7 7. Siapa Diara?

"Di sini aja," ucap Dirga tiba-tiba.

Diara menghentikan mobil. 'Memang di mana hotelnya?', batinnya bertanya-tanya. Kedua matanya menoleh ke sisi kanan kiri. Dirga memintanya menghentikan kendaraan di depan kios-kios yang berjajar di pinggiran jalan raya, dan anehnya setelah turun Dirga hanya berdiri di samping tiang lampu jalanan.

"Yakin enggak mau aku anterin sampai ke hotel?" tawar Diara.

"Enggak usah. Dari sini aku naik taksi aja," tolak Dirga.

"Ya udah, nanti sepulang dari kantor aku telpon kamu. Bye!" Diara melambaikan tangan.

Dirga membalasnya. Diara bisa melihat itu dari kaca spion. "Mungkin dia masih malu-malu," gumamnya. "Tidak aneh, 'kan. Lelaki pun tidak ingin selalu dikuntit oleh perempuan," sambungnya, menyadari mungkin Dirga belum bisa bersikap akrab dengannya.

Mobil memasuki area parkir. Diara menuju tempat yang biasa dia gunakan. Akan tetapi, Diara terkejut ketika melihat ada mobil yang sudah terparkir di sana. Seseorang keluar, berjalan dengan santai.

"Kenan?" gumam Diara. Ditekannya klakson berkali-kali.

Kenan berputar ke arah Diara. "Kenapa?" tanyanya.

Diara yang merasa sebal melihat tingkah sok polosnya, akhirnya keluar dari mobil dan menghampiri Kenan. "Pindahin mobil kamu!" perintah Diara.

Kenan menoleh ka arah mobil minivan putih miliknya. "Itu kosong. Makanya aku parkir di sana," ujarnya tenang.

"Itu tempatku. Selama bertahun-tahun, aku selalu memarkir mobil di sana. Dan semua penghuni kantor tau itu!"

Kenan berdecak. "Sayangnya aku tidak tau." Kemudian pergi meninggalkan kekesalan Diara.

Diara mengembuskan napas. Berusaha meredam amarahnya. "Masih pagi. Jangan rusak harimu, Di," bisiknya menenangkan diri. Akhirnya Diara memilih masuk kembali ke dalam mobil. Memarkirkannya di sebelah mobil Kenan.

.

"Makan siang di mana?" Saskia berdiri di samping Diara yang sedang membereskan meja.

"Terserah," sahut Diara. Setelah mejanya rapi, dia berdiri. Dari arah kanannya, Sagara berjalan dengan langkah tegap seperti biasa. Anehnya, lelaki itu melangkah terus tanpa menoleh atau berhenti seperti biasa. Diara berpaling ke arah Saskia. Temannya itu tertunduk dengan pandangan ke sana ke mari. "Ayo!" ajaknya tanpa mau memikirkan keganjilan sikap Sagara.

"Kantin?" tanya Saskia.

"OK," sahut Diara.

Sagara masuk ke dalam lift. Dia menekan tombol close. Dengan cepat Diara menekan tombol open. Akhirnya pintu terbuka kembali.

"Masuk," ajak Diara.

"Ah, entar aja," tolak Saskia.

"Kenapa?" Diara terheran.

Saskia menggelengkan kepala. Sepertinya dia mengalami phobia, jika melihat lift dan Sagara berada di dalamnya. Diara yang merasa kesal tak peduli ketakutan Saskia, dia menarik paksa tangan perempuan itu.

Sagara menggeser langkah. Diara berdiri di tengah, dan Saskia berdiri merapatkan diri ke sisi lain. Pintu lift pun tertutup.

"Kenapa ... rasanya beda, ya?" celetuk Diara.

Sagara hanya berdehem.

"Sas, berasa adem enggak, sih?" celetuk Diara lagi. Tentu saja dia sedang menyindir Sagara.

"Adem apanya?" Saskia bertanya tak mengerti.

"Ckckck, lo enggak pernah belajar Bahasa Indonesia. Tentang kiasan, peribahasa, atau kalimat satire gitu?"

Saskia semakin tak mengerti. Sedang Sagara, tentu saja dia paham jika Diara sedang menyindirnya. Namun, hari ini entah kenapa dia memang sedang tidak memiliki hasrat untuk bertengkar dengan Diara.

Hingga pintu lift terbuka, Sagara melangkah lebih dulu mendahului dua perempuan yang bersamanya tadi.

Tiba di kantin, Diara dan Saskia memilih meja bagian tengah. Karena hanya berdua, meja dengan dua kursi pun cukup.

Sagara duduk di meja samping Diara. Lelaki itu sudah membawa makan siangnya.

"Gue yang ambil, deh. Lo mau makan apa?" tanya Saskia.

"Nasi sama soto. Mm, minumnya teh manis dingin aja," sahut Diara.

"OK." Saskia berdiri, pergi menuju meja makanan.

Diara menatap Sagara. Hatinya terus bertanya-tanya akan kediaman lelaki itu.

"Sendirian?" Kenan tiba-tiba sudah duduk di depan Sagara.

"Yang lain makan di luar," jawab Sagara.

"Oh," timpal Kenan, kemudian mulai menikmati makan siangnya.

'Aneh, tidak biasanya Sagara makan siang di kantin?', batin Diara.

Saskia datang membawa nampan. "Mari makan," ujarnya sambil meletakkan piring milik Diara dan piring miliknya.

Saat Diara hendak meraih sendok, ponsel dalam tasnya berdering. "Siapa sih, ganggu waktu makan aja," ucapnya kesal.

"Siapa?" tanya Saskia, melihat Diara menatap ponselnya dengan alis bertaut.

"Kak Devan," sahut Diara. Kemudian menempelkan ponselnya ke samping telinga. "Halo, Kak," sapanya ragu, mengingat di Kanada saat ini sedang tengah malam.

"Diara, kamu udah ketemu Dirga?" tanya Devan cepat.

"Udah. Semalem aku ...." Diara melirik ke meja sebelah. "Semalam aku jemput Mas Dirga. Malah, dia nginep di rumah. Kayaknya dia kurang enak badan gitu. Aku takut dia kenapa-napa makanya aku ajak pulang," ujar Diara dengan nada lebih keras. Sengaja, agar dua lelaki di sebelahnya mendengar itu semua.

"Oh, begitu." Devan berkata seperti belum percaya. "Lagi ngapain?" sambungnya.

"Makan siang di kantin," jawab Diara.

Devan terdiam lagi.

Diara yang merasa aneh dengan sikap kakaknya, bertanya heran. "Apa ada masalah?"

"Oh, enggak. Kakak cuma merasa lega. Hm, kalau ada apa-apa hubungi Kakak."

"OK." Diara menyahut pendek.

"Bye."

"Bye." Diara menyimpan ponsel di atas meja setelah yakin sambungan terputus.

"Kakak lo?" tanya Saskia.

"Iya."

"Terus, Mas Dirga itu siapa?" Saskia bertanya lagi.

"Oh, Dirga. Dia ... pacar gue," sahut Diara dengan nada sombong.

"Serius? Dia udah ada di Indonesia?" Saskia berkata tak percaya.

"Udah. Tapi cuma beberapa hari, sih. Minggu depan dia balik lagi ke London."

"Jadi selama ini kalian LDR-an?"

Diara mengangguk. "Jadi selama ini bukannya gue jomlo atau enggak laku, ya. Gue punya pacar, tapi kerjanya jauh," ujarnya dengan sengaja menekan setiap kata.

"Kuat banget lo pacaran jarak jauh." Saskia masih terus memuji Diara. Karena bagaimana pun dia juga merasa senang mendengarnya. Itu artinya Sagara dan Kenan tidak akan bertanya lagi tentang siapa pacar Diara.

"Kuncinya saling percaya aja. Udah, makan dulu. Nanti ngobrol lagi," tandas Diara.

Sementara itu, Sagara yang mendengar dengan jelas semuanya, berusaha mati-matian menahan rasa cemburunya. Sedang Kenan, mulai menyusun strategi untuk menjatuhkan Diara kembali.

.

Pukul 04 : 00 pm, waktu yang tertera di layar jam digitalnya. Diara bernapas lega. Dibereskannya barang-barang di atas meja.

"Mbak Diara, aku pulang duluan," pamit Gina.

"Ya," sahut Diara.

"Bandan, aku pulang duluan. Selamat libur panjang!" seru Gina sambil berlalu.

"Ya. Kamu juga," sahut Bandan.

Diara menoleh ke arah Bandan. "Ini hari Kamis, 'kan?"

"Iya. Besok 'kan tanggal merah, Mbak," terang Bandan.

"Libur?" Diara terheran. 'Bagus. Ada waktu buat mengobrol sama Mas Dirga,' batinnya. Kemudian berdiri, meraih tasnya. Berjalan menuju arah lift dengan senyum simpul di wajahnya.

Bandan yang melihatnya, termangu seketika. Tidak biasanya atasannya itu menampakkan wajah bahagia.

Diara masuk ke dalam lift, disusul Bandan lalu tiga orang karyawan lain.

Seperti biasa, Diara berdiri paling depan. Sebuah ide muncul di kepalanya. Dirogohnya ponsel dalam tas.

"Aku udah beres kerja. Bisa kita ketemu?" tulisnya. Sayang, nomor Dirga tidak sedang aktif. Bahkan waktu online-nya pun sekitar lima belas menit lalu. Diara berpikir, mungkin dia sedang sibuk atau tidur siang. Dimasukkannya lagi ponsel dalam tas.

Bandan menyipitkan mata. Secara tak sengaja dia membaca pesan yang Diara tulis. Entah kenapa, rasa panas tiba-tiba muncul seketika. Bandan merasa hatinya tertusuk duri kecil yang tajam.

Lift terbuka. Diara melangkah tenang seperti biasa menuju parkiran. Bandan masih memperhatikannya. Terbersit keinginannya untuk bertanya atau mungkin mengobrol sebentar. Namun ....

'Ah, sudahlah,' batinnya. Bandan pun melanjutkan langkahnya.

Diara sudah sampai di area parkir tujuannya. Akan tetapi, ada sesuatu tak wajar yang terjadi pada mobilnya. "Kenapa bisa kempes? Tadi pagi enggak kenapa-napa," ucapnya terheran. Ditatapnya ban mobil depan sebelah kanan. "Ah, gimana ini?"

"Kenapa Mbak?" Seorang lelaki berpakaian security menghampiri.

"Oh, ini. Ban mobil saya kempes," jawab Diara.

"Mbak bawa ban serep?" tanyanya.

"Ada," sahut Diara lagi.

"Biar saya bantu ganti," tawarnya.

Awalnya Diara merasa ragu, tapi mengingat ini sudah sore, juga sedang terburu-buru. "Boleh kalau tidak merepotkan," ujar Diara. "Mas, security baru?" sambungnya.

Lelaki itu hanya mengangguk.

.

Dirga menghentikan motor. Teringat akan sesuatu. "Ke mana aku harus menemui dia?" gumamnya. Dilihatnya pesan dari Diara, belum ada yang baru. Waktu aktifnya pun tak lama setelah dia mengirim pesan terakhirnya. "Apa aku telpon aja?"

Dirga menekan gambar gagang telepon. Tak lama Diara mengangkatnya. "Halo, Mas Dirga. Maaf, aku masih di kantor. Ban mobil aku kempes. Aku ... mau ngapain kamu? Hei, lepasin. Mau ngapain kamu? Lepas!"

"Halo, Diara! Diara! Ah, mati." Dirga menatap layar ponselnya. Ditekannya lagi gagang telepon, tapi tak ada jawaban. Tanpa berpikir lama, Dirga melajukan kembali motornya.

Di lain tempat, Diara sedang ketakutan melawan lelaki yang sempat dia kira orang baik. Ponselnya direbut, lalu dijatuhkan begitu saja. Diara melangkah mundur karena security itu terus mendekat.  Hingga dirinya terpojok di sudut area parkir. "Siapa kamu?!" teriak Diara.

Lelaki itu hanya tersenyum.

"Tolong! To ...." Bibir Diara dibekap.

Lelaki itu menggunakan tangannya yang lain untuk mendorong Diara, hingga tubuh belakangnya membentur tembok.

"Hei, lepasin!"

Lelaki itu menoleh, pun Diara.

"Bandan?" Diara merasa bersyukur karena ada seseorang yang menolongnya.

"Lepasin perempuan itu," ujar Bandan.

Lelaki berpakaian security melepas cekalan tangannya di tubuh Diara. Lalu berjalan ke arah Bandan.

Bandan memasang kuda-kuda, tapi lelaki itu malah tertawa melihatnya. Seketika Diara merasa putus asa kembali. Melihat Bandan berhadapan dengan lelaki yang lebih besar darinya, jelas itu bukan lawan seimbang. Akhirnya Diara kebingungan. Harus lari untuk meminta pertolongan atau membantu juniornya itu.

Hanya dalam hitungan detik, Bandan sudah menerima pukulan bertubi-tubi. Pelipis, rahang dan perutnya sudah menjadi sasaran. Bahkan mungkin Bandan kesulitan untuk menghindar. Akhirnya dia kewalahan, tenaganya habis hanya untuk menerima serangan dari lawannya.

Bandan jatuh. Terkapar.

Lelaki itu kembali menatap Diara, setelah berhasil mengalahkan Bandan.

"Jangan mendekat. Aku bilang jangan mendekat!" teriak Diara.

Percuma. Laki-laki itu terus melangkah. Diara berjongkok meraih tasnya yang terjatuh sejak tadi, untuk memukul si pria berpakaian security Yang ada belum juga sampai benda itu ke badannya, sudah lebih dulu ditepis lalu direbut dan dilempar lagi.

Diara ketakutan. Tubuhnya mulai bergetar. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Telapak tangannya pun sudah terasa lembab. Kedua matanya terpejam, ketika tangan si penjahat menarik kerah kemejanya. Menyebabkan kancing bagian atasnya terlepas.

"Diam memang lebih baik," desis si lelaki itu.

Diara diam. Bukan karena pasrah pada keadaan, tapi jika tubuhnya sudah mengalami respon seperti itu, Diara tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis.

Lelaki berpakaian security itu menatap wajah Diara dengan senyum jahatnya, kepalanya semakin mendekat ke arah Diara.

Bugh!

Dia terjatuh.

"Brengsek!" ucapnya kesal. Kemudian berdiri kembali dengan cepat. Tanpa ba bi bu dia mengarahkan kepalan tangannya.

Perkelahian kembali terjadi, namun kali ini sepertinya si penjahat mendapatkan lawan seimbang. Karena setiap pukulannya berhasil ditangkis, dan si lawan malah berbalik melayangkan pukulannya.

"Aku enggak suka ada laki-laki yang melecehkan perempuan di depanku," desis Dirga. Ya, Dirga. Beruntung lelaki itu datang tepat waktu. Jika terlambat satu detik saja, entah apa yang akan terjadi pada Diara.

Pertarungan semakin sengit. Lelaki berpakaian security merasa tak mampu melawan Dirga. Wajahnya sudah penuh memar, darah pun menetes dari sudut bibirnya yang robek. Dari pada harus terkapar di sini lalu berakhir di kantor polisi, lebih baik kabur selagi ada tenaga.

"Heh, lari ke mana lo!" teriak Dirga. "Pecundang," desisnya, melihat lelaki itu sudah berlari semakin jauh. Lalu, dia teringat pada Diara. Dirga berbalik. Diara duduk di atas paving blok, dengan kedua tangan menahan wajahnya. "Diara," panggilnya. "Kamu baik-baik aja, 'kan?"

Tak ada sahutan dari Diara, hanya ada suara tangisan dari bibirnya.

"Diara," panggil Dirga lagi. Ditariknya kedua tangan itu agar terlepas, lalu mengangkat wajahnya. "Diara, buka mata kamu. Ini aku, Dirga."

Diara membuka matanya perlahan. Ketakutan masih menyelimuti hatinya, tapi mulai berkurang setelah melihat sosok di depannya. "Mas Dirga, tolong aku," lirihnya.

Dirga menautkan alis. 'Kenapa bukan terima kasih?', pikirnya.

.

Dirga keluar dari klinik setelah memastikan para perawat berhasil menghubungi keluarga Bandan. Sedangkan Diara, dia menolak untuk diperiksa. Alih-alih tubuhnya tidak terluka sama sekali.

Dirga masuk ke dalam mobil. "Ini, minum dulu," ucapnya pada Diara.

Diara menggelengkan kepala.

Dirga membuka tutupnya, lalu menyodorkannya pada bibir Diara. "Minum. Pasti kamu merasa lebih baik."

Diara menoleh, menatap wajah Dirga. Lalu mengambil alih botol itu, dan meminumnya. "Terima kasih," ucapnya. Memberikannya kembali pada Dirga.

Dirga hanya mengangguk. "Aku antar kamu pulang," ujarnya. Beruntung dulu Dirga pernah belajar mengemudikan mobil, hingga tidak harus meminta Diara yang membawanya. Lagi pula, Dirga merasa kondisi Diara benar-benar sedang drop.

Sepanjang jalan Diara membisu. Dirga meliriknya sesekali. 'Kalau kondisinya seperti ini, tidak mungkin aku membicarakan kesalahpahaman itu,' pikirnya.

Dirga menghentikan mobil. Sebagai sopir ojeg, setidaknya dia tahu beberapa daerah. Dia ingat betul lingkungan rumah Anye karena pernah membawa penumpang melewati jalanan ini. Dirga turun, kemudian berjalan memutar ke arah pintu tempat Diara duduk.

"Sudah sampai," ucap Dirga.

Diara menoleh pelan. Kemudian mengedipkan mata.

Dirga merasa iba melihatnya. Jelas sekali jika Diara masih merasa shock atas kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu. Akhirnya Dirga membantu Diara turun, menarik kedua bahunya agar memutar ke arahnya.

"Diara!" pekik Anye ketika pintu sudah terbuka. "Apa yang terjadi?!" Kali ini dia menatap Dirga.

"Boleh aku bawa dulu dia ke kamar," pinta Dirga.

"Oh, ya." Anye mempersilakan Dirga untuk lewat. Lalu berjalan mendahuluinya, menunjukkan arah kamar Diara.

Dirga merebahkan tubuh Diara. Perempuan itu tidak tertidur, tapi sorot matanya tampak hampa dan kosong.

Anye menurunkan tubuh, kedua lututnya menekuk di atas lantai agar kepalanya bersejajar dengan wajah Diara. "Di, are you okay?" Dengan satu tangan mengusap wajah Diara. "Apa ini?" tanyanya terkejut, melihat satu kancing kemeja Diara tidak ada.

Dirga belum sanggup menjawab. Dia sendiri sedang dilanda kebingungan luar biasa.

Anye berdiri segera, menatap Dirga dengan kepala sedikit terangkat karena perbedaan tinggi tubuh. "Apa yang terjadi sama Diara?"

Dirga mendesah. "Ketika aku datang, ada seorang lelaki berpakaian satpam yang berusaha melecehkan Diara. Aku enggak tau kejadian sebelumnya seperti apa."

Anye menampakkan raut tak percaya. "Diara ... dilecehkan?" Kemudian dia membungkuk, mengusap kembali wajah Diara sambil menangis.

Dirga keluar dari kamar. Mengacak rambutnya frustasi. "Bagaimana ini?"

"Mas Dirga, mau ke mana?" Anye ternyata menyusulnya.

"Pulang," sahut Dirga tak acuh.

"Pulang? Setelah apa yang terjadi pada Diara, kamu pulang gitu aja?"

"Memangnya aku harus apa?" Dirga bertanya bingung.

"Aku enggak percaya kamu ini temannya Kak Devan. Aku pikir orang yang dipilih Kak Devan untuk adiknya itu laki-laki baik. Ternyata sama aja. Brengsek!" umpat Anye.

Dirga menautkan alis. 'Devan kakaknya Diara?'.

"Walau pun kamu enggak mau jadi pacar pura-puranya Diara, seenggaknya hargai dia sebagai wanita!" hujat Anye lagi.

"Aku udah tolong dia dari lelaki bajingan itu. Apa masih kurang, hah?"

Anye mengusap air matanya. "Kalau kamu melakukan ini secara terpaksa, kenapa kamu mau saja ketika Kak Devan menyuruh kamu untuk menemui Diara? Kenapa setuju buat jadi pacar semalamnya Diara?"

Dirga mengerjapkan mata. 'Pacar pura-pura? Dari tadi dia mengatakan pacar pura-pura dan Devan. Apa sebenarnya yang terjadi?'

"Padahal aku udah suruh Diara buat cari lelaki sewaan. Lelaki yang lebih mudah untuk disuruh berpura-pura. Tapi Diara terus beralasan enggak percaya sama laki-laki seperti itu. Dia lebih memilih kamu, teman kakaknya. Karena Diara pikir kamu lelaki baik-baik."

Dirga tertegun. 'Lelaki sewaan? Itu aku,' batinnya.

Anye menangis tersedu-sedu.

"Oke-oke. Aku mau jadi pacar pura-pura Diara karena ...." Dirga hampir mengatakan karena itu adalah pekerjaannya. "Karena aku ... udah janji sama ... Devan." Dirga mengembuskan napas. "Lalu sekarang, apa yang harus aku lakukan?"

.

"Bodoh! Enggak berguna!"

"Maaf, Bos. Seandainya lelaki itu enggak datang, semua pasti berjalan lancar. Lelaki yang sebelumnya menolong perempuan itu pun berhasil saya kalahkan. Tapi laki-laki ini, dia ... jago berkelahi."

"Siapa nama lelaki itu?"

"Saya sempat mendengar Diara menyebut nama ... Dirga."

Lelaki berjaket hitam itu melepas cekalan tangan di leher si lelaki berpakaian security. "Dirga. Seperti apa dia?" bisiknya. Lalu membuka genggaman tangan kirinya, di mana ada sebuah kancing di dalamnya. Kancing dari kemeja Diara.

.

Dirga turun dari angkutan umum. Udara dingin membuatnya sedikit tak nyaman. Itu karena dia melepas jaketnya sebelum mendatangi kantor Diara.

"Hei, Ga. Udah beres?" tanya pemilik kios, tempat di mana Dirga biasa menitipkan motornya jika ada keperluan mendadak.

"Udah, Bang. Makasih, ya. Udah jagain motor gue!"

"Sama-sama. Kayak sama siapa aja. Entar kalau ada janji kencan lagi, enggak usah sungkan-sungkan, simpan aja di dalem biar lebih aman," ucap pemilik kios sambil tersenyum.

"Siap!" sahut Dirga. "Yuk, Bang!" Kemudian berpamitan setelah memakai jaket dan helmnya.

Dirga melajukan motor, membelah kesunyian malam. Kota metropolitan yang dipenuhi orang-orang bejad dan jahat seperti dirinya. Kota dengan berjuta kisah, yang banyak menyimpan banyak kebusukan manusia, seperti dirinya.

'Aku bukan orang baik. Aku tau. Tapi aku tidak bisa menyakiti orang yang benar-benar sudah mempercayaiku,' batinnya.

"Please, Mas Dirga. Kasih Diara kesempatan buat menunjukkan kebahagiaannya sekali aja."

"Selama ini Diara enggak pernah percaya sama cowok mana pun. Hanya ada dua lelaki selama hidupnya, Kak Devan, sama kamu."

"Hanya di malam pesta valentine. Itu aja. Setelah itu kamu bebas meninggalkan Diara. Dan Diara bisa hidup dengan normal karena berhasil menunjukkan pada orang-orang, jika dia perempuan biasa."

Kata-kata itu, terus terngiang-ngiang di telinga Dirga.

"Siapa sebenarnya Diara? Seperti apa dia? Masalah apa yang terjadi pada hidupnya? Anye saja sahabatnya begitu mencemaskan kondisinya," gumam Dirga.

*****

--bersambung--

avataravatar
Next chapter