3 3 Lelaki Sewaan

Setegar apa pun batu karang, jika terus dihantam oleh ombak, dia akan hancur juga. Tampaknya itu yang sedang dialami Diara saat ini. Dia menangis di dalam ruangan berukuran 1 X 1 meter, selama hampir satu jam.

Lain halnya dengan Sagara. Semenjak keluar dari ruang rapat, dadanya bergemuruh tak tenang. Jemarinya terus bergerak di atas meja, menimbulkan suara berisik teratur di tengah ruangan. "Siapa? Siapa lelaki itu?" gumamnya kesal.

Karena tak sanggup lagi menahan amarah, dia bangkit dari kursi kebesarannya. Mencoba mengentaskan rasa penasaran dalam hatinya. "Mana Diara?" tanyanya setelah sampai di depan meja Diara. Entah itu pertanyaan untuk Bandan atau Gina.

"Tadi bilangnya mau ke toilet, Pak. Tapi belum kembali lagi," sahut Bandan karena melihat Gina hanya membisu.

"Kapan?" Sagara bertanya dengan tempo cepat.

"Sehabis rapat usai--"

"Rapat? Itu satu jam yang lalu. Terus kalian berdua duduk-duduk tenang aja di sini?" sela Sagara. Melihat ke arah Gina, lalu berpaling kembali pada Bandan.

Gina yang melihat ekspresi Sagara, tentu saja ketakutan. "Biar saya lihat ... ke toilet, Pak." Kemudian pergi dengan langkah setengah berlari.

Sementara itu, Diara sudah merasakan pusing yang teramat. Hidungnya pun terasa perih karena digosok terus menerus oleh ujung lengan kemeja. Diputuskannya untuk menghentikan ini semua, karena yakin tak akan baik bagi dirinya.

Diara bangkit, membenarkan letak rok yang sedikit bergeser, juga lengan kemeja yang tampak menjadi kotor dan kusut.

"Mbak Dia ... ra, Anda di sini?" Gina tertegun melihat kondisi Diara.

"Ada apa?" Diara berjalan tak acuh ke arah cermin wastafel.

"Maaf. Seharusnya saya ke sini sejak tadi," ucap Gina pelan.

"Lalu kenapa baru ke sini sekarang?" tukas Diara. Sebenarnya dia pun merasa tak nyaman karena tertangkap basah dalam keadaan seperti itu.

"Pak Sagara .... mencari Anda."

Diara menoleh, dengan kedua alit bertaut. "Mau apa dia?"

Gina menggeleng kaku. "Saya ... tidak tau."

Diara membasuh tangannya, menggosok ujung lengan kemeja yang sedikit kotor karena terkena sisa make up dari wajahnya. Lalu mencuci muka, memastikan tidak ada jejak air mata di sana. Nyatanya sia-sia. Mata yang masih sedikit bengkak sisa semalam, kini bertambah bengkak lagi.

Gina melihat itu semua dengan perasaan yang tak menentu. Selama dua tahun bekerja bersama Diara, baru kali ini dia melihat perempuan berambut sepinggang itu dalam keadaan tak biasa.

Diara menggulungkan rambutnya yang diikat tinggi. "Bisa minta tolong?"

"Ten-tentu, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?" sahut Gina gugup.

"Ambilkan tas make up-ku."

"Di ... mana?"

Diara mendesah kesal. "Ada di dalam tas tanganku," ucapnya sambil memutar tubuh, hingga berhadapan dengan Gina.

Gina mengangguk.

"Tunggu," cegah Diara ketika Gina hampir berbalik.

"Ada yang lain, Mbak?"

"Jangan mengatakan apa-apa, jika Pak Sagara bertanya tentangku." Diara menatap Gina, tanpa berkedip.

Gina mengangguk lagi. "Baik, Mbak."

Kedua mata Diara mengiringi langkah Gina, hingga sosoknya menghilang di balik pintu. Lemas mulai menyerang kedua kaki jenjangnya, membuat Diara harus berputar kembali, dan menahan kedua sikunya di atas tepian wastafel.

Gina sampai di meja Diara. Segera dibukanya tas lengan sang atasan. Tangannya bergerak kaku, disertai perasaan gugup karena dua pria di dekatnya terus memerhatikan gerak-geriknya.

"Mana Mbak Diara-nya?" tanya Bandan.

Gina tidak menyahut. Ditariknya kembali resleting bagian atas tas setelah menemukan tas lebih kecil di dalamnya.

"Gina," panggil Sagara tertahan.

Gina tak jadi melangkah. Berpaling ke arah Sagara.

"Diara menangis?" tanya Sagara lebih pelan.

Gina menelan saliva, teringat pada peringatan Diara. Tak dipedulikannya tatapan menunggu dari Sagara, memilih berlari ke arah toilet.

Lain halnya dengan Bandan. Dia malah fokus menatap Sagara. Otaknya mulai berpikir, 'Kenapa Pak Sagara begitu perhatian pada Mbak Diara? Bukankah mereka bermusuhan?'

Sagara memalingkan wajah. Bandan berpura-pura fokus pada layar komputer.

Sesampainya di toilet, Gina memberikan tas berisi perlatan make up Diara dengan napas terengah.

"Kamu lari ke sini?" Diara meraih tas itu.

"Iya, Mbak." Gina mengambil napas panjang.

Diara membuka resleting tasnya. "Masih ada Sagara?" Lalu mengambil foundation dan membuka tutupnya.

"Ma ... sih, Mbak."

"Ya sudah, kembali ke tempat kamu. Bilang saja lima menit lagi aku akan menemui dia di ruangannya."

"Iya, Mbak." Gina mengangguk.

"Terima kasih."

Gina yang sudah berbalik, memutar kembali tubuhnya. "Sama-sama, Mbak," sahutnya diakhiri senyuman.

Di tempatnya, Bandan masih mencuri pandang ke arah Sagara. Dari tadi dia berdiri di depan meja Diara, hampir lima belas menit.

"Mana?"

Bandan menggeser pandangannya. Ternyata Gina sudah kembali.

"Mbak Diara bilang, lima menit lagi dia akan menemui Bapak di ruangan," jawab Gina.

Sagara berdecak. Tangan kanannya mengusap wajah yang tampak menahan kekesalan. Kemudian pergi tanpa sepatah kata pun.

"Kenapa Pak Sagara?" Bandan bertanya setelah sosok itu menjauh.

"Mana aku tau," jawab Gina. Lalu duduk di kursinya.

"Terus Mbak Diara, dia kenapa?" tanya Bandan lagi.

Gina menoleh tak peduli, kemudian menatap layar komputer. "Urusan wanita."

Bandan berdecih karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Keduanya tak menyadari kedatangan Diara. Kini penampilan wajahnya sudah lebih baik. Terlihat segar dan memesona seperti biasa. Kecuali lengan bajunya yang sedikit basah. Setelah memasukkan tas make up ke dalam tas lengannya, dia pergi kembali tanpa sepatah kata pun.

"Mbak Diara lagi datang bulan?" tebak Bandan.

"Kepo banget, sih," sahut Gina.

Bandan kembali melanjutkan pekerjaannya ditemani rasa penasaran. 'Ada apa dengan Pak Sagara dan Mbak Diara? Melihat gelagat Pak Sagara, jelas ini bukan masalah pekerjaan,' batinnya.

Tiba di depan ruangan Sagara, Diara mengetuk pintu. Masuk setelah mendengar sahutan dari dalam.

"Anda mencari saya, Pak?" Diara bertanya sopan, khas bawahan kepada atasan.

Sagara yang sedang berdiri dengan menahan bagian bawah tubuhnya di tepian meja, berdiri tegak. Mengeluarkan kedua tangan yang semula disembunyikan dalam saku celana, lalu menghampiri Diara. "Siapa?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Maksud Anda apa? Bisa bertanya dengan lebih jelas." Diara menjawab pertanyaan lelaki itu, dengan pertanyaan kembali.

"Enggak usah berpura-pura enggak ngerti, Diara," desis Sagara di depan wajah perempuan yang masih menampakkan raut tenangnya.

Jarak keduanya kurang dari 30 centimeter. Wajah Sagara dan Diara. Bahkan Diara bisa merasakan embusan napas berat dari hidung bangir Sagara. Diara menegakkan wajahnya, membuat jarak itu semakin mengikis.

Sagara menatap bola mata itu. Merah. Masih terlihat jelas. "Hentikan sandiwaramu," bisiknya.

"Apa hakmu?" balas Diara.

"Kenapa kamu selalu menanyakan alasan dari semua hal yang aku katakan padamu?"

Diara mengedipkan mata. Bibir berpoles lipstik nude itu tertutup rapat.

Sagara menunggu Diara mengatakan sesuatu. Akan tetapi, entah dari mana datangnya dorongan itu. Sedikit demi sedikit, pria itu mengurangi jarak yang tersisa. Semakin dekat ... semakin dekat.

Hingga tinggal satu centimeter kemudian, Diara menggerakkan kakinya. Mundur satu langkah. "Apa Anda menunggu saya hanya untuk menunjukkan ini?" tukasnya.

Sagara memejamkan mata. Tersadar atas keteledorannya. Kedua tangannya mengepal.

"Berhenti bersandirawa, Sagara Sebastian," ucap Diara dengan nada sedikit menekan.

Sagara membuka mata. Diara sudah tidak ada. Seandainya bukan jam kerja, pasti dia sudah melakukan hal gila seperti kemarin sore.

.

"Gimana? Bisa, 'kan? Tolongin aku, please."

"Enggak bisa. Kakak sibuk. Akhir tahun baru bisa pulang,"

"Please, Kak Devan. Cuma sehari aja. Tanggal 14, doang!"

"Sehari kamu bilang? Terus perjalanannya gimana? Dari Kanada ke Jakarta itu 14 jam, lho! Belum lagi perjalanan pulang?"

"Kenapa sih, enggak bisa berkorban sekali aja demi adikmu ini?"

Terdengar embusan napas berat. "Kakak udah berkali-kali ajak kamu buat tinggal di sini sama Kakak. Kenapa kamu menolak terus?"

Diara tak menjawab.

"Di," panggil Devan.

"Mm?"

"Sampai kapan?"

"Apanya?"

"Berdiri di belakang batu karang."

Diara tak sanggup lagi menjawab. Hanya bisa menggigit bibir bawahnya.

"Pikirkan baik-baik alasan kamu melakukan ini semua. Apa itu membuat kamu nyaman, atau tersiksa?"

Diara memejamkan mata. "Ya udah, percuma aku telpon Kakak."

"Diara! Di--"

Diara memutuskan sambungan. Melempar ponsel ke jok sebelah, kemudian melajukan kembali mobilnya.

Sia-sia usahanya membujuk Devan--kakak lelakinya, untuk menemani di pesta valentine nanti. Lagi-lagi Diara merutuki kebodohannya. "Harusnya, gue diem aja kayak tahun-tahun lalu. Kekasih? Cowok dari mana?"

Mobil berhenti di depan rumah minimalis berwarna hitam abu. Setelah memasang cover car, Diara pun masuk ke dalam rumah yang sudah ditempatinya selama lima tahun.

"Udah pulang, Di?" Anye yang baru keluar dari kamar, bertanya heran ketika melihat Diara sudah berdiri di depan kulkas.

Diara tak langsung menjawab. Dia mengambil satu botol air mineral. Membawanya ke ruang tengah, lalu duduk di atas sofa. "Biasanya juga jam segini?" Diteguknya air dingin itu tanpa henti, hingga menyisakan kurang dari setengah botol.

Anye terheran melihatnya. "Tahun lalu, enggak kayak gini," tukasnya. Ikut mengempaskan tubuh di salah satu sofa kosong.

Diara menyimpan botol yang sudah dia tutup kembali di atas meja. "Besok juga gue bisa pulang kerja di jam normal."

Anye menaikkan sebelah alisnya.

Diara lalu mengempaskan punggungnya secara kasar. "Astaga, harusnya waktu itu gue enggak batalin acara bunuh diri gue!"

"Diara! Lo ngomong apaan, sih?!" bentak Anye.

"Nye, lo bisa enggak nyamar jadi cowok?"

Anye melempar bantal ke arah Diara. "Sialan, lo!"

Diara melempar asap bantal yang mengenai perutnya. "Apa gue pura-pura kecelakaan aja, ya? Terus pura-pura koma selama seminggu."

"Lo ngomong apaan, sih?" Anye semakin penasaran.

Diara pun menceritakan dilema yang dia hadapi saat ini.

"Lo telpon Kak Devan, bangunin dia yang lagi tidur, cuma buat ngomong gitu?!" pekik Anye.

"Ya, abis. Gue mesti telpon siapa lagi? Cuma dia cowok yang gue kenal secara dekat," dalih Diara.

"Iyalah, orang dia kakak elo!"

Diara melirik Anye sekilas, lalu mengembuskan napas pendek dari mulutnya.

Anye menggelengkan kepala. Merasa heran dengan kelakuan sahabatya.

"Apa gue ... cari cowok sewaan aja, Nye?"

"What? Cowok sewaan? Emang ada?"

"Orang kalau butuh duit, rahim aja disewain," sahut Anye.

"Terus, gimana kalau cowok sewaan lo itu macem-macem?"

"Orang cuma dipake sehari. Enggak, ding. Dari jam 7 sampe tengah malem, doang. Mana sempet dia macem-macem? Beres pesta gue suruh dia pergi."

Anye termenung sejenak. "Lo mau gue kenalin sama salah satu orang tua murid gue?"

"Suami orang?" Diara terperanjat.

"Duda. Istrinya meninggal setahun lalu. Dia cinta banget sama almarhum istrinya, makanya belum sanggup buat cari pengganti," papar Anye.

Diara menyipitkan mata. Bibirnya perlahan melengkung ke atas. "Boleh dicoba."

"Ya udah, nanti gue cari cara biar lo bisa ketemuan. Gue jelasin semuanya sama dia kalau lo udah setuju, takutnya lo enggak cocok sama tampangnya."

"Kalau dia enggak mau?" Diara merasa cemas.

"Ya, elo cari cowok sewaan," cibir Anye. "Dah, ah. Gue mau siapin makan malem."

Diara menatap Anye yang berjalan ke arah dapur. 'Di mana gue bisa nemuin cowok sewaan?', pikirnya.

***

Hari berlanjut seperti biasa. Seperti di bulan Januari, atau Desember, dan bulan-bulan lainnya. Baru kali ini Diara menjalani bulan Februari dengan sedikit lebih nyaman. Walau pada kenyataannya, rasa cemas masih sering menghantui. Setidaknya, gosip itu sudah berhenti. Tatapan beserta ejekan-ejekan itu pun tak lagi dia dapatkan.

Diara keluar dari lift. Melangkah dengan tenang ke arah mejanya. Sedikit terheran ketika melihat Saskia berdiri di sana.

"Pagi, Di," sapa perempuan yang memakai dress berwarna kuning pucat itu.

"Pagi," sahut Diara. Meletakkan tas lalu duduk di kursi.

"Di, gue mau minta maaf." Saskia duduk di kursi milik Gina.

"Minta maaf buat apa?" Diara bertanya dengan nada tak acuh.

"Buat ... sikap gue kemarin. Maaf, gue takut orang-orang nyangka gue ...."

Diara mengangguk beberapa kali. Memutar kursinya hingga berhadapan dengan komputer. "Lo takut disangka pasangan lesbong gue?" tukasnya sambil menyalakan komputer.

"Ya, lo 'kan tau kalau gue udah punya tunangan. Gue takut ...."

"Kita udah saling kenal lama, lho, Sas. Hampir lima tahun kita ngampus bareng. Terus gue ngelamar kerja di sini, beberapa bulan kemudian lo juga kerja di sini. Itu artinya ... hampir sepuluh tahun kita temenan. Lo lupa itu semua?"

"Bukannya gue lupa, tapi ... ya, pokoknya gue minta maaf. Mau 'kan lo maafin gue?" Saskia mengiba.

Diara memalingkan wajah, memberi seulas senyum. "Udah gue maafin."

"Thanks." Saskia menggenggam tangan kanan Diara. "Lo mau makan siang di mana entar? Kita barengan."

"Gue udah ada janji makan siang sama Anye," pungkas Diara.

"Oh, temen serumah lo itu?"

"Sahabat rasa saudara lebih tepatnya," tambah Diara.

"Ah, iya. Gue lupa," tutur Saskia sedikit canggung. "Ya udah, gue balik ke tempat gue, ya. Dah!"

"Ya!" sahut Diara. "Ckckck, itulah kenapa kita jangan mudah percaya sama orang," gumamnya selepas Saskia pergi.

.

Diara menghentikan mobil di depan bangunan dua lantai, dengan cat warna-warni yang menghiasinya. Dibacanya dengan cermat tulisan di papan yang tertera, "Taman Kanak-kanak Anak Bangsa. Yup, enggak salah lagi. Ini sekolah tempat Anye mengajar."

Tak lama, sesosok perempuan dengan seragam khas tenaga pengajar berdiri di ambang pintu. Diara pun keluar dari mobil.

"Susah nyarinya?" tanya Anye setelah berhadapan dengan Diara.

"Enggak. 'Kan pake maps," ujar Diara menunjukkan layar ponselnya.

"Dasar! Ayo, sini masuk," ajaknya. "Eh, gue lupa. Ngomongnya jangan 'lo gue', ya. Ada bocah," sambungnya.

"Siap, Bu Guru." Diara memberi tanda hormat. "Ngomong-ngomong, ini ada acara apa?"

"Persiapan buat lomba melukis. Kebetulan Genta terpilih jadi wakil dari TK kita, dan hari ini Mas Keanu mau jemput dia."

Diara menaikkan alis.

"Lo ... maksudnya kamu lihat aja dulu orangnya. Nanti kalau cocok, kita bikin jadwal ketemuan. Gimana?"

"OK!" Diara menautkan jempol dan telunjuknya.

"Itu, Mas Keanu datang," bisik Anye. Lalu dia berjalan kembali ke arah pintu masuk.

Diara menatap dari balik jendela. Seorang lelaki berpakaian perlente keluar dari dalam mobil. "Ckckck, duda anak satu. Visualisasi yang pas buat tokoh lelaki di cerbung Duda Keren Itu Mantan Suamiku," gumam Diara, menyebutkan salah satu cerbung yang dimuat di majalah tempatnya bekerja.

Tampak Anye berbincang sebentar, lalu mengajak Keanu untuk masuk. Diara berpura-pura memainkan ponselnya.

"Guru baru?" tanya Keanu ketika melihat Diara.

"Ini teman saya, Mas. Kebetulan kami mau makan siang," terang Anye. Lalu memberi kode pada Diara.

Diara menautkan alis, melihat isyarat Anye. "Ah, iya. Saya teman Anye. Kami mau makan siang bersama. Kenalkan, nama saya Diara," ujarnya sambil mengulurkan tangan.

"Keanu," timpal lelaki itu sambil membalas jabatan tangan Diara. "Apa Genta sudah selesai latihannya?" sambungnya menatap aembali Anye.

"Sudah. Genta sedang membereskan peralatan gambarnya," tunjuk Anye ke salah satu ruangan.

"Kalau begitu saya permisi untuk melihatnya." Keanu menganggukkan kepala pada Anye dan Diara.

"Silakan," ujar Anye.

Diara menatap Keanu. Lelaki itu mencium pipi, memeluk Genta, lalu menggendongnya. Tampak akrab dan dekat, bercengkrama diselingi tawa. Pemandangan yang belum pernah Diara saksikan seumur hidup secara nyata. Dia berpikir, adegan seperti itu hanya ada di dalam sinetron dan film-film semata.

"Gimana?" bisik Anye, menyenggol pundak Diara.

Diara merunduk, lalu tersenyum. 'Baiklah, ini bukan saatnya untuk memberi penilaian secara mendalam. Hanya tentang fisik,' batinnya. "Ya," ujarnya pendek setelah mengangkat kembali kepalanya.

Anye tersenyum lebar.

Keanu berpamitan untuk pulang. Sedang Anye dan Diara pergi ke sebuah kafe untuk makan siang bersama.

Selama melewati waktu bersama Anye, kilasan adegan Keanu mencium, memeluk dan menggendong putranya, terus melintas di benak Diara. Entah kenapa, dia merasa itu adalah sebuah keindahan luar biasa yang bisa dirasakan oleh seorang anak.

.

"Kak, lagi apa?" Diara bertanya tak lama setelah Devan mengangkat teleponnya.

"Kamu lagi apa?"

"Mau tidur."

"Itu artinya apa?"

"Kakak lagi kerja."

"Kenapa belum tidur? Di Jakarta udah jam sepuluh malam."

"Ini 'kan baru mau," dalih Diara. "Kak, aku mau nanya sesuatu."

"Apa?"

"Kakak, pernah enggak, dipeluk ... dicium, terus digendong sama ... Papa?"

Hening sejenak. Devan tidak memberi jawaban.

"Kak," desak Diara.

"Belum pernah." Devan menjawab tanpa aling-aling apa pun.

"Mama?" tanya Diara dengan suara berat, menahan isak tangis yang hampir keluar.

"Pernah. Sebelum dia meninggal. Makanya Kakak menyesal, kenapa harus ikut Papa ketika orang tua kita bercerai. Kakak nyesel," lirih Devan.

Diara tak sanggup lagi menahan bendungan air matanya. "Aku kangen Mama, Kak."

"Kakak juga. Kakak kangen Mama. Kangen banget."

***

Akhir pekan. Diara menggunakan waktu liburnya untuk pergi ke tempat gym terdekat. Walau tidak setiap hari berolahraga, setidaknya dia memiliki usaha untuk menjaga postur tubuh juga kesehatannya.

Beberapa kaum adam memerhatikan Diara. Namun, seperti biasa itu tidak akan membuatnya terpengaruh. Dia tetap fokus dengan kegiatannya sendiri.

Diara memilih alat olahraga treadmill. Dengan alasan cara penggunaannya yang sederhana, tapi cukup membuat berkeringat. Setelah memilih kecepatan yang diinginkan, Diara mulai menggerakkan kaki.

"Diara, ya?"

Diara menoleh. Hampir kakinya terpeleset karena terkejut melihat sosok makhluk yang menyebut namanya. Beruntung dengan sigap pula dia bisa mengendalikan semuanya. Ditekannya salah satu tombol. Hingga gerak kakinya bisa berhenti.

"Maaf, saya pasti sudah mengganggu."

"Tidak apa, Mas Keanu. Saya kurang fokus," ucap Diara.

"Suka nge-gym di sini juga?" tanya Keanu.

"Jarang-jarang sih, sebenarnya. Cuma kalau lagi libur aja," sahut Diara.

"Oh." Keanu menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Baiklah, kalau begitu. Silakan dilanjut. Saya sudah selesai, waktunya pulang."

"Ya, selamat jalan. Hati-hati," ucap Diara.

Keanu meraih tas-nya lalu menganggukkan kembali kepala.

"Astaga, dia benar-benar cocok untuk menjadi visualisasi Duda Keren Itu Mantan Suamiku. Selain tampan, tubuhnya juga seksi. Ckckck." Diara menatap kepergian Keanu.

.

"Gue pulang!" teriak Diara setelah menutup pintu.

"Di, ini hebat!" pekik Anye histeris yang menyambut kedatangannya.

"Apa?" Diara terheran.

"Ini, lihat." Anye menunjukkan layar ponselnya.

Diara membaca isi chat Anye dengan seseorang. "Bu Anye, boleh saya minta nomor kontak Diara?" Bibirnya mencebik sejenak. "Siapa emang?"

"Ini baca," tunjuk Anye pada bagian atas layar.

"Papa Genta," ucap Diara pelan. "Keanu?" tanyanya tak percaya.

"Iya."

"Barusan ketemu di gym, kenapa enggak minta sama gue?"

"Ya, malu kali. Atau, dia mulai kepikiran lo pas udah sampe rumah."

Diara terheran sendiri. "Lo udah kasih nomor gue?"

"Udah. Ini," tunjuk Anye lagi.

"Kenapa enggak nunggu gue?" Diara bertanya kesal.

"Inget, sekarang udah tanggal 6. Lo harus cepet-cepet pepet dia sebelum tanggal 14."  Anye mengingatkan.

Diara menggaruk kepalanya. "Enggak tau, ah. Gue jadi enggak mood lagi buat cari cowok sewaan," tandasnya. Lalu memilih masuk ke dalam kamar.

"Eh, Di! Dia ganteng, lho! Seksi lagi. Mirip ahjussi-ahjussi Korea!" teriak Anye.

Diara tak peduli. Ditutupnya pintu kamar, lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Getaran ponsel membuatnya terenyak. Diraihnya segera smartphone di atas bantal itu. Ada pesan baru dari nomor tanpa nama.

"Jika ada waktu luang, bolehkah saya mengajak Mbak Diara makan malam?"

Ditekannya gambar profil si pengirim. Foto seorang lelaki dewasa bersama seorang anak lelaki berusia lima tahunan.

"Keanu?" gumam Diara tak percaya. "Ah, mati aku," lirihnya lesu.

*****

--bersambung--

avataravatar
Next chapter