2 2. Diara Dan Frustasinya

Diara melirik jam digital di sebelah kiri meja, 05 : 47 pm. Lalu mengelilingkan pandangan ke setiap penjuru ruang. Hening. Hanya ada dirinya, dan komputer yang masih menyala.

Gina sudah berpamitan satu jam yang lalu, lalu Bandan sepuluh menit kemudian. Sempat lelaki itu menawarkan bantuan dan keikhlasannya untuk menunggu, tapi Diara jelas menolak keras. Menyuruh Bandan pergi saat itu juga.

"Pulang saja duluan, enggak usah nungguin. Aku mau menyelesaikan ini untuk rapat besok," dalih Diara.

Akhirnya Bandan pergi dengan membawa perasaan sedih. Terlebih dia merasa iba pada Diara atas gosip yang tersebar sejak tadi siang.

Setelah dirasa cukup sepi, Diara mematikan komputer. Menyandarkan punggung, lalu menarik napas dalam. Terbersit ejekan-ejekan itu di telinganya, ketika dia berada di toilet tadi sore.

"Bu Diara?! Enggak sangka. Padahal cantik banget. Sayang, 'kan?"

"Pantes enggak pernah kelihatan jalan sama cowok, atau dianter jemput gitu."

"Kasihan, ya. Stok cowok di kantor kita padahal masih banyak yang jomlo, lho!"

"Katanya, Pak Guntur ngajak kencan aja ditolak. Kalau aku, duda keren kayak gitu, sikat aja!"

"Iya, itu elu. Bu Diara 'kan beda."

"Berani banget dia nolak pemilik perusahaan. Ckckck. Cantik tapi songong, jadinya susah laku."

Lalu tawa menggema. Sementara Diara menenggelamkan kepalanya di antara kedua telapak tangan. Mendengarkan gunjingan-gunjingan itu di balik dinding WC.

Diara sadar, orang-orang pasti akan berpikiran aneh tentang dirinya. Akan tetapi, dia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. 'Homoseksual? Aku perempuan normal,' batinnya.

Diraihnya ponsel di samping tas. Menggeser ikon gembok. Tampak notifikasi pada layar, tiga panggilan tak terjawab dari Anye. Perempuan yang bekerja sebagai guru taman kanak-kanak itu pasti mencemaskan sahabatnya.

"Sudahi drama ini, Di. Kamu kuat," gumam Diara. Kemudian berdiri dan menyambar tas hitam merk ternama di sisi kanan meja setelah memasukkan ponsel ke dalamnya. Detak heels menggema di tengah koridor gedung yang sepi. Langkahnya pelan tapi berat.

Hingga tiba Diara di depan lift. Menunggu beberapa detik setelah menekan salah satu tombol. Ketika pintu terbuka, dan kakinya hendak melangkah. Dia terkejut luar biasa, karena ada sosok yang mendahuluinya masuk. "Pak Sagara?" Kedua alisnya bertaut.

Lelaki itu sudah berdiri di dalam lift, menghadap ke arah Diara. "Silakan, masih kosong."

Diara menggerutu dalam hati. 'Apa maksudnya? Apa dia belum puas dengan perdebatan tadi?', batinnya seraya melangkahkan kaki. "Lembur, Pak?" tanya Diara sesopan mungkin setelah berdiri di bagian sisi yang lain.

"Ya. Kamu tau 'kan besok rapat seluruh staf? Aku ingin semua selesai sebelum waktunya," sahut Sagara dengan nada datar.

"Tentu," timpal Diara tak kalah datar.

Suasana hening beberapa saat. Keduanya berusaha mengendalikan diri dan perasaan, agar tidak menimbulkan keributan. Hingga pintu lift terbuka, Diara melangkah lebih dulu.

"Diara," panggil Sagara. Sepertinya dia sudah tak tahan untuk bersuara sedari tadi.

Agak malas Diara menghentikan gerak kakinya. "Ya?" sahutnya setelah berbalik.

Sagara berdiri tepat di depan pintu lift, dengan kedua tangan menelusup di saku celana. "Kamu pasti terganggu dengan gosip itu?" Kali ini suaranya terdengar lebih lembut.

Diara mengembuskan napas sambil membuang pandang. 'Kenapa bisa berubah sedrastis itu dalam waktu cepat?, pikirnya. Bibir tipisnya melengkung sempurna. "Bukankah itu membuat Bapak senang?" tukasnya, menatap kembali lelaki berbadan tegap yang berdiri dua meter di depannya.

Sagara tertawa sejenak. Sayangnya, seperti dipaksakan. Tidak ada kesan rasa lucu di dalamnya. "Senang kamu bilang?" ucapnya. Lalu mengeluarkan kedua tangan itu, dan berjalan dua langkah ke arah Diara. "Awalnya aku senang. Kupikir, ini akan membuatmu menjadi sangat terpuruk. Tapi aku tau, kamu bukan perempuan seperti itu," ujarnya. Sagara merasa pertahanan dirinya sudah runtuh semenjak di dalam lift tadi. Hanya saja dia berusaha menahan, menunggu waktu tepat.

Diara melipat tangan di dada dengan senyum tipis.

"Aku tau jelas, bagaimana kondisi hatimu."

"Anda tidak tau apa-apa tentang saya," sanggah Diara.

"Aku tau. Aku tau, Diara Oktavia. Karena tiga belas tahun lalu, aku pernah melihatmu menangis karena hal-hal seperti ini."

Diara berdehem. "Itu dulu. Ketika saya masih SMA," elaknya.

"Kupikir sekarang pun masih sama. Seorang Diara, hanya perempuan yang berusaha terlihat tegar dan kuat, padahal hancur di dalamnya."

Diara menurunkan kedua tangan dengan agak mengentak. "Cukup! Anda tidak berhak menilai saya seperti itu! Lagi pula, untuk apa Anda harus repot-repot memerhatikan kondisi saya?" Napasnya tersengal menahan amarah. "Sekali lagi Anda mengusik kehidupan saya, akan saya laporkan ke bagian HRD." Telunjuknya mengarah pada Sagara. Diara berputar lalu melangkah lebar.

"Karena aku masih mencintaimu, Ara!"

Diara menghentikan langkah kakinya.

"Berapa kali harus kukatakan, kalau aku tidak akan pernah menyakitimu? Seperti Papamu yang menyakiti Mamamu, atau seperti Kak Nabila yang menyakiti Kak Devan."

Diara merunduk. Matanya mulai menghangat. "Itu semua tidak akan cukup, untuk membuatku percaya pada sesuatu yang kamu sebut cinta."

Sagara melangkah, menarik tangan Diara. Hingga tubuhnya berhasil dia rengkuh. "Sudah kukatakan, aku akan berusaha membuatmu percaya," bisik Sagara.

Diara berontak, melepas diri dari lingkaran lengan kokoh itu. "Cukup. Cukup! Jangan membuatku untuk semakin membencimu dan cintamu!" Kemudian berlari menuju lobi.

Ingin sekali Sagara mengejarnya. Namun, dia tahu itu tidak akan baik untuknya atau pun Diara. Hanya akan memperburuk hubungan mereka.

Sagara mengusap wajah, mengerjapkan mata dalam. Berusaha menghilangkan perasaan yang membelenggu hatinya. Rasa menyesal, setiap kali dia mengungkapkan isi hatinya. Karena Sagara tahu, akhirnya akan selalu seperti ini.

Selama ini, orang-orang memang selalu melihat Sagara dan Diara adalah musuh. Musuh, karena di awal masuk kantor keduanya pernah dekat, lalu bertengkar karena sesuatu hal. Semua teman kantor menganggap dua makhluk itu seperti air dan minyak, yang sulit bersatu. Tanpa mereka tahu, jika dulu Sagara dan Diara adalah teman dekat, seperti bunga dan lebah yang saling melengkapi.

Karena perasaan cinta yang dimiliki Sagara lah, yang menjadi penyebab renggangnya hubungan mereka.

Sagara berdiri di pintu lobi, menatap mobil Diara yang sudah keluar dari area parkir. Sia-sia usahanya menunggu perempuan itu selama satu jam. Ya, Sagara sengaja berdiri di balik pintu ruangannya, demi menanti Diara keluar dari meja kerja.

Sesungguhnya, hati Sagara mulai cemas ketika mendengar gosip itu. Walau pun teman-temannya mengetahui kebiasaannya bertengkar dengan Diara, tapi mereka tidak tahu tentang perasaan yang dia pendam selama ini. Sindiran-sindiran dan ejekan yang dia lontarkan, hanyalah pengalihan dari perasaannya.

Selama ini, hanya Sagara lah yang tahu, seperti apa Diara. Kenapa dia selalu menolak ajakan kencan para lelaki itu, juga kebiasaannya yang tidak pernah datang di pesta valentine. Namun, semua perhatian itu tidak akan pernah bisa dia ungkapkan, karena Diara lebih memilih menganggapnya musuh dari pada sahabat.

Diara, tidak akan pernah percaya pada Sagara, dan cintanya. Itu kenyataannya.

.

Suara pintu berdentum. Terang saja membuat Anye yang sedang asyik berkutat dengan laptop di pangkuannya terperanjat. "Di, udah pulang?" tanyanya. Bukan hal aneh jika sahabatnya itu pulang dalam keadaan seperti ini.

"Hmm," sahut Diara. Kedua kakinya melangkah menuju dapur. Membuka kulkas, lalu mengambil sebotol air minum.

"Tadi pagi lo enggak bilang mau lembur?"

Diara tak menjawab pertanyaan Anye. Lebih memilih menjatuhkan tubuh di atas sofa jenis bridgewater berwarna abu-abu pekat.

Anye menggelengkan kepala. Perempuan berlesung pipi itu juga termasuk salah satu orang yang mengetahui bagaimana kehidupan Diara sesungguhnya. Semenjak masih duduk di bangku sekolah dasar, dia menyaksikan secara langsung drama demi drama yang harus dihadapi Diara. Walau selepas SD mereka berpisah, tapi masalah jarak tak pernah menjadi penghalang. Komunikasi mereka tetap terjalin meski hanya lewat telepon kabel.

Hingga akhirnya selesai kuliah, Diara menemui Anye, dan meminta izin untuk tinggal bersamanya. Tentu saja Anye tak sanggup menolak. Karena dia tahu betul bagaimana kondisi psikis sahabat masa kecilnya. Padahal rumah miliknya sangatlah sederhana, dan berada di lingkungan yang terbilang biasa. Berbeda dengan kediaman Papanya. Rumah mewah yang terletak di kawasan elit.

"Udah makan?" Anye bertanya tanpa mengalihkan tatap mata, tetap fokus pada layar di depannya.

"Entaran, lah," ketus Diara. Menarik tubuhnya, lalu berjalan ke arah kamar.

Pintu kembali berdentum. Membuat Anye harus memejamkan mata. "Ckckck, apa harus aku minta pemerintah untuk menghapus bulan Ferbuari?" gumamnya.

Di dalam kamar, Diara kembali menjatuhkan tubuh di atas ranjang berukuran double berbalut sprei motif polkadot hitam putih. Pikirannya semrawut, antara ejekan teman kantor dan ... ucapan Sagara.

"Aku tau jelas, bagaimana kondisi hatimu."

"Seorang Diara, hanya perempuan yang berusaha terlihat tegar dan kuat, padahal hancur di dalamnya."

Diara memejamkan mata. Kata-kata yang terlontar dari bibir Sagara, benar-benar menusuk hatinya. Air mata yang sempat dia tahan ketika masih di kantor tadi, kini keluar dengan bebas tanpa bisa dikendalikan.

Di ruang tengah, Anye masih mengerjakan tugas. Sesekali diliriknya pintu kamar Diara. Rasa cemas semakin menjadi.

Anye memang tahu, setiap bulan Februari Diara selalu uring-uringan. Mengeluh tentang atasannya, pesta valentine, juga ejekan-ejekan teman kantor. Namun, Diara selalu berhasil mengatasinya. Anye tahu jika Diara adalah pribadi yang bisa menyembunyikan perasaannya di depan orang-orang, dari dulu.

Anye ingat betul, ketika teman SD mereka mengejek Diara sebagai 'Anak Tante', itu karena setiap pengambilan raport Papanya selalu datang bersama perempuan yang berbeda, dan Diara selalu memperkenalkannya sebagai Tante.

Diara sanggup menghadapi anak-anak bandel itu dengan berani. Berteriak dan mengancam akan membalas dendam. Namun, ketika waktu pulang tiba, Diara selalu menjadi anak terakhir yang meninggalkan kelas.

Di situlah Anye sadar, jika Diara membutuhkan teman. Sejak kelas 4 hingga lulus sekolah dasar, mereka menjadi sahabat. Bahkan beberapa kali Anye melihat sendiri pertengkaran Mama dan Papa Diara ketika berkunjung ke rumahnya. Diara tampak sudah terbiasa dengan hal itu.

Hingga di suatu malam, Diara sengaja datang menemui Anye ke rumahnya. Meminta untuk menginap walau hanya semalam. Akhirnya, menjelang tengah malam, Diara menangis secara tiba-tiba. Karuan Anye terkejut. Dengan setia dia mendengarkan permasalahan sahabatnya. Diara mengadukan rasa lelahnya karena masalah yang menimpa orang tuanya, sejak dia masih berusia enam tahun.

Anye tersadar. Disimpannya laptop di atas meja, kemudian beranjak dan berjalan ke arah kamar Diara. "Di, are you okay?" tanyanya. Diketuknya pintu beberapa kali, tak ada sahutan. "Di, jangan bikin gue cemas!" ucapnya lebih keras.

Prang!

"Di!" Anye membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. "Diara!" jeritnya, melihat pecahan gelas berserakan di lantai, dan sang penghuni sedang menangis di sudut kamar. Diara duduk memeluk lutut, dengan kepala yang tenggelam di antara kedua lengan.

"Gue capek, Nye. Gue cape. Mereka yang salah, mereka yang jahat. Tapi kenapa gue yang harus menanggung beban ini," lirih Diara.

Anye memeluk erat tubuh Diara. Mengusap kepalanya penuh kelembutan. Anye tak sanggup berkata apa-apa, yang ada dia malah ikut menangisi keadaan sahabatnya.

***

Matahari datang bersama sinar hangat dan cahaya terangnya. Anye menyiapkan nasi goreng kecap dan telur mata sapi sebagai menu sarapan. Berkali-kali dia menguap karena rasa kantuk yang masih bergelayut di kedua mata.

Bagaimana tidak. Anye baru bisa beristirahat pukul satu malam. Itu pun setelah dia berhasil membujuk Diara untuk meminum obat penenang. Jika tidak seperti itu, maka Diara akan sulit berhenti mengeluarkan air matanya.

Di sela isak tangis, Diara mencurahkan isi hatinya. Membuatnya ikut bersedih akan nasib yang menimpa sahabatnya.

Suara kursi bergeser memutus fokus Anye dari gelas yang sedang dia aduk.

"Pagi," sapa Diara mengempaskan bagian bawah tubuhnya.

"Pagi," sahut Anye. Lalu meletakkan satu gelas di depan Diara, dan satu gelas lagi di tempat dia duduk.

"Kenapa enggak bangunin?" Suara Diara masih terdengar serak.

"Gue kira lo enggak kerja," dalih Anye.

"Hari ini ada rapat penting." Diara meraih gelas, meneguk susu vanilla itu hingga menyisakan setengahnya.

Anye menyimpan piring berisi nasi goreng untuknya dan satu untuk Diara. Lalu duduk, mengembuskan napas kesal. "Kenapa enggak pindah kerja aja, sih?" protesnya.

"Buat apa? Enggak bakalan mengubah hidup gue."

Anye menatap wajah datar Diara yang sedang menyantap sarapannya. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau emang enggak bisa menang, buat apa masih bertahan untuk ikut berperang?"

Diara tetap mengunyah makanannya, tampak tak acuh dengan peringatan Anye. "Gue nunggu, sampai mereka kelelahan dalam perang ini," ucapnya setelah menelan habis isi mulutnya.

"Kalau musuh lo satu orang, mungkin bisa. Tapi kalau pasukannya banyak, lo yang lama-lama kelelahan, Di."

Diara terdiam. Membenarkan pemikiran Anye. 'Sampai kapan?', pikirnya.

"Kalau lo mau bikin mereka tumbang sekaligus, lo harus menyerang mereka dengan satu ledakan dahsyat."

Diara menautkan alis. Menatap Anye yang duduk di seberangnya. "Bom?"

"Cowok."

"Cih." Diara membuang muka.

"Cuma itu satu-satunya cara, buat menunjukkan sama mereka kalau lo itu perempuan normal."

Diara tak menyahut lagi. Memilih menghabiskan makanannya karena takut terlambat bekerja.

.

"Selamat pagi, Bu Diara."

"Pagi, Pak." Diara membalas sapaan security kantor ketika memasuki pintu lobi. Gerak tubuhnya terlihat santai dengan langkah kaki tenang, berjalan menuju arah lift.

Diara berdiri. Beberapa karyawan pun ikut menunggu di belakangnya. Sekitar tiga puluh detik, pintu lift terbuka. Diara masuk dan memilih tempat di bagian depan--selalu seperti itu sebenarnya, jika para pengguna lift dirasa cukup banyak. Sedang karyawan lain, berdiri di belakangnya.

Hampir pintu tertutup, dengan cepat Diara menekan tombol open lagi. "Saskia, ayo!"

Sosok yang dipanggil mematung. Lalu menggelengkan kepala. "Duluan aja," sahutnya.

Diara menaikkan alis. Tidak biasanya Saskia menolak. Tak mau ambil pusing, Diara menekan kembali tombol close.

Bisik-bisik terdengar dari arah belakangnya. Seorang karyawati perempuan mendekatkan bibir ke telinga teman di sampingnya. Diara bisa melihat itu dari pantulan bayangan di depannya.

Diara pun bisa merasakan, ketika berpasang-pasang mata memerhatikan langkahnya sewaktu keluar dari lift. Bukan hal aneh, jika orang-orang memerhatikannya. Gaya berpakaiannya yang trendi, ditunjang bentuk tubuh ideal, memang selalu menjadi bahan pujian.

Hanya saja kali ini, tatapan yang mereka berikan bukan sebuah bentuk dari kekaguman. Lebih terlihat seperti ... ejekan. Diara paham itu.

Bandan enggan berkedip, melihat atasannya berjalan ke arah meja di sampingnya. Diara memakai kemeja putih dipadu rok kain hitam pendek dengan model payung yang menutupi bagian bawah tubuh sebatas lutut. Sepatu high heels putih setinggi 10 centimeter dan tas lengan hitam yang semakin mempercantik penampilannya.

"Se ... lamat pagi, Mbak," sapa Bandan.

"Pagi," balas Diara seperti biasa. Tanpa ekspresi dan nada datar. Dia menyimpan tas dan duduk di kursinya. Mengeluarkan flashdisk dan memasangkan di komputer.

"Mau saya buatkan kopi?" tawar Bandan.

Diara menyalakan perangkat kerjanya itu. "Selama bekerja di sini, apa kamu pernah melihat saya minum kopi?" tanyanya balik tanpa menoleh ke arah pria di sampingnya.

Bandan meringis. Dia pikir, Diara akan bersikap sedikit lebih lembut dalam keadaan seperti ini. Apalagi mengingat jika dirinyalah orang pertama yang memberi tahu tentang gosip di kantor mereka.

"Selamat pagi, Mbak Diara," sapa Gina yang baru saja duduk di kursinya.

"Pagi," sahut Diara tak acuh.

"Pagi, Bandan." Gina pun menyapa teman satu timnya.

"Pagi, Gina." Bandan menganggukkan kepala.

Gina mengarahkan bola matanya ke arah Diara. Bandan menautkan alis tak mengerti. Akhirnya Gina menggelengkan kepala, lalu memutar posisi duduknya ke arah komputer.

"Diara, sudah siap?" Jennie berdiri di depan meja Diara.

Diara menganggukkan kepala. "Sudah."

"Kita ke ruang rapat sekarang."

"Sekarang?" Diara bertanya heran. Lalu melirik jam tangan di lengan kanannya.

"Aku tau ini masih pagi. Bahkan beberapa staf masih menikmati kopi pagi mereka. Entah kenapa Pak Guntur ingin mempercepat rapat ini," omel Jennie. "Ayo!" ajaknya lagi.

"Baik." Diara mengangguk. Mencabut flashdisk-nya, membawa buku catatan dan balpoin. Kemudian berdiri, berjalan bersama Jennie.

Memasuki ruang rapat, beberapa kursi masih terlihat kosong. Diara duduk bersebelahan dengan Jennie. Tak lama, Saskia masuk. Diara menunjuk kursi di sampingnya dengan gerakan kepala, tapi Saskia menggeleng. Memilih duduk di kursi lain.

'Ada apa? Apa karena ...?', batin Diara. Sikap Saskia memang berubah. Tepatnya setelah makan siang mereka kemarin.

Diara mengenyahkan pikirannya, memilih fokus pada rapat bulanan ini.

Majalah Woman And Beauty, adalah majalah perempuan yang menyuguhkan berita terhangat tentang banyak kaum hawa, baik dalam negeri mau pun luar negeri. Tentang inspirasi, gaya hidup, juga fashion terkini. Terbit setiap tanggal 14, dalam bentuk digital platform. Tentu saja, pada era seperti ini, kemajuan teknologi pun banyak memberi pengaruh pada berbagai media.

Pak Guntur Wiradinata, salah satu pemilik saham terbesar, yang ditunjuk sebagai pimpinan. Sangat berusaha keras untuk mempertahankan eksistensi majalah yang diproduksi perusahaannya.

Bagi sebagian karyawan, Pak Guntur pun menjadi ikon dalam perusahaan mereka. Lelaki berusia empat puluh satu tahun itu, masih tampan dan terlihat gagah. Gaya berpakaiannya, juga cara berbicaranya. Namun, tidak di mata Diara.

Sejak beberapa bulan lalu, setelah Pak Guntur menyandang status single. Lelaki itu mulai mendekati Diara. Mengirim chat, menanyakan masalah tak penting, hingga akhirnya mengajak makan malam. Di situlah Pak Guntur mengungkapkan hasratnya pada Diara untuk menjalin hubungan serius.

Diara jelas menolak. Terlebih ketika tahu, Pak Guntur bercerai dengan mantan istrinya karena kehadiran orang ketiga. Sejak saat itu, sikap sang pimpinan berubah drastis pada Diara.

.

Rapat berlangsung dengan sangat baik. Tak ada kendala apa pun. Mungkin karena seluruh staf yang bekerja sangat berkompeten dan profesional, sehingga tak ada sedikit pun masalah dalam pembahasan bulan ini.

"Baiklah kalau begitu, rapat kita akhiri saja," ucap Pak Guntur.

Beberapa karyawan mulai membenahi peralatan kerjanya, pun Diara.

"Diara." Pak Guntur memanggil karyawannya dengan suara tegas.

Diara menoleh ke arah lelaki yang disebut-sebut memiliki aura dan kharisma tinggi itu. "Ya?"

"Pesta kali ini, datang, 'kan?" Senyum tipis terukir di wajah Pak Guntur.

Diara tak harus mempertanyakan lagi, kenapa sampai atasannya bertanya seperti itu. Bisa jadi karena dendamnya, atau karena gosip terkini yang sudah sampai ke telinganya. "Saya belum bisa memastikan."

Pak Guntur berdiri, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. "Apa karena kamu masih belum memiliki pasangan?"

Pertanyaan yang lebih mirip ejekan, menurut Diara. Dan itu berhasil membuat sebagain karyawan yang hendak keluar dari ruang rapat, mengurungkan niatnya. Antara pesta rutinan setiap tahun, dan gosip terpanas di bulan ini. Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.

Diara tersenyum, berusaha bersikap santai. "Masalahnya saya tidak tau, apa kekasih saya bisa menyempatkan waktunya untuk pulang ke Indonesia atau tidak."

Beberapa orang tercengang, termasuk Sagara. Kedua mata dengan iris hitam itu menatap sosok Diara yang sudah berdiri, lalu menganggukkan kepala ke arah Pak Guntur sebagai pertanda pamit.

Sempat Diara melirik ke arah Sagara. Mata mereka bertemu pandang. Diara merasakan gejolak dalam dada, sama halnya dengan Sagara. Bedanya, yang Diara rasakan adalah amarah, sedang Sagara adalah rasa cemburu.

Seluruh mata menatap langkah Diara. Seolah dia adalah tawanan yang berhasil lepas dari cengkeraman para penjahat.

Diara menyimpan buku, balpoin dan flashdisk di atas meja kerjanya.

"Bagaimana rapatnya, Mbak. Lancar?" Bandan bertanya ramah.

"Seperti biasa, perfect," sahut Diara. "Aku ke toilet dulu," sambungnya.

Bandan mengangguk seraya tersenyum.

"Perhatian banget," goda Gina.

Bandan menahan malu karena tertangkap basah sedang memerhatikan kepergian atasannya. Tanpa berkata apa pun, dia memutar posisi duduk. Kembali pada komputer di depannya.

Diara sudah berada di dalam toilet, berdiri di depan wastafel. Sepi, tidak ada orang lain, hanya dirinya seorang. Semua pintu WC pun terbuka lebar. Dia bisa melihatnya dari pantulan cermin di depannya. Dibukanya keran, mencuci tangannya dengan gerak kasar. Lalu membasuh wajahnya cepat. Kantung mata yang dia tutupi dengan make up mulai terlihat. Wajah pucat tanpa polesan bedak dan lipstick terpampang jelas. Tetes demi tetes air pun bercucuran mengenai kerah kemeja katunnya.

"Bodoh. Kamu memang bodoh, Diara," umpatnya.

Terdengar langkah kaki, Diara bergegas masuk ke dalam bilik WC. Duduk di atas kloset yang masih tertutup. Kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Hingga keadaan hening kembali, Diara masih belum keluar. Perempuan itu terlalu larut dalam frustasinya.

*****

--bersambung--

avataravatar
Next chapter