8 Confession

Wajah Sania merah padam begitu mendengar kabar paling hot di penjuru kelasnya. Seketika suasana kelasnya menjadi heboh, Sania sendiri merasa muak. Bagaimana bisa Kevin dan teman-temannya duduk satu meja dengan gadis kampungan yang menabraknya kemarin? Dunia sudah jungkir balik rupanya.

"Seriusan lo?" tanya Aca, teman sekelas Sania kepada Eva yang baru saja balik dari kantin.

"Iya gue serius, mereka semeja tahu! Rayn yang ngajak mereka!" Pekik Eva bersemangat.

"Ih, bete banget deh... secara lo tahu sendiri mereka itu nggak pernah mau duduk sama orang lain dan nggak ada yang berani juga. Terus maksudnya apa tiba-tiba ngajak si Bella sama cewek kampungan itu, Diana" Aca mendengus sebal.

"Iya ih, bikin envy aja.. mending juga gue daripada si Bella sama Diana sialan itu!" Tambah Aca dengan menggebu-gebu, Eva hanya mengendikkan bahu.

Ya, kurang lebih begitu ocehan-ocehan teman sekelasnya. Tidak heran bila Kevin cs punya banyak fans, secara tampang oke dan hartanya yang bejibun. Bella masih tidak percaya, namun akan lebih baik bila ia memastikannya sendiri. Dengan langkah yang lebar dan terkesan buru-buru, Sania melangkah menuju kantin. Matanya menampilkan sorot kebencian, dirinya benar-benar murka. Tangannya sudah gatal ingin segera menjambak rambut cewek ganjen itu. Dia tidak akan pernah membiarkan cewek lain dekat-dekat dengan Kevin. Apalagi cewek kampungan yang sangat jauh levelnya dibandingkan dia itu. Sania benar-benar jijik.

Dilihatnya dari kejauhan Kevin beserta ketiga temannya dan dua cewek yang paling tidak ingin dia lihat. Sania mengepalkan tangannya, dia sudah tidak sabar. Rasanya seperti darahnya di dalam tubuhnya mendidih dan kini sudah mencapai puncak ubun-ubunnya.

Sania menggebrak meja tempat Diana dan lainnya duduk. Semuanya tersentak kaget, bahkan semua perhatian langsung tertuju kepada keributan yang dibuat Sania ini. Bisik-bisik mulai terdengar, namun Sania sudah tidak peduli. Ia sudah tidak dapat menahan amarahnya yang meluap-luap. Sania langsung menarik lengan Diana dan memelintirnya, hingga Diana meringis kesakitan karenanya.

"Lo ternyata berani juga ya sama gue" pekik Sania tepat di hadapan Diana, yang membuat Diana menyipitkan matanya, Diana tak berani menatap mata itu, mata Sania.

"Lo ngapain sih?! Lepasin Diana" Kevin yang kebetulan berada di sebelah Diana langsung menarik lengan Sania agar melepaskan cengkramannya pada lengan Diana. Namun Sania berhasil mengelak dengan sumpah serapahnya.

"Kamu belain dia daripada aku!?" Nada bicara Sania naik satu oktaf. Ia sudah tidak peduli dengan tatapan-tatapan menusuk yang di arahkan kepadanya.

"Oh atau kamu mau aku beberin kenyataan yang sebenernya kalo-"

"Cukup Sania!? Lo udah keterlaluan!?" Ucapan Sania dipotong dengan cepat oleh Kevin, kini amarahnya benar-benar memuncak. Sania menatap tajam ke arah Kevin yang dibalas tak beda jauhnya oleh Kevin. Sania tahu dari sorot matanya yang menyala itu, terkesan dingin namun menusuk.

Tiga detik kemudian Kevin melepaskan cengkraman Sania pada lengan Diana dan menarik Diana pergi menjauh dari tempat itu. Semua orang terpana melihatnya. Mereka tidak menyangka hal seperti barusan terjadi. Apalagi melihat Kevin yang seakan melindungi Diana membuat spekulasi tersendiri bagi mereka. Kevin yang terkenal tampan dan dingin tiba-tiba saja bisa sebegitunya demi seorang perempuan.

Sania mendengus sebal menatap kepergian keduanya. Aldo bangkit dari duduknya, wajah cengengesan khasnya pudar begitu saja.

"Heh, mau lo apa sih? Mau caper lo?" ucap Aldo sarkatis pada Sania. Sayangnya Sania tidak mengacuhkannya, ia memilih pergi meninggalkan kantin dengan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai dengan keras.

"Tuh cewek emang bener-bener ya" ceplos Sakti tiba-tiba. Lain halnya dengan Bella dan Rayn yang terdiam karena kejadian barusan.

"Lo kenapa Bel?" Celetuk Aldo melihat gelagat aneh Bella.

"Eh nggak kok, gue balik kelas dulu ya" Bella bangkit dari duduknya dan melenggang pergi.

"Gue juga" Rayn mengikuti gerakan Bella beberapa detik yang lalu. Seketika Sakti dan Aldo saling melempar pandang kebingungan. Tepatnya mereka bingung dengan sikap kawan-kawannya yang tidak seperti biasanya.

"Mereka kenapa sih? Kok aneh" Aldo menatap kepergian keduanya dengan tatapan kebingungan, sedangkan Sakti hanya mengedikkan bahu tanda tak mengerti.

"Terus yang mau bayar siapa nih?" Tanya Aldo seketika, Sakti tersenyum kecut. Ia mencondongkan wajahnya menghadap Aldo yang sukses membuat Aldo melotot.

"Lo apaan sih! Jijik gue" Aldo mendorong wajah Sakti. Anehnya Sakti malah tertawa.

"Lo lah yang bayar, dah" tiba-tiba saja Sakti melesat kabur meninggalkan Aldo di tempatnya dengan ekspresi lucinya. Sakti tertawa keras, sementara Aldo terus meneriakinya dari kejauhan. Aldo mendengus sebal.

"Duh nduwe kanca kok ula kabeh" ucap Aldo yang hanya dapat didengar dirinya sendiri. Ia mengacak rambutnya yang jabrik. Semua orang menatap Aldo geli, ada juga yang tertawa malu-malu kucing. Aldo mendelik.

"Apa lo semua liat-liat?!" Aldo membuang napas dengan kasar, apes merupakan satu kata yang cocok menggambarkan keadaan Aldo saat ini. Mengingat dia harus membayar semua pesanan ini dengan apa?

*****

Diana masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi, bibirnya kelu karena shock. Kevin masih menariknya menjauh dari keributan. Diana sendiri tidak berusaha mengelak ataupun melawan.

Ternyata Kevin membawa Diana ke taman belakang sekolah. Kevin membalikkan badan menghadap Diana, ditatapnya mata Diana dalam-dalam sementara tangannya masih setia menggenggam tangan Diana. Diana terdiam, jujur saja dia bingung dengan Kevin dan dirinya sendiri.

Beberapa detik hanya ada suara desiran angin, karena tidak ada salah satu pun yang berbicara. Belum lagi taman belakang sekolah memang sepi dan jarang sekali terlihat aktivitas manusia. Yah walaupun taman itu dipenuhi rumput berwarna hijau yang menyegarkan mata.

Kevin seakan tersadar, dengan cepat ia melepaskan genggaman tangannya pada Diana dan mengalihkan pandangan dari gadis di hadapannya itu. Diana sendiri salah tingkah dibuatnya, ia yakin pasti pipinya sudah memerah bagai kepiting rebus. Tapi ia tidak bisa membohongi fakta bahwa sesuatu dalam dirinya seakan beterbangan bagai kupu-kupu. Dirinya melayang, sepertinya hukum gravitasi tidak berpengaruh padanya.

"Maaf buat yang tadi" Kevin bicara setelah seperkian detik mereka berdua sama-sama berusaha menormalkan detak jantungnya.

"Eh... nggak papa... makasih ya" suara Diana halus sekali hingga Kevin sendiri terhanyut mendengarnya. Kevin sendiri tidak membalas ucapan Diana, dirinya hanya mengangguk mengiyakan.

"Tangan lo sakit?" Tanya Kevin khawatir.

"Nggak kok. Hmmm... emang kamu udah lama temenan sama Sania?" Seketika ekspresi Kevin berubah, Diana agak menyesal sudah menanyakannya. Kevin tidak langsung menjawabnya. Butuh beberapa detik hingga rasa penasaran Diana terbayar.

"Ya, kita temenan dari SMP." Jelasnya singkat, Kevin berjalan menuju bangku yang berada di tengah taman, lalu duduk di sana dengan menyandarkan punggungnya. Diana mengikuti kegiatan Kevin.

"Kok kayanya kamu gak seneng gitu?" Tanya Diana penasaran, Kevin menatap gadis di sebelahnya itu sesaat, kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar.

"Nggak kok, aku biasa aja" jawab Kevin seadanya. Diana mengerucutkan bibirnya. Yah, sepertinya dia terlalu banyak campur tangan dengan urusan Kevin. Suasana mendadak hening.

"Di..." Diana sempat merasa aneh mendengar Kevin memanggil namanya seperti itu.

"Hm?" Balas Diana singkat seraya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Tiba-tiba saja Kevin mengacak poni Diana, diam-diam hati Diana mencelos.

"Lo itu polos tapi lo itu bener-bener kuat ya. Biasanya kalo cewek langsung nangis digituin. Apalagi di depan orang-orang" ucap Kevin dengan setengah tertawa. Jujur saja Diana terpesona melihatnya.

"Yah, karena kita nggak boleh menyerah gitu aja kan? Apalagi kamu tahu kalau kamu itu benar" Kevin langsung menatap Diana serius. Diana tidak bisa berbohong bahwa sebenarnya dia ketakutan, namun Diana selalu percaya bahwa Tuhan akan melindunginya dari tangan-tangan jahat. Karena bagaimana pun juga dia benar, jadi dia tidak perlu takut.

"Gue salut deh sama lo" Diana tersenyum, dia senang akhirnya dia bisa membangun hubungan yang baik dengan Kevin. Mengingat selama ini Kevin tampak kalem, belum lagi dirinya yang kaku.

"Diana" panggil Kevin pelan, Diana menoleh.

"Gue sayang sama lo, Diana"

*****

avataravatar
Next chapter