1 Diana #Part 1

Pekerjaan Diana harus terhenti, saat pintu ruang kerjanya di ketuk. Tanpa melihat, dirinya sudah tahu siapa dibalik daun pintu itu. Karena memang Diana yang menginginkan kehadirannya di ruang ini. Tidak menunggu lama, daun pintu itu telah terbuka menampilkan sosok pria tinggi, tegap, dengan rahang yang tegas, tatapan yang tajam dan tubuh yang kekar. Wajar saja wanita di luar sana tergila-gila padanya dan bahkan rela mengakhiri hidup hanya demi pria sepertinya. Menurut Diana, wanita-wanita itu terlalu bodoh hanya menghabiskan waktu memikirkan pria itu.

Pria itu sudah duduk dengan tegapnya menghadap Diana. Menampilkan senyum smirk yang menawan. Pria yang cukup menawan, namun sayangnya Diana tidak seperti wanita-wanita itu begitu saja tergoda dengan rayuan dan parasnya.

"Berapa banyak lagi wanita yang kau buat patah hati, Jack?" ucap Diana dengan merapikan berkas yang telah dibubuhi tanda tangannya itu. Dia hanya terkekeh mendengar ucapanan Diana.

"Mereka terlalu berlebihan menanggapinya. Kami hanya bersenang-senang" Ucapnya kini dengan menyandarkan bahunya di sandaran kursi.

"Kau selalu merepotkan, berhentilah bermain-main."

"Terlalu sulit bagi ku jika kau memintaku harus berhenti. Tapi jika kau meminta digantikan dengan mu, aku rela." Diana meliriknya dan tersenyum pahit. Jack fikir Diana bisa dengan mudah menawarkan diri seperti wanita-wanita yang pernah jatuh kepelukannya.

"Apa yang kau janjikan Jack, hingga mereka rela memberikan hidupnya begitu saja pada pria brengsek seperti mu." Ucap Diana kini dengan senyum licik yang terbit dibibir merahnya, yang begitu banyak diinginkan pria-pria berotak mesum. Sayangnya Diana bukan wanita gampangan, dia tak akan membiarkan dirinya di kuasai pria-pria brengsek itu.

"Nothing. Namun kau harus mengenal yang namanya cinta. Baru kau akan tahu Diana, bagaimana cinta akan memberikan surganya untukmu." Ucap Jack dengan memicingkan mata menggodanya pada Diana. Jack selalu berusaha meraih Diana, namun berkali-kali juga dia harus gagal. Karena sedikitpun Diana tidak tergoda dengan segala pesonanya. Bukan Diana tidak menyukai lelaki, Diana pernah memiliki pria pada masa lalunya. Namun dia meninggalkan Diana begitu saja demi menyembah cinta wanita yang dibawah standar seorang Diana, wanita yang masih ingusan dan manja. Diana bukan patah hati, dia malah bersyukur bisa lepas dari pria itu. Karenanya, Diana kehilangan banyak waktu atas pekerjaannya. Saat ini tak ada yang bisa membuatnya jatuh cinta, selain pekerjaannya.  Diana tidak ingin seorangpun mengacaukan karirnya.

"Kau selalu mengacaukan perusahan ini, Jack. Kalau saja kau bukan rekan kerja yang sangat aku butuhkan maka sudah aku depak kau dari kantor ini."

Jack terbahak mendengar ucapannya, ya dia selalu menganggap angin lalu omongan Diana yang membisingkan telinganya. Itu lah membuat Jack betah menghabiskan waktu bersama Diana dan mendengarkan segala ocehannya. Ocehan yang keluar dari mulut Diana, terdengar seperti nyanyian yang mengalun merdu.

"Besok aku hadirkan sekretaris baru untuk mu."

"Hentikan omong kosongmu, Jack. Aku tidak ingin kau mengacau lagi."

"Aku ingin menebus kesalahanku. Apa aku salah?"

"Kesalahanmu sudah tak termaafkan. Berhentilah membuat mereka terpesona. Pesona mu yang membuat mereka gila." Diana menatap Jack intens.

"Apa kau sedang mengakuiku?" Tatapannya tak kalah intens dan menyelidik namun terpancar kehangatan kala tatapan mereka beradu.

"Apa aku terlihat seperti itu?" ucap Diana dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Apa aku tak cukup tampan untuk bisa menarik perhatianmu, Diana?" Tatapannya berubah menjadi harapan. Bukannya Diana wanita yang tak peka terhadap perasaan seseorang. Namun dia lebih memilih mengabaikannya.

"Kau ingin aku jujur?" Kini Diana berdiri melangkah ke belakang untuk mengambil minuman dilemari pendingin yang memang tersedia di ruang kerjanya.

"Kedengarannya menarik jika aku bisa mengetahui isi hatimu." Ucap Jack dengan membungkukkan badan dimeja dan satu tangannya bertopang pada dagu, dengan jari telunjuk bergerak-gerak menyentuh pipinya.

"Menurutku, kau tak tampan seperti kata wanita-wanita yang mengilaimu itu. Namun kau memiliki kharisma yang tidak dimiliki pria lain." Ucap Diana dengan jujur. Diana melemparkan sebuah minuman bersoda pada, Jack. Jack sigap menyambut minuman itu, menggenggam dengan erat namun tatapan itu tak lepas menatap Diana.

"Aku senang akhirnya kau memujiku." Tatapan mendamba itu lagi. Diana muak melihatnya. Beberapa menit mereka saling menatap tanpa kata. Diana sudah bisa membaca isi kepala pria dihadapannya itu, dia tidak akan berhenti untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, walau masih dalam batas wajar. Karena Jack masih menghormati Diana sebagai atasannya. Bukannya Jack tidak bisa membangun perusahan sendiri, namun dia lebih memilih menjadi bawahan Diana yang penuh dengan tekanan. Ayahnya bisa memberikan semuanya, namun itulah Jack. Lebih senang hidup dalam aturan Diana. Cinta sudah membuatnya segila itu.

"Jangan coba-coba menggoda ku, Jack. Itu tak 'kan berhasil," Diana menghempaskan tubuhnya di kursi yang setia menemani hari-harinya saat bekerja.

"Apa aku sudah terlihat menggoda untuk mu?"

"Aku tak akan tergoda pada lelaki brengsek seperti mu, Jack. Terlalu banyak wanita yang sudah kau sentuh. Aku tak ingin kau berbagi penyakit dengan ku." Kali ini Diana meneguk minuman soda itu. Sengatan soda itu terasa menari-nari di lidahnya, kemudian melesat ketenggorakan. Dia menyapu sisa minuman dibibir dengan lidahnya. Tatapan Jack menuntun ke bibir basah Diana. Terlihat dia menelan salivanya. Membayangkan, jika dia bisa membantu Diana untuk menghapus sisa minuman itu. Pikiran liarnya mulai menggoda. Segera ia tepis, sebelum dia benar-benar lepas kendali.

"Wanita itu bagaikan minuman soda ini, Diana. Mereka hanya aku sentuh, tanpa menikmati rasanya. Itu terkadang membuat mereka gila karena tidak bisa melakukan pelepasan bersama." Ucap Jack meletakkan minumannya berdiri dari duduknya dan bersiap beranjak pergi, namun ucapan Diana menahan langkahnya.

"Biasakan dirimu untuk sebuah penolakan, Jack." Jack menoleh dengan menyunggingkan senyum smirknya. Kepergiannya meninggalkan bau parfum yang sangat menggoda diindra penciuman.

Mereka berfikir Diana wanita kaku, angkuh dan berhati dingin. Namun apa pedulinya mereka pada hidup Diana di balik layar. Untuk bisa mencapai puncak rantai makanan tertinggi, Diana pernah berada di rantai makanan terendah dan hina. Bagaimana saat mulut-mulut laknat itu mencaci maki keluarganya dengan perkataan paling dina, seolah-olah Diana manusia yang paling tidak diharapkan di muka bumi ini.

avataravatar