyak mulai marah. Ray tetap duduk dengan pandangan lurus kearah papan tulis, Ray tak bisa memahami apa yang membuat Tantia begitu yakin kalau Ray adalah pelakunya.

Lagian Ray juga baru tahu kalau yang tertulis dipapan tulis itu adalah nama ayah Tantia, demi Tuhan Ray baru tahu itu, hingga Ray lumayan tersinggung dituduh kurang ajar dan tak punya sopan santun.

" Ngapaian tulis nama ayah aku ".

" Tapi Tan, aku.. ".

" Apa hebatmu ?".

Mata Tantia bulat memandang wajah Ray yang serba salah. Ray udah kehabisan kamus untuk menjelaskan kalau dia bukan pelaku yang menulis nama ayah Tantia di papan tulis. Tapi dasar Tantia, sebanyak Ray bicara maka 10 kali lipat Tantia menjawab. Ray sangat pusing dibuatnya.

" Bukan aku Tan ".

" Apa ?. siapa ?".

Ray geleng kepala. Tantia yang sekarang berkacak pinggang seakan menantang Ray, muka Tantia merah menahan marah, bibirnya saling pagut satu sama lainnya. Ray akhirnya tersenyum tipis.

" Ngapaian senyum ?".

Ray kembali senyum tipis. " Sebenarnya kamu cantik Tan ".

Muka Tantia makin merah, Ray masih saja tersenyum simpul, wajah yang cantik kaya' Tantia mestinya lembut dan bicaranya pelan, Ray baru tahu kalau yang cantik ada yang cerewet kelas kakap kaya' begini. Lagian Ray merasa aneh aja, masa Cuma gara-gara nama ayahnya saja amukannya sampai parah begitu.

" Kamu.. Huh ".

Tantia hempaskan kakinya dan langsung pergi meninggalkan Ray yang masih duduk dengan meraba raba dagunya sendiri.

" Kenapa Ray ".

Kepala Ray berputar nyaris 180° menghadap kearah Bastian yang menegurnya. Ray kembali tatap papan tulis dan kini gantian bertanya-tanya siapa yang tulis nama ayah Tantia dipapan tulis ruang kelasnya itu. Bastian duduk disamping Ray.

" Kena semprot ya ?".

" Siapa yang nulis itu Bas ?.

Bastian hanya tertawa kecil dan menepuk-nepuk bahu Ray dengan perlahan-lahan, Ray hanya pandangi saja wajah Bastian dan sama sekali tak berusaha membalas senyum Bastian yang terus saja diumbar kearah Ray.

" Tahu Bas ?".

" Masa kamu ngga' tahu ?".

" Siapa ?".

" Masa kamu ngga' bisa cerna tulisan siapa itu. Kamu ingat-ingat aja dulu ".

Senyum Bastian terasa asing dimata Ray, tapi Ray tetap menggeleng, benar memang, Ray sama sekali ngga' tahu siapa pelakunya. Ray malah ngga' tahu kalau itu nama ayah Tantia, bagaimana ia bisa menjadi pelakunya.

" Kamu ?".

" Aku ?. Ngga' ach ".

" Lantas siapa ?".

Bastian masih aja tersenyum tipis. Yang ada diotak Bastian, bagaimana Tantia bisa begitu yakin kalau pelakunya adalah Ray, sedang Ray sama sekali ngga' tahu apa-apa soal itu.

" Kenapa Tantia yakin kamu yang buat ?".

" Aku juga bingung ".

" Tantia kaya'nya yakin benar ".

" Heran. Aku malah baru tahu kalau itu nama ayahnya ".

Bastian kembali tertawa kecil. Bastian berdiri dan kusuk bahu Ray dengan perlahan-lahan, Ray menggeliat, bukan enak, malah membuat bulu kuduk Ray merinding dibuatnya.

Bastian lepaskan kusukannya dan kembali duduk disamping Ray yang terus memandang kearah papan tulis yang bertuliskan nama ayah Tantia besar-besar.

" Mau tau juga Ray ?".

" Iya.. siapa ?".

Bastian mengucek kepala Ray. " Deni ".

" Deni ?".

Bastian tersenyum simpul dan anggukkan kepala. Ray hanya bisa buang nafas berat, Ray yakin dengan apa yang dikatakan Bastian, setahu Ray Bastian tidak pernah sekalipun berbohong padanya.

" Aku tadi lihat sendiri ia yang tulis itu ".

" Kok bisa ia tahu nama ayah Tantia ".

" Kalau itu aku ngga' tahu ".

Ray buang nafas berat. Si bandel Deni memang punya tulisan yang lumayan mirip dengan tulisan Ray. Jika dilihat sepintas, memang tulisan Ray dan Deni hampir sama.

" Ke kantin Ray ".

" Duluan aja Bas ".

Bastian kembali tepuk bahu Ray dan beranjak keluar ruangan. Begitu bastian hilang di pintu, Ray juga akhirnya pilih keluar ruangan, dan tujuan Ray adalah Pustaka. Ray langsung menuju bagian IPS.

Walau Ray dipastikan saat kelas III nanti jurusan IPA, tapi Ray justru lebih suka membaca buku-buku IPS, terutama Sejarah, Sosiologi dan Antropologi yang bagi Ray punya banyak hal yang mampu membuat Ray jadi banyak tahu.

" Ray.. ".

Ray menoleh. " Dina… ngapaian ?".

" Mau cari bahan buat makalah ".

" Makalah apaan ?".

" Ya.. makalah ".

" PR ?".

Dina anggukkan kepala. " Tugas dari Pak Marhan tuh. Tiap minggu buat makalah terus, lama-lama bisa mati-mati buat makalah nanti jadinya ".

" Masa sampe Mati ?".

" Iyalah, otak diperas terus ".

Ray hanya tertawa kecil melihat aroma kesal diwajah Dina yang tampak sudah masuk keklasifikasi tingkat tinggi, Ray ambil kursi, duduk dan mulai membaca walau telinga Ray terus sedikit terganggu dengan omelan Dina yang sudah duduk didepannya.

... Bersambung ...

Next chapter