1 Lintang

Ku rebahkan badanku di atas karpet  yang  berada di taman sekitar rumahku. Aku taruh laptop yang berisi ratusan bahkan ribuan kata yang ku rangkai menjadi sebuah cerita. Mencoba hilangkan rasa lelah dan jenuh di tubuh ini tuk sejenak. Ku pandangi langit-langit yang berwarna biru berselimut awan itu. Ku pejamkan mata ini dan rasakan hembusan angin yang menerpa setiap jengkal wajahku. Rintik hujan pun menyentuhku dengan setiap butiran air yang jatuh dari langit. Betapa tenangnya di suasana seperti ini. Rasa lelahpun hilang seketika. Membuat diri ini tak mau berpindah dari tempat ini.

Hujan turun semakin deras. Butiran airnya semakin membasahi wajah dan tubuh ini. Suara rintik air hujan menghiasi kedua indra pendengaranku. Ku nikmati setiap moment ini semakin dalam dan semakin masuk ke alam imajinasiku. Ku goreskan segaris senyuman di bibir sebagai bentuk bahagiaku. Ah aku memang tak perlu memiliki sebongkah berlian untuk merasakan bahagia. Seperti ini saja sudah cukup bagiku.

Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan tuk berdiam diri di sini. Namun yang kutahu pasti bahwa aku sangat menyukai moment ini.

"cakk cak cakk..."

Ku dengar suara langkah kaki yang beriringan dengan suara gelang kaki. Semakin lama suara itu semakin keras dan ritmenya pun semakin cepat. Ku dengarkan suara itu dengan kedua bola mata yang masih tertutup. Tak lama setelah itu pun aku denger suara seorang gadis yang tertawa renyah. Berlarian ke sana dan ke sini diiringi suara gelang kaki yang saling bersahutan membuat suasana semakin ramai.

Tak pernah ku jumpai hal semacam ini sebelumnya. Hal yang membuat pikiran imajinasiku semakin menguasai kehidupan nyataku. Semua terasa seperti nyata. Mungkin ini efek karena aku sering membuat cerita yang harus membuatku mengasah alam imajinasiku agar membuat suatu cerita yang berkesan. Iyya mungkin seperti itu.

"cakk cakk cakk...."

Suara itu terdengar begitu nyata. Membuatku semakin penasaran dan semakin ingin melihatnya. Ku beranjak dari posisi semula dan ku buka kedua bola mataku secara perlahan. Ku pandangi sekelilingku. Hujan yang turun membuat suasana di sekitarku basah dan sejuk. Aroma petrichor pun mampu tercium oleh indera penciumanku. Lalu ku edarkan kedua bola mataku tuk mencari suara tawa gadis itu. Namun, tak ada apapun di depanku. Saat ku balikan badan ku dengar suara tawa itu lagi, tapi tak ada apapun di sana. Aku pun semakin dibuat penasaran olehnya. Aku harus menemukan sumber suara itu.

"cak cakk cakk.."

"hei siapa kamu???"

Bukan jawaban yang ku dapatkan, melainkan hembusan angin lembut yang menerpa wajahku. Tiba-tiba ada daun yang menyentuh wajahku. Ku ambil daun itu dan ku lihat dengan kedua bola mataku. Aku pun bingung.  Entah dari mana asalnya kenapa ada daun maple yang tiba-tiba menyentuh wajahku. Bukankah daun maple hanya ada di Belgia? Apa daun ini terbawa angin?  Jika itu memang karena terbawa angin kenapa bisa sejauh ini? Bukankah itu terdengar aneh. Tapi ya sudahlah, itu tak penting karena sekarang aku harus mencari seorang gadis dengan gelang kaki itu.

Ku tajamkan indera penglihatanku untuk menelusuri area di sekitar taman, namun tak kudapati apapun di sana.

"ah siall.."

"cakk cakk cakk.."

Entah kenapa ritme suara gelang kaki itu terdengar semakin cepat dan semakin keras. Dengan posisi yang masih sama aku pun berusaha menelusuri letak suara itu lagi. Namun lagi-lagi nihil yang kudapatkan. Tiba-tiba sebuah tangan putih nan mulus menyentuh pundak kananku. Tangan itu terlepas dari bahuku ketika kusentuh dan coba ku pegang. Ku balikkan badanku tuk melihat wajah gadis itu tapi dia malah lari mencoba menjauh dariku.

Dengan keadaan berdiri tanpa berpindah  posisi sejengkalpun ku tatap daun maple yang tadi menyentuh wajahku. Ku amati daun itu secara detail. Rasa bingung pun masih menyelimutiku. Hingga akhirnya sebuah tangan menyentuhku dan coba melingkarkan tangannya di perutku. Kudapati gadis itu memeluk tubuhku dari belakang. Rasa hangat pun tiba-tiba datang menghampiriku. Tak kusangka jika pelukan itu membuatku nyaman dan tak mau berpindah posisi sedikitpun. Pelukan itupun seperti sebuah lambang kepemilikan. Terasa erat namun juga membuat jantung meronta-ronta tak tertahankan. Rasanya kedua bola mataku sudah tak sabar melihat siapa pemilik pelukan ternyaman ini.

Sejuknya butiran hujan tak membuatku kedinginan sama sekali. Mungkin ini karena efek pelukan gadis itu. Tak lama kemudian gadis itu mendaratkan kepalanya di pundakku. Hembusan nafasnya membuatku geli sekaligus bahagia. Ku pejamkan mata ini dan ku nikmati setiap detik di moment ini. Sungguh hembusan nafasnya membuatku tak tertahankan. Dan kehangatan yang ia ciptakan dari setiap sentuhan lembutnya membuatku tak mau kehilangan darinya. Entah perasaan macam apa ini. Rasanya membuatku menjadi gila.

Detik demi detik berlalu begitu cepatnya. Gadis itu mencoba  melepaskan kehangatan yang ia berikan padaku.

"tetaplah seperti ini 5 menit lagi, kumohon. " pintaku pada gadis itu

Tak ada sahutan di sana, namun tangan putih nan mulus itu kembali melingkar di perutku. Ku daratkan telapak tanganku di atas tangannya. Kulitnya yang halus itu memelukku hingga menciptakan kehangatan yang sudah lama tak kudapatkan. Pelukan yang selama ini aku rindukan. Rasanya pelukan ini seperti milik almarhumah ibuku. Aku lupa kapan terakhir kali kudapati hal semacam ini, mungkin karna sudah terlalu lama aku tak merasakannya.

Gadis itu memelukku semakin erat seolah-olah tak mau kehilangan diriku. Aku pun menggenggam tangannya sebagai tanda balasan dari pelukan yang ia berikan padaku. Sebagian rambutnya yang menempel di pipiku membuatku ingin menghirup pemilik dari rambut itu. Aromanya menciptakan euforia yang tak biasa. Membuatku enggan berpindah dari tempat itu dan ingin seperti ini dalam waktu yang lama.

Hinggaa...

"woyy Lintang banguun.." suara itu membuatku membuka kedua bola mata yang sudah lama aku pejamkan.

"lo mimpi apa sampe senyum-senyum sendiri hah??"

Aku masih membeku di sana. Masih bingung dengan apa yang aku alami sebelumnya.

"dih malah bengong"

Pemilik suara itu adalah Daffin Simanjuntak. Dia tinggal bersamaku dan satu teman lainnya. Memiliki latar belakang yang sama membuat kita semakin dekat bahkan seperti keluarga sendiri.

"Lintang Pradiptaaaa...

Lo sakit??"

"hah!?? Gimana?? Tanyaku dengan nada bingung.

"lo kenapa tadi tidur terus senyum-senyum sendiri? Mimpi apaan lo?" dia bertanya sambil tertawa renyah.

"emang gue tidur?" ucapku dengan polosnya.

" engga , tadi lo cuma cebok aja."

" serius gue nanya, bukannya yadi ujan ya?" ucapku dengan nada lebih serius

"ini masih mendung belum ujan oyy...

Kebanyakan halu si lo" ucapnya sembari tertawa mengejek.

"ahh siall." gumamku

"eh lo dapet daun maple dari mana?"

Daun maple? Aku baru tersadar jika daun ini ada di tanganku.

" guee.... Ngga tau." tangan kiriku refleks menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"duhh parah. Kayanya lo harus kurangin waktu buat bikin cerita deh. Soalnya lo jadi halu parah, hahaa" Daffin pun meninggalkanku bersama semua kebingungan yang sulit tuk dicerna.

Akupun hanya menghembuskan nafas kasar dan menatapnya tak percaya. Jika yang Lintang alami memang sebuah halusinasi kenapa rasanya begitu nyata? Apakah ini efek dari kebiasaanku yang suka berimajinasi dalam membuat suatu cerita? Tapi kenapa daun maple ini bisa ada di tanganku? Bukankah ini membuatku merasa semakin aneh.

Rintik hujan yang sedari tadi aku nikmati, sepasang tangan yang tadi melingkar di perutku ternyata itu hanyalah sebuah imajinasi belaka.

Kutatap daun maple itu secara seksama. Lalu kutemukan beberapa huruf berjejer di sana.  Sebuah nama tertulis di daun maple yang ku pegang dan entah dari mana asalnya.  Namun aku yakin jika nama ini adalah nama si pemilik pelukan itu.

"Lavina"

avataravatar
Next chapter