5 5. Lelaki Sewaan (2)

Malam belum terlalu tua, ketika sebuah mobil sedan mewah berwarna merah berhenti di depan gang--yang terbilang cukup sempit, dan tak lumrah untuk kendaraan macam itu, masuk ke dalam lingkungan pesisian kota. Di mana kebanyakan masyarakat di sana hanyalah kalangan menengah ke bawah.

Seorang lelaki turun. Berpakain santai dengan celana jin belel dan kaos oblong berwarna putih. Sedang di tangannya, entah berapa kantong belanjaan yang dia bawa. Terlihat jelas jika dia pun kesulitan memegang semuanya. "Aduh, saya jadi malu udah repotin Mbak Tania," ucapnya pada perempuan yang beberapa saat lalu duduk bersamanya di dalam mobil, sebagai pengemudi.

"Enggak apa Mas Dirga. Ini udah jadi kewajiban aku. Berkat Mas Dirga, Opa percaya kalau aku udah punya tunangan," sahut perempuan cantik berambut coklat gelap tersebut.

"Tapi itu 'kan juga pekerjaan saya. Oh, ya. Kalau nanti Opa Michel pulang lagi ke Indonesia, Mbak hubungi saya aja lagi." Dirga berdehem. "Free," sambungnya.

"Masa?" Tania bertanya tak percaya.

"Iya. 'Kan buat imbalan dari ini semua." Dirga mengangkat semua paper bag di tangannya.

Tania tertawa dengan satu tangan menutup bibirnya. "Ya udah, aku balik dulu. Mas Dirga pasti cape seharian udah temenin Opa dari mulai sarapan sampai ke bandara. Maaf, ya. Opa emang gitu orangnya. Enggak pernah sungkan sama orang yang baru dia kenal."

"Itu wajar. Mbak Tania 'kan cucu beliau satu-satunya. Lagian saya malah seneng, bisa diajak jalan-jalan sama belanja," seloroh Dirga.

Tania tertawa lagi. "Mas Dirga ternyata lucu, ya. Kalau gitu, aku pulang. Bye." Lalu melambaikan tangan.

Dirga membalas lambaian tangannya. Setelah mobil itu menghilang di persimpangan, dia pun bisa bernapas lega. "Hadeuh, ribet banget jadi tunangan cewek kaya." Satu tangannya bergerak ke atas, mengacak rambut yang semula tertata rapi dan mengkilap. Dirga tidak biasa memakai pomade.

"Wah, habis ditraktir cewek lagi, nih!" seru seorang pemuda. Lalu dia tersenyum pada teman-temannya yang sedang duduk-duduk di pos ronda.

"Iya, dong. Punya cewek kaya harus dimanfaatin." Dirga tertawa. "Mari," pamit Dirga.

"Ya, silakan, Mas," sahut beberapa pemuda yang tak sedang bersantai-santai itu.

Dirga melanjutkan langkahnya, tanpa mempedulikan bisik-bisik di belakang. Baginya sudah tidak aneh. Para tetangga menganggapnya seorang lelaki playboy atau lelaki bajingan yang selalu memanfaatkan pacar-pacarnya.

Sesampainya di depan teras, tampak Beni sedang mengelap skuter matik hitam miliknya. "Wuih, udah mengkilap aja, nih!"

"Eh, Bang Dirga. Udah pulang, Bang?" sahut Beni, lalu berdiri meraih tangan Dirga. Menciumnya dengan hormat. "Biar besok Abang bisa langsung narik," sambungnya sambil menggerakkan tangan kanan seperti sedang menarik gas motor.

"Asyik, Bang Dirga pulang!" teriak seorang anak perempuan dari dalam rumah. Pintu yang terbuka, membuatnya bisa mendengar kedatangan lelaki yang sedang ditunggu-tunggunya. "Dek, cepet bantuin!" teriak anak perempuan berusia empat belas tahun itu.

Tak lama seorang gadis lebih kecil berlari menghampiri. Senyumnya mengembang. Lalu dua anak perempuan itu berebut mengambil kantong di tangan Dirga.

"Pelan-pelan bawanya, Amel, Alya." Beni memperingatkan.

Dirga hanya tertawa melihat kelakuan dua anak itu. "Udah, Ben. Besok juga kotor lagi," ucapnya. "Ayo, masuk. Ada roti kesukaan kamu itu."

"Udah, biar aku aja," cegah Beni melihat Dirga yang akan memasukkan motor.

Dirga mengacak puncak kepala remaja berusia tujuh belas tahun di depannya. "Makasih." Kemudian masuk ke dalam rumah.

Amel, anak perempuan berusia sepuluh tahun. Membuka salah satu paper bag berisi kemeja dan jaket. Keningnya mengernyit.

"Ini buat Kak Beni." Dirga mengambil baju itu, kemudian membuka kantong yang lainnya. "Nah, ini buat kamu. Bagus, 'kan?"

Amel mengangguk semringah. Diambilnya baju dari tangan Dirga, lalu berdiri sambil menyimpan gaun itu di depan tubuhnya.

"Wah, gaunnya cantik banget." Seorang perempuan keluar dari kamar.

"Ibu? Kirain udah tidur. Pasti bangun gara-gara kita berisik." Dirga berdiri, meraih tangan perempuan paruh baya itu, lalu menciumnya penuh hormat. Namanya Ratih. Ibu dari Dirga, Beni, Alya dan Amel.

"Ibu emang belum tidur, kok," sahut Ibu Ratih diiringi seulas senyum. "Banyak banget belanjaannya," lanjutnya menatap dua anak perempuan sedang mengacak isi kantong belanjaan.

"Alhamdulillah, lagi ada rezeki, Bu. Enggak tiap hari ini, 'kan," timpal Dirga. "Oh, iya. Ada sesuatu buat Ibu juga," lanjutnya. Lalu mencari kantong berisi sesuatu yang akan diberikannya sebagai hadiah.

"Ini buat Ibu!" teriak Alya. Memberikan sebuah tas kecil. Ternyata dia menemukannya lebih dulu.

Ibu Ratih menerimanya. "Indah sekali," pujinya melihat mukena putih berhias sulaman bunga berwarna pink muda.

"Sebentar lagi 'kan bulan puasa," ucap Dirga.

"Terima kasih." Ibu Ratih begitu terharu melihat itu semua. Amel yang bahagia dengan gaun barunya, Alya pun dengan baju miliknya, dan Beni dengan bagiannya juga.

"Ini apa?" tanya Beni. Dia mengeluarkan satu stel pakaian resmi dari paper bag berwarna hitam, berbeda dari yang lain.

"Oh, ini punyaku," jawab Dirga cepat. Dimasukkannya lagi jas itu ke dalam kantong. "Punya temen. Besok mau Abang bawa ke laundry sebelum dibalikin. Ini juga," ujarnya sambil mengambil kantong berisi sepatu pantopel.

Ibu Ratih terheran melihat raut gugup Dirga. Beberapa bulan ini memang putra sulung atau tepatnya anak tirinya itu bersikap sedikit aneh. Selain lebih tertutup, sudah beberapa kali dia pulang dengan membawa banyak belanjaan. Bukan tidak pernah membelikan oleh-oleh untuk adiknya, tapi ia merasa kali ini terlalu berlebihan.

"Bang Dirga mau mandi? Beni siapin air panas, mau?" tawar Beni.

"Enggak usah. Abang mandi air dingin aja," tandasnya. Kemudian masuk ke dalam kamar berukuran 3 X 3 meter. Hanya ada kasur busa tanpa ranjang, dan lemari kayu yang sudah usang di sisi sebelah kiri.

Dirga membuka kunci lemari, memasukkan sepatu dan setelan jas ke dalamnya. Biasanya Dirga menyewa pakaian seperti itu untuk keperluan pekerjaan sampingannya, tapi ternyata Tania sudah menyiapkan semuanya sejak beberapa hari lalu. Ketika hendak dikembalikan, Tania malah menolak.

"Untuk Mas Dirga aja. Siapa tau nanti perlu," ucap perempuan itu.

Dirga menggelengkan kepala. "Kenapa ada perempuan cantik, baik dan kaya seperti Tania,justru malah kesulitan mendapatkan lelaki yang cocok dengannya?" gumamnya.

Dirga merebahkan tubuh lelahnya. Dirogohnya ponsel dalam saku celana. Ada pesan baru yang belum sempat dia buka.

"Mas, udah aku transfer, ya. Sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya," tulis Tania.

Dirga menatap nominal di bukti pengiriman yang Tania sertakan. Jumlah paling besar yang pernah dia dapatkan sebagai pacar sewaan. Ah, tidak. Kali ini dia menjadi tunangan sewaan. Belum lagi semua barang yang Tania belikan untuknya. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu merasa terenyuh ketika Dirga mengatakan ingin mampir sebentar untuk membeli gaun anak.

Terkadang, Dirga merasa ini memang tidak baik. Berbohong dan bersandiwara di depan mereka yang tak tahu apa-apa. Akhirnya orang-orang itu pun percaya akan siapa Dirga, seperti apa dia, dan dari mana dia berasal.

'Bagaimana jika suatu hari nanti kebusukanku terbongkar? Apa aku masih bisa mendapatkan kepercayaan orang lain?'

Itu yang selalu dia pertanyakan akhir-akhir ini.

.

Sementara itu di sebuah restoran, Diara sedang menikmati makan malamnya bersama Keanu. Sepertinya dia sengaja memilih tempat mewah dan berkelas. Entah untuk menunjukkan siapa dirinya atau memang dia sangat menghargai Diara yang sudah menerima ajakan makan malam bersamanya.

Diara terlihat sangat cantik dengan gaun hitam sebatas lutut model sabrina. Rambutnya yang dibiarkan tergerai, menambah pesona tersendiri, membuat Keanu kesulitan berkedip ketika melihat Diara menghampirinya.

Seorang pelayan menghampiri, membawa botol sampanye dan menawarkannya pada Keanu. Lelaki itu pun memberi sebuah anggukan. Dua gelas flute sudah terisi cairan berwarna kekuningan.

Keanu mengangkat gelasnya. Senyumnya memudar ketika melihat Diara mengambil gelas berisi air putih.

"Aku tidak minum," ujar Diara menjawab keterheranan Keanu.

"Ah, maaf." Keanu tersenyum. Kemudian melakukan toast.

"Kenapa tidak membawa Genta?" tanya Diara seusai meneguk isi gelasnya.

"Sa ... aku jarang membawa Genta keluar di malam hari," jawab Keanu.

Diara meraih garpu dan pisau, memotong steak di atas piringnya.

"Apa Bu Anye sering menceritakan tentang Genta?" Keanu berusaha mengentaskan keheningan di antara mereka.

"Tidak. Kendati Anye suka sekali pada anak kecil, tapi tidak denganku," sahut Diara nyaris tidak ada nada dalam kalimatnya.

Keanu tersedak mendengarnya. Segera dia meraih gelas berisi air putih. "Maaf," ucapnya.

Diara tersenyum.

Selanjutnya, Keanu kembali terdiam. Hingga hidangan makan malam habis, tak ada lagi obrolan di antara mereka.

"Ada satu hal yang ingin saya katakan," ujar Keanu setelah merasa situasinya cukup pas untuk kembali berbincang.

"Apa itu?" Diara menaikkan kedua tangannya, menekuk kedua siku di atas meja. Lalu menahan dagunya dengan dua punggung tangan yang bertaut.

"Mungkin bagi Mbak ...."

"Panggil Diara saja."

"Hmm. Mungkin bagi Diara, pertemuan kita di sekolah TK itu adalah yang pertama. Tapi bagi saya ... maksudnya aku. Aku sudah sering melihat kamu."

Diara menaikkan kedua alisnya.

"Sudah beberapa kali aku mengantar adikku yang bekerja di tempat yang sama ... sama dengan kamu."

"Oh, dia bekerja di Woman And Beauty juga. Siapa namanya?"

Keanu tersenyum kaku. "Bandan."

"Staf Editing?"

"Ya."

"Aku Kepala Editor."

"Oya?"

"Ya. Memangnya Bandan tidak pernah bercerita tentangku? Atasannya yang sombong, galak dan suka marah-marah."

Keanu menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Sepertinya Bandan tidak pernah bercerita tentang kesehariannya di tempat kerja sama kamu. Padahal tempat duduk kami bersebelahan," ujar Diara dengan nada sedih.

"Aku sering bertanya, tapi dia memang anak pendiam dari dulu."

"Oh, pantas saja. Ketika di awal masuk kerja, aku sampai kesulitan mengajarkannya."

Keanu tertawa. "Ya, walau sudah dewasa, orang rumah masih sering kesulitan menanganinya."

Diara membalas dengan senyum simpul. Diliriknya jam tangan berwarna silver di lengan kanan. "Karena ini bukan akhir pekan, aku tidak bisa berlama-lama."

Keanu menganggukkan kepala.

Diara pun berdiri. "Terima kasih atas makan malamnya. Selamat malam."

Keanu menatap kepergian Diara. Setelah sosoknya benar-benar hilang, dia mengusap wajah. Dirogohnya ponsel dalam saku, menelepon kontak seseorang."Halo, Kenan."

"Hei, gimana makan malamnya?"

"Diara baru saja pulang."

"Dapat sesuatu?"

"Sesuatu apa? Setiap kali aku melihat wajahnya, aku gugup. Kamu tau, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan seorang perempuan, setelah kepergian istriku."

"Kamu enggak dapat informasi apa pun?"

"Tidak," jawab Keanu kesal. "Hei, kenapa kamu tidak bilang kalau dia itu rekan kerja Bandan? Bagaimana kalau Diara mengatakan ini padanya dan Bandan bertanya macam-macam padaku?"

"Sorry, aku lupa."

"Sebenarnya apa yang ingin kamu cari tau dari Diara?"

"Mm, nanti saja aku ceritakan kalau kita ketemu."

Keanu berdecak. "Ya sudah, aku mau pulang. Aku sudah menuruti permintaanmu. Jangan paksa aku lagi untuk menghubunginya," tandasnya. Kemudian menutup sambungan telepon.

Ini hal gila yang pernah dilakukan Keanu. Mendekati seorang perempuan hanya karena permintaan sahabatnya, Kenan. Sempat dia terheran. Kenapa bukan Kenan sendiri yang melakukannya? Bukankah mereka satu kantor?

Keanu tidak mengerti jalan pikiran Kenan.

Sementara itu, Diara melajukan mobilnya dengan tenang. Walau pun ada perasaan dongkol dalam hatinya, dia berusaha menahan. Bahkan semenjak di dalam restoran tadi.

Ponselnya berdering. Diara menepikan mobil. "Gue lagi di jalan," ucapnya tanpa basa-basi."

"Apa? Lo pulang? Terus lo ajak dia buat ke pesta?"

"Ya enggak, lah. Gue 'kan udah bilang kalau dia itu kakaknya Bandan, junior gue di kantor. Lo mau kebohongan gue terbongkar?"

"Ya, lo bilang aja ama junior lo buat tutup mulutnya."

"Enggak ada alasan apa pun. Gue harus cari cowok lain."

"Ya ampun, Di. Sekarang tuh tanggal 9, dan udah malem. Enggak mungkin 'kan lo cari cowok sewaan di jalanan. Itu artinya cuma tersisa empat hari. Waktu lo enggak banyak! Belum lagi lo harus kasih tau rencana lo sama tuh cowok, biar kalian enggak miss communications entar di pesta. Seengaknya lo harus udah dapetin dia besok!" cerocos Anye kesal.

"OK. Besok gue dapetin tuh cowok. Lihat aja," pungkas Diara melempar ponselnya ke atas jok samping.

"Eh, Di! Diara!" Terdengar teriakan Anye, tapi Diara tak menggubrisnya.

Diara terdiam. Menatap trotoar yang hanya diterangi sinar lampu jalanan. Sepasang muda-mudi melangkah bersama. Bergandengan tangan dengan begitu mesra. Umurnya masih belasan, tapi sudah seperti orang dewasa.

Diara ingat betul. Di usia itu, tidak ada waktu baginya untuk mengenal cinta. Jangankan dari lawan jenis, dari keluarganya pun tak ada sama sekali. Papanya sibuk, sedang Devan yang kala itu masih menyelesaikan studinya di London, tidak pernah mengetahui kehidupan macam apa yang Diara hadapi.

"Ah, lo perempuan terpayah di dunia ini, Diara."

***

Pagi datang. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota.

"Udah sarapannya?" Dirga memakai jaket khas ojol yang selalu dia pakai.

Amel mengangguk.

"Ayo!" Dirga duduk di atas motornya. Disusul Amel yang duduk di jok belakang. "Dirga berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," sahut Ibu Ratih.

Dirga melajukan motornya, menyusuri gang sempit yang selalu dia lewati setiap hari. Profesi sebagai sopir ojeg online, sudah tiga tahun ini dia jalani.

Belasan tahun silam, kehidupannya tidak seperti ini. Dirga kecil, tidak pernah merasakan kasih sayang dan kehangatan sebuah keluarga.

Usianya sepuluh tahun kala itu. Di depan matanya, sang ibu mengusir ayahnya dengan kasar.

"Bawa semua baju kamu! Aku enggak butuh suami kere macam kamu!" teriaknya.

Dirga menangis melihatnya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Beberapa bulan kemudian, ibunya memiliki suami baru. Awalnya, semua baik-baik saja. Hingga kemudian pertengkaran demi pertengkaran kembali menghiasi malam-malamnya. Setiap malam Dirga harus menutup telinganya rapat-rapat.

Entah berapa kali ibunya menikah. Dirga tidak menghitung, tak pula mempermasalahkan. Karena baginya itu sudah tidak penting. Hari-harinya dia lalui di luar rumah. Berlarian di jalanan bersama teman-temannya demi mengejar uang recehan dari mobil mewah yang berlalu-lalang. Bermodal alat musik yang dia buat sendiri dari tutup botol, Dirga menyanyikan lagu-lagu yang dia hafal di saat lampu merah menyala.

Suatu sore, seorang lelaki paruh baya mencarinya. Menyuruh dia pulang segera karena ibunya sedang sakit keras. Usianya lima belas tahun kala itu.

"Dirga, maafkan Ibu." Hanya itu kata terakhir yang dia dengar dari bibir ibunya. Perempuan yang sudah mempertaruhkan nyawa ketika melahirkannya ke dunia, pergi begitu saja.

Bisik-bisik mulai terlontar dari para tetangga. Menggunjingkan kepergian sang ibu dalam keadaan tidak normal.

Perempuan kotor.

Perempuan lacur.

Perempuan hina.

Dirga mendengarnya dengan jelas. Di usianya yang sudah remaja, tentu saja dia tahu arti dari kata-kata tersebut.

Dunia liar anak jalanan mulai dia jejaki satu persatu. Mabuk-mabukan bukan hal aneh lagi. Sebagian tubuhnya pun sudah diukir tato. Mencuri dan memalak orang menjadi kesehariannya, bahkan dia menjadi anggota preman di pasar.

Pagi itu, dia sedang duduk-duduk di terminal. Pakaian lusuh, rambut yang dicat coklat terang, dan telinga bertindik. Sudah menjadi ciri khasnya.

"Tumben udah nongkrong?" Seorang pedagang asongan bertanya.

"Asem nih mulut," sahut Dirga.

Si pedagang mengerti. Diberikannya sebatang rokok. "Belum dapat duit," ucapnya.

Dirga hanya tersenyum kecil. Dinikmatinya lintingan tembakau itu. Kepulan asap menutupi wajah kumalnya.

"Ga, mangsa, tuh!"

Dirga menoleh. Teman sesama preman yang selalu dia panggil Jojo, menyenggol bahunya. Tatapannya pun beralih mengikuti telunjuk Jojo. Seorang lelaki berpakaian rapi sedang berjalan sendirian. Membawa dua tas di masing-masing tangan.

"Gue duluan, lo nyusul," ucap Jojo.

Dirga mengangguk. Dijatuhkannya puntung rokok, lalu menginjaknya hingga sisa api di ujungnya padam.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Jojo. "Mau saya bantu bawa barangnya?"

Lelaki paruh baya itu tersenyum. Dia tahu siapa orang di depannya, tapi tetap berusaha tenang. "Tidak usah, Nak. Bapak bisa sendiri."

"Tidak apa, Pak. Saya bantu." Jojo menarik paksa tas di tangan kanannya.

Tarik menarik terjadi. Tidak ada seorang pun menghalangi, karena orang-orang tahu siapa Jojo dan Dirga.

Jojo berhasil mengambil tas itu. "Nah, gitu, dong. Berbuat baik selagi bisa, Pak!" seru Jojo.

Dirga sudah berdiri di hadapan bapak itu. "Mana dompetnya?"

Bapak itu menoleh. Mata teduhnya menatap dalam sosok di depannya. "Dirga?"

Dirga menautkan kedua alis.

"Dia tau nama lo, Ga. Lo kenal?" bisik Jojo.

Dirga menggelengkan kepala.

Bapak itu tertunduk. Satu tangannya bergerak merogoh dompet di saku celana. "Ini, ambil."

Dirga dan Jojo terheran melihat bapak itu memberikan dompetnya.

"Ambil, Ga," bisik Jojo.

Dirga mengambilnya dengan kasar. Dibukanya dompet hitam di tangan sang korban. Matanya terpaku, melihat foto yang terselip di dalamnya. Merasa tak asing dengan wajah anak kecil itu. Wajah tampan dan tatapan polosnya, seakan mengingatkan siapa dia dulu. "Ehem, banyak juga duitnya," ujar Dirga berusaha tenang.

"Ambil semua," pinta Jojo.

Dirga mengambil hampir semua, menyisakan beberapa lembar uang di dompet. "Buat ongkos pulang," ucapnya sambil memberikan kembali benda itu.

"Terus ini tas gimana?" tanya Jojo.

"Kasih aja," perintah Dirga.

"Siapa tau ada benda berharga di dalamnya?" tanya Jojo lagi.

"Isinya cuma pakaian dan makanan buat anak saya," sela si bapak.

"Udah, kasih aja. Kasian anaknya," tukas Dirga.

Jojo memberikannya kembali. Bapak itu menerimanya, mengucapkan terima kasih.

Dirga mengajak Jojo pergi, meninggalkan tatap redup dari lelaki itu. Sesampainya di kios bekas yang biasa dijadikan tempat untuk berkumpul, beberapa teman sesamanya menyambut mereka.

Dirga memberikan uang itu. Karuan mereka membaginya dengan girang.

"Gue udah ambil tadi," ujar Dirga, menolak uang yang disodorkan Jojo.

"Ya udah, gue beliin justom entar," timpal Jojo.

Dirga duduk di salah satu bangku. Hatinya benar-benar tidak bisa tenang. "Gue pergi dulu. Ada urusan," pamitnya.

"Siap!" teriak para preman itu.

Dirga berlari. Kembali menuju terminal. Dikelilingkannya pandangan, mencari sosok itu. Tidak ada. "Ke mana dia?" gumamnya.

Dirga berlari kembali. Menaiki sebuah mobil angkutan umum. Kedua matanya terus mengawasi setiap jalanan yang dia lalui. Hingga tiba di sebuah tempat yang sudah lama tidak dia pijak. Dengan langkah tergesa, Dirga menyusuri daerah perkumuhan tempat tinggalnya dulu, ketika ibunya masih hidup.

Lelaki itu sedang berdiri di teras sebuah rumah yang sudah tampak tak terurus. Jendela dan pintunya rusak, dindingnya penuh dengan lumut. Lantainya pun sudah sangat kotor. Benar-benar berantakan.

"Bapak," panggil Dirga.

Sosok yang dipanggil memutus pandangannya yang sejak tadi hanya menatap kosong ke dalam rumah itu. "Dirga?"

"Bapak," panggil Dirga kembali. Tak kuasa dia menahan perih di kedua matanya. Lalu dia berlari, memeluk lelaki yang sudah lima belas tahun berpisah darinya.

"Maafkan, Bapak. Harusnya Bapak bawa kamu waktu itu. Harusnya Bapak merebut kamu, dan tidak meninggalkan kamu sendirian seperti ini," lirih lelaki itu.

"Maafin Dirga, Pak. Maaf," ucap Dirga terisak-isak.

Sejak hari itu, Dirga ikut bersama sang ayah. Mereka meninggalkan Bandung, dan menetap di Jakarta.

Sampai saat ini, Dirga nyaman tinggal bersama ibu dan adik-adik tirinya. Bahkan walau ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu, dia tetap bertanggungjawab atas kehidupan keluarganya. Baginya, ini lebih baik. Dari pada harus kembali ke jalanan dan kehidupan suramnya. Dirga merasa beruntung atas keputusannya saat ini. Setidaknya, tidak akan ada penyesalan di suatu hari nanti.

Motor berhenti di sebuah bangunan. Tampak seperti sekolah pada umumya, hanya saja ini dikhususkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

"Sampai," ucap Dirga.

Amel turun. Dirga memberikan tangannya, gadis kecil itu pun menciumnya.

"Abang pergi dulu. Jangan pulang sebelum ada yang jemput, ya!" pesannya.

Amel mengangguk. Kemudian berlari masuk ke dalam bangunan itu. Dirga mengiringi kepergiannya dengan tatap mata. Hingga sosok itu disambut oleh seorang perempuan berpakaian khas seorang guru. Setelah itu baru Dirga melajukan kembali motornya.

.

Ponsel berdering. Dirga menatap layarnya.

"Tarikan, Ga?" tanya seorang teman.

Dirga menggelengkan kepala. Segera dia menjauh dari teman-teman sesama ojolnya. "Halo," sapa Dirga ragu. Mengingat si penelepon adalah nomor baru.

"Halo. Benar ini dengan Mas Dirga?"

"Ya. Saya Dirga. Dari mana Anda tau nomor saya?"

"Saya temannya Tania. Bisa kita bertemu?"

.

Di sebuah kafe, Dirga duduk menunggu kedatangan perempuan yang meneleponnya beberapa waktu lalu. Segelas jus alpukat sudah berhasil dia habiskan. Inilah resikonya, demi pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak, dia harus rela menunggu.

"Mas Dirga?" Seorang perempuan berdiri di depannya.

"Ya. Saya Dirga," sahut Dirga sambil berdiri.

Perempuan itu menatap Dirga. Wajahnya, tubuhnya, hingga ke bagian kaki. "Tampan, atletis juga. Cocok," ucapnya diakhiri senyum. "Silakan duduk."

Dirga duduk kembali.

Perempuan cantik berambut sebahu itu menyimpan tas di atas meja. "Karena waktu kita tidak banyak, saya langsung saja."

Dirga menatapnya serius.

"Saya mau, Mas Dirga menemani saya ke pesta malam ini. Mas Dirga harus berpura-pura sebagai kekasih saya. Bisa?"

Dirga tersenyum. Sebuah anggukan pasti dia berikan.

*****

--bersambung--

avataravatar
Next chapter