1 Kamuflase

"Dania, kayaknya Papah sama Mamah beneran mau pisah."

"Dania.. Dania..Dania kamu ngelamun lagi?" teriak Guru di depan kelas. semua mata tertuju pada gadis lugu itu.

Ia terhentak, melihat sekeliling dan berlari keluar kelas dengan air mata yang mulai mengucur. Ia masuk ke toilet dan murung didepan kaca wastapel. "Aaa nostalgia lagi, kenapa sih perceraian itu harus terjadi?"

Seseorang datang dan terkejut melihat ada gadis disitu, "Eh kenapa ada anak cewek disini?" teriaknya.

Dania menoleh dan membalasnya, "Lah emangnya kenapa? Salah cewek ke toilet? Wajar dong harusnya. Cewek nggak bisa pipis sembarangan, emangnya cowok pipis dipohon aja juga bisa."

"Haha lo tuh bisa baca nggak sih? Liat nih Toilet Cowok. Udah marahnya?" lelaki berkulit sawo matang itu menunjuk ke papan toilet yang berpaku erat dengan tembok.

Hening... Hanya ada suara burung terbang yang lewat.

"Hehe," Dania terkekeh malu, berjalan jinjit melewati lelaki itu dan meninggalkannya.

"Cewek gila!"

Namanya Dania Putri. Seorang gadis lugu yang memiliki kepribadian introvert. Kedua orang tuanya berpisah saat dia masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Ia anak kedua dari 5 bersaudara. Selanjutnya cari tahu sendiri yuk!

Pagi berganti siang, sang surya telah menumpahkan kegarangannya. Angin berhembus kencang, siang hari yang sangat terik sekali.

Erfan, lelaki yang tak sengaja bertemu dengan Dania pagi tadi adalah seorang siswa kelas 12 IPA 2 SMA Bina Nusa. Ia bersama dua sahabatnya, Toni dan Bontot tengah mengintip jendela kelas 12 IPS 2. Mereka asyik sekali menyapu pandang untuk menemukan gadis gila yang Erfan temui tadi.

"Lo yakin Fan dia anak Ips?" tanya Bontot tanpa melirik.

"Gue yakin," jawab Erfan tegas.

"Emangnya lo sempat tanya dia anak mana?" sambung Toni.

"Nggak juga sih," Erfan jadi gugup, "Feeling gue mulai nggak enak nih," dia berbalik dan benar saja ada Pak Iwan yang tengah berdiri tegap dibelakang mereka sambil melotot. Bontot dan Toni pun ikut menoleh.

"Kalian lagiiii!" teriak Pak Iwan membuat semua orang yang berada di dalam kelas penasaran apa yang terjadi di luar.

"Kita cuma itu Pak anu," Erfan membela diri.

"Anu itu, itu anu. Masuk dan minta maaf," mereka bertiga berusaha membela diri namun siapa sangka Pak Iwan sudah tak percaya mereka lagi. Bahkan guru BP pun sampai angkat tangan karena mereka tak pernah absen menemuinya. Akhirnya mereka menurut, daripada harus dihukum lagi seperti minggu lalu.

Ketiganya masuk dengan langkah lambat. Semua murid IPS 2 tertuju pada mereka, termasuk Dania yang meneliti merasa pernah melihat lelaki yang memang paling manis diantara dua sahabatnya itu.

"Dia inget gue," ucap Erfan dalam hati memergoki Dania tengah menatapnya.

Setelah itu Dania tak menghiraukannya lagi. Ia melanjutkan tugasnya berbeda dengan anak lain yang malah heboh memanggil nama Erfan. Walau nakal, dia termasuk anak yang populer juga.

Tak terasa senja pun sudah menyapa, Dania pulang dan segera merebahkan diri dikasur. Ia tinggal bersama Ibu dan Kakaknya di sebuah rumah mewah di Jakarta. Sedangkan Ayah dan adiknya yang lain memilih tinggal di Bandung bersama wanita pengganti, ya Ibu tiri.

"Dania, Mamah pulang!" seru Mamah ketika masuk kedalam rumah dan langsung naik ke kamar anak keduanya itu.

"Udah makan sayang? Mamah mau keluar sama Om Kiki," fyi Kiki adalah pacar baru Mamah.

"Udah tadi sama telur."

"Kamu mau sosis atau apa gitu?"

"Terserah Mamah aja."

"Yakin sosis aja? Om mau beli pizza loh," canda Om Kiki yang tiba-tiba menghampiri.

"Nggak usah."

Setelah itu semuanya sunyi lagi. Hanya Dania dan suara roda mainan berputar saat Hamsternya berolahraga. Semenjak perpisahan itu terjadi semuanya tampak berantakan. Desi, ibunda Dania yang tinggal dengannya kini sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya sebagai Guru. Tya, kakaknya pun sibuk dengan urusan kantornya. Sendirian di rumah bukan masalah lagi baginya, bahkan sudah seperti suasana rutinitas sehari-hari.

Oranye senja masih berlanjut. Erfan tengah asik bermain PS di ruang tengah bersama adiknya Aril yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Keduanya memainkan permainan Super Mario yang sangat digemari banyak orang itu.

"Waduh waduh awas lu jamur gila," teriak Erfan greget.

"Abang dari tadi bilang gila mulu, bosen aku dengernya," sahut Aril tanpa melirik.

"Andai aja Mario ada shop nya. Nanti beli baju pink sama bando biar cantik," kakaknya mengalihkan pembicaraan.

"Abang aneh deh dari tadi ngomongin mulu cewek. Punya gebetan baru ya?"

"Eh apaan sih lo Ril masih kecil udah tau gebetan. Tapi nanti kalau lo udah masuk SMP, beuh jangan sampe kehabisan cewek cantik ya."

"Serah ah."

"Kok gue jadi keingat sama si cewek gila itu ya?" hatinya bertanya-tanya.

Kehangatan pelukan sang mentari sangat mendukung Kamis pagi ini. Juga merdunya nyanyian burung tak henti terdengar. Gumpalan kapas raksasa pun seolah tersenyum kepada dunia. Semua murid nampak segar. Sepertinya hidup mereka sangat bahagia. Terkecuali hidup Erfan yang penuh dengan kesialan.

Saat berjalan di parkiran Erfan terus memperhatikan seorang cewek yang mirip Dania dari belakang. Hanya saja dia lebih tinggi, sedikit.

"Kayaknya cewek gila yang kemarin tuh," ia menghampiri dan menepuk bahunya, "Woy haha akhirnya gue ketemu lo lagi cewek gila!"

Perempuan itu menoleh dan mengibaskan rambutnya yang sebahu itu, lalu segeralah terdengar musik "Memang lagi syantik tapi bukan sok syantik. Syantik syantik ini hanya untuk dirimu".

"Eh eh eh ternyata bidadari," dia bukan Dania, tapi Erfan terpukau melihat kecantikannya. "Sorry tadi gue bilang lo cewek itu anu gila," Erfan gelagapan grogi.

"Gakpapa santai aja kali," jawab gadis itu tersenyum dan akhirnya berlalu meninggalkan Erfan yang masih menganga.

Di kelas 12 IPS 2.

"Anak-anak kita buat kelompok ya. Satu kelompok terdiri dari 4 orang," perintah Ibu Guru.

Semua anak sibuk menyiapkan anggota kelompoknya, terkecuali Dania. Tak ada seorang pun yang mau berkelompok dengannya.

"Dania kok kamu diem aja?" tanya sang Guru yang iba melihatnya melamun.

"Bu aku sendiri aja bikin tugasnya," tukas Dania.

"Loh teman kamu itu banyak. Masa kamu nggak kebagian anggota satu pun. Hey kalian coba berkumpul dengan anggotanya masing-masing," mereka berhamburan dan duduk dibangku kelompoknya, "Citra, kelompokmu masih kosong. Dania kamu gabung sama Citra ya," lanjut beliau.

Dania melangkah ragu menghampiri Citra dan anggota kelompoknya. Citra melirik ketus. Seperti tak senang menerimanya. Pembagian tugas selesai, saatnya untuk mengerjakan. Semua anggota kelompok tampak sibuk. Hanya Dania yang kelihatan bingung.

"Itu semua salah. Harusnya angka 4 bukan disitu. Terus kenapa tulisannya acak adul gitu. Kenapa sih Ibu nggak biarin gue nugas sendiri aja," Dania mengoceh dalam hati.

"Dania lo sakit?" tanya Citra cemas, "Kalau lo sakit gakpapa kok tugas ini biar kita yang ngerjain."

"Gue gakpapa," Dania berusaha tersenyum. Namun hatinya berdebat, "Inginku teriak kalo semua yang lo kerjain itu salah. Aduh bisa-bisa nilai kita semua anjlok. Tapi gimana ya gue ngomongnya. Gue nggak enak. Gimana kalo mereka sakit hati? Gimana kalo mereka bilang gue sok tau? Sok jago? Gimana?!"

"Dia kenapa sih?"

"Orang aneh emang gitu."

"Nggak banyak gaul sih jadinya katro."

"Dia emang orang yang seneng apa-apa sendiri kayak orang stress."

"Btw ini pertama kalinya ya dia bikin kelompok."

Wass.. Wess.. Woss.. Bisikan bisikan itu terdengar sampai telinga Dania. Mereka bergosip didepan orangnya langsung. Ya memang bagus sih daripada ngomongin dibelakang. Tapi ya seharusnya mereka jaga mulut.

"Gue emang orang yang pendiam. Apa-apa suka sendiri. Semua bualan udah siap dikepala sampai berbusa, tapi gue nggak berani buat ngungkapinnya. Banyak ketakutan yang gue rasa kalo semisal bualan itu gue omongin. Gue selalu pengen sendiri, menyendiri. Terkadang bersosialisasi dengan orang lain itu menakutkan, menyebalkan," perdebatan itu masih berlanjut dihatinya.

Sedangkan di kelas 12 IPA 2. Wanita yang disebut bidadari oleh Erfan itu jelas sedang berdiri di depan kelasnya sekarang.

"Perkenalkan gue Lisa Cahyadi. Panggil aja Lilis juga gakpapa. Sebenarnya gue bukan murid baru ya. Lebih tepatnya murid comeback. Tau apa artinya? Jadi dulu gue udah sekolah disini, cuma waktu itu vakum setahun karena males belajar. Tapi sekarang gue sadar. Cewek tanpa pendidikan apa gunanya. Thank's!"

"Lilis kamu selalu jujur dari dulu," kata bu Siti memuji kejujurannya.

Semua murid memandangnya. Bahkan terlihat jelas wajah mereka seperti tidak mempercayai kenyataan ini. Seorang wanita cantik, jangkung dan apik sepertinya telat satu tahun. Dia seharusnya sudah menjadi alumni!

"Bidadari gue," Erfan menggigit jari. Seperti inikah calon istrinya masa depan? Terus mengapa Tuhan harus memberikan rasa suka ini padanya? Semoga saja perasaan yang hanya sesaat.

"Hey! Lo yang tadi ya? Kita jadi sekelas, jodoh kali," bisik Lilis yang tiba-tiba berhenti dibangkunya. Erfan menoleh kaget dan tersenyum paksa.

Waktu makan siang sudah tiba! Kantin terlihat sumpek dengan padatnya para siswa yang tengah bergantian mengisi perut mereka. Trio Erfan tak ketinggalan. Menu mereka kali ini adalah Batagor!

"Eh eh dia si cewek gila itu!" seru Erfan saat melihat Dania membawa semangkuk bakso dan teh botol.

Erfan bergegas menyembunyikan wajahnya, berniat untuk menyelidiki gadis itu hari ini. Dania berjalan dengan sangat hati-hati. Ia pergi melewati teman sekelasnya yang sedang berkumpul, dan lebih memilih untuk sendiri.

"Gue yakin mereka teman sekelasnya. Tapi kok dia gak ikut gabung ya?" Erfan kebingungan.

"Dia dibully kali," Bontot menyambung.

"Ah masa sih secantik dia dibully," Erfan keceplosan.

"Wah udah bilang cantik aja nih, hmm.." Bontot menggoda.

"Gue keceplosan bego."

"Ah beneran ini mah harus dirayain!" seru Toni yang memang asli orang Bandung.

Semangkuk Batagor itu telah habis. Erfan berpura-pura berjalan melewati Dania dan meliriknya sesekali. Namun Dania tak menggubrisnya.

"Nih kata si bibi bonus buat lo," Erfan berhenti dan menjulurkan snack jagung itu.

Dania tak menoleh, tak menerima bahkan tak berkata apapun. Ia tetap menyedot teh botolnya. Erfan yang tanggung malu akhirnya menyimpan cemilan itu dimejanya.

"Hey De Bawangs! Kapan kalian bayar hutang? Belum juga lunas tuh si Erfan udah ambil snack aja!" teriak Bibi kantin.

Semuanya menoleh pada trio De Bawangs itu. Ya siapa lagi kalau bukan Erfan, Bontot dan Toni.

"Eh Bi, jangan nagih disini dong malu!" Erfan menghampiri Bi Romlah yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi Bibi kantin di sekolah itu.

"Iya Bi malu atuh. Tahun depan ya tahun depan," Toni mencoba menenangkan.

Kejadian itu menarik Dania untuk menoleh dan tersenyum, "Dia Erfan," ucapnya dalam hati.

Semua murid bergembira! Kenapa? Hari ini pulang lebih awal! Setelah istirahat berlangsung para guru mengadakan rapat lalu siswanya diperbolehkan pulang. Duo De Bawangs sudah pulang duluan. Sedangkan Erfan masih saja menyelidiki gadis pendiam yang sangat ingin didekatinya itu.

Dia baru saja naik angkutan umum. Bukan taksi, melainkan angkot. Erfan membuntuti angkot itu dengan sepeda motornya.

Jalan anggrek. Kira-kira itulah namanya. Dania turun di jalan itu dan berjalan beberapa langkah saja untuk sampai rumahnya. Rumahnya indah, bersih bahkan lebih besar sedikit dari rumah Erfan.

"Rumahnya gede. Tapi dia naik angkot. Anak yang rendah hati," Erfan kagum.

"Iya sayang. Kita harus cari tukang kebun buat ngurusin tanaman bunga itu. Sayang kalo nggak keurus," perkataan Mamah Dania itu terdengar oleh Erfan.

"Iya sayang kita harus cari lebih cepat lebih baik ya," suara lelaki ikut menjawab.

"Tukang kebun?" Erfan berpikir.

Pukul 3 sore esoknya. Dania sedang asyik bermain bersama Hamster kesayangannya yang diberi nama Wowo. Sedangkan...

"Umur kamu berapa?" Mamah Dania menginterogasi seseorang berkumis dan bertopi di ruang tamu.

"19 tahun bu. Saya baru saja lulus sekolah dan ingin mencari biaya untuk kuliah saya," jawabnya sopan.

"Kamu masih muda. Yakin bisa jadi tukang kebun disini? Semua bunga yang ada di kebun belakang itu berharga sekali bagi saya."

"Saya siap bu. Saya akan melakukan yang terbaik."

"Mah, Tya berangkat kerja lagi ya," Tya putri sulungnya datang menghampiri. Sigap ia memeriksa lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, "dia siapa Mah?"

"Dia calon tukang kebun di rumah kita. Namanya Dani. Emang hampir mirip sih sama nama adikmu," jawab Mamahnya tertawa.

"Oh gitu. Awas aja nanti jangan sampai ketukar Mah. Tya berangkat, assalamualaikum," kak Tya berlalu.

"Waalaikumsalam. Yasudah mulai besok kamu bisa kerja ya."

"Terimakasih bu. Tapi untuk waktu kerjanya saya hanya bisa dari sore seperti ini. Soalnya adik saya masih sekolah dan nggak ada yang ngurus."

"Oh gitu, kalo hari libur bisa full kan?"

"Bisa bu."

"Oke. Yang penting semua bunga saya segar selalu," Bu Desi tersenyum begitu pun lelaki bertopi itu.

***

It's Friday!

"Loh abang udah pulang aja?" tanya Aril yang memang baru saja mau pergi ke mesjid untuk sholat Jum'at.

"Iyalah, kalo hampir lulus ya gini, pulang kapan aja bisa."

"Bukannya malah sibuk nyiapin ujian ya bang?"

Tewww..

"Ah jangan sok tau lo ril," Erfan mencoba menghindar.

"Kamu gak bolos lagi kan?" tanya Ibunda Erfan yang datang dari dapur.

"Enggak bu. Cuma menghindar dari pelajaran fisika, hehe," Erfan menggaruk kepalanya.

"Kebiasaan! Kamu itu udah kelas 12, mau lulus. Jangan males-malesan lagi!" Ibu melerai.

"Besok enggak deh bu."

"Kalo aja Ayah gak lagi sibuk meeting diluar kota. Kamu pasti kena Bang."

"Ayah kapan pulang bu?"

Ibu terdiam sejenak, "Urusan Ayah itu banyak, kamu sebagai Abang harus bisa jadi contoh yang baik buat adikmu. Setidaknya Aril bisa meniru kepribadian sosok lelaki yang baik dari diri kamu."

"Maaf bu."

Erfan memang sosok yang pintar. Namun ia mulai nakal saat kejadian itu terjadi. Kejadian yang tak ingin ia ingat lagi untuk selamanya. Dua bujang itu pergi ke mesjid dengan sarung dan peci yang terpasang dikepala. Jarak rumah dan mesjid memang agak jauh. Namun keduanya tak pernah absen untuk menunaikan ibadah di mesjid Al-Falah itu.

Seusai sholat, mata Erfan terlihat sayu. Mungkin dia mengantuk. Dengan sempoyongan ia dan adiknya berjalan pulang.

"Abang kalo jalan yang bener dong!" protes Aril saat tubuh kecilnya terbanting badan kakaknya.

"Duh ngantuk banget ini! Padahal Abang harus kerja," Erfan keceplosan.

"Kerja?" Aril kebingungan setengah mati. Ada apa dengan Abangnya ini? Apa karena efek ngantuk?

Senja sudah datang saja, tidak terasa. Saatnya untuk menyiram kebun bunga kesayangan bu Desi yang sangat berharga. Diam-diam Erfan keluar saat Ibunya dan Aril tidur. Ia berangkat ke rumah majikannya menaiki bajaj.

Dani, nama samaran Erfan agar Dania tak curiga selama ia bekerja dirumahnya. Ya dia seorang tukang kebun baru dirumah keluarga Bu Desi. Dengan usia mudanya ia harus rela mencari rupiah untuk membiayai kuliahnya sendiri di masa depan, alasannya. Padahal tujuannya kan hanya ingin kenal dengan wanita yang dianggapnya gila itu.

"Sturutu strututu," Dani bernada. Ia sangat santai dan menikmati pekerjaannya.

"Dani...." hanya itu yang terdengar olehnya. Ia bergegas masuk dan mendekati asal suara itu.

"Ya... Dani.... Ya..."

"Iya ibu ada apa?"

"Iya Mah?"

Pertanyaan itu datang bersamaan. Dani menoleh ada sesosok wanita cantik memakai celana pendek dan kaus pink yang sangat cocok dengan kulit putihnya.

"Kamu kenapa kesini Dani?" tanya bu Desi keheranan.

"Ibu manggil saya?"

"Hahaha saya itu manggil anak saya Dania, bukan kamu," beliau tertawa.

"Mah jangan dibiasain deh manggil Dania kayak gitu. Jadinya salah paham kan," Dania berkomentar.

"Haha seru sih liatnya. Kalian kompak nyamperin Mamah."

"Dia, jadi yang dimaksud kak Tya kemarin memang benar. Namanya hampir sama dengan nama samaran gue. Dani. Dania," bisik Dani dalam hati.

"Iya Dani dia putri ibu yang kedua. Namanya Dania Putri," kata bu Desi seperti mengetahui apa yang sedang Dani pikirkan.

"Hehe iya bu. Dania salam kenal," Dani menjulurkan tangannya untuk bersalaman.

Dania terdiam sejenak. Memang bersosialisasi dengan orang lain itu asing baginya. Dia lebih senang dengan dunianya sendiri.

"Dania," katanya memberanikan diri menyentuh orang asing.

"Dia bukan cewek gila. Dia bidadari yang sesungguhnya. Gue, Erfan Suswanto bakal ngelakuin apa aja buat dapetin lo Dania!" perkataan itu akan selalu Dani alias Erfan camkan dalam hati.

Setelah itu Dani melanjutkan pekerjaannya. Selang beberapa menit kemudian seseorang menghampiri dengan langkah ragu. Ia menarik napas sesekali, kedengarannya ia sangat gugup.

"Em, Dani!" seru seseorang, Dani menoleh.

"Eh lo Dania. Eh maksud saya Non," Dani menjawab gelagapan karena belum terbiasa.

"Em," Dania terdiam seperti sedang berpikir

"Ada apa Non? Ada yang harus saya kerjakan?"

"Em itu Mamah," omongan Dania selalu terhenti.

"Ibu? Ada apa dengan Ibu? Ibu pingsan?"

"Nggak, Mamah nyuruh kita buat beli pisang di pasar."

"Oh saya kira ada apa Non. Yasudah ayok!" Dani menyimpan selang air dan mematikan krannya. Ia mengelap tangannya ke celana lalu mengajak Dania naik ke motor. Canggung. Tapi mau bagaimana lagi. Anggap saja dia bukan siapa-siapa. Toh emang cuma tukang kebun kan. Tapi berinteraksi dengan orang asing memang membuatnya takut. Dania duduk dibelakangnya dan motor itu mulai melaju.

"Mereka lucu deh!" ucap Bu Desi gemas mengintip dijendela.

Pasar sore terlihat senggang. Tidak penuh namun tidak pula kosong. Hanya saja begitu sumpek di tukang buah.

"Ayo masuk. Kalo disini terus nggak bakalan pernah diladenin Non," kata Erfan yang masih duduk dimotornya. Dania sudah turun, namun ia hanya berdiam diri disitu. Ia membayangkan bagaimana horrornya bertemu dengan banyak orang dan berdesakan disana. Sungguh! Saat ini Dania hanya ingin pulang.

"Lo aja deh yang masuk."

"Loh kenapa? Ini motor takut ada yang gotong Non."

"Gakpapa pokoknya lo aja yang masuk, buruan!"

"Yakin gakpapa?" Dani menggoda.

"Gue nggak suka kalo banyak orang," Dania akhirnya mengaku.

"Hah?" Dani tercengang.

"Udah buruan!"

Dani menurut. Ia segera turun dari motor dan memasuki kios tukang buah. Dania menunggu di depan dan menjaga motor milik tukang kebunnya itu. 2 menit kemudian.

"Ayok pulang!" ajak Dani dengan sekantung kresek besar di genggamannya.

"Kok cepet?" tanya Dania heran.

"Gue gitu loh. Eh maksudnya saya gitu loh hehe," Dani mengikat kresek itu di gagang gas motornya. Dania ikut naik.

Sudah hampir mau Magrib mereka tiba lagi di rumah. Dania bergegas turun dan masuk. Mamahnya tengah asik menonton tutorial make up di ruang tamu.

"Mah ini pisangnya."

"Yaudah kamu bikin pisang goreng gih sama Dani berdua," saat itu juga Dani masuk.

"Maksud Mamah?! Enggak Mah, Dania nggak mau. Dan nggak akan pernah mau," Dania menolak keras dan berlari ke kamarnya. Ekspresinya cemberut. Mungkin ia tidak suka kalau dipaksa berinteraksi dengan orang lain seperti ini.

"Hey Dania!" teriak beliau.

"Biar saya sendiri aja bu yang masak," Dani mencoba menenangkan suasana. Bu Desi menoleh, terdiam, dan akhirnya membiarkan Dani pergi ke dapur untuk memasak. Sedangkan ia sendiri mengejar anaknya ke lantai dua.

"Dania kamu nggak boleh gitu. Gimana kalau Dani kesinggung?" katanya saat membuka pintu kamar, "Gimana kalau Dani ngira kamu nggak suka sama dia, benci sama dia. Disini dia itu kerja. Bukannya untuk mendapat perlakuan seperti ini."

"Mah, kalo Mamah coba buat deketin Dania sama orang lain nggak gini juga caranya," Dania bangkit dari tidurnya dan menatap kedua bola mata Mamah.

"Kenapa? Ada saatnya kamu itu harus bersosialisasi. Jangan diem terus di kamar, ngurung diri," Mamahnya melerai. "Kamu harus secepatnya minta maaf sama dia. Mamah nggak mau kalau gini terus," lekas beliau bangkit dan berlalu.

Dania diam dan bersembunyi dibalik selimut. Apa ini waktunya? Dia belum siap untuk keluar dari zona nyaman. Di sekolahpun ia tak punya teman. Apalagi dia yang membangun pertemanan dari awal. Bukannya apa, tapi dia dan Dani baru saja bertemu. Dibalik itu Dani asik dengan penggorengannya dan sesekali bergumam sendiri.

"Kenapa tukang kebun beralih profesi jadi tukang masak? Ada-ada aja haha," gumamnya. Tanpa disadari ada seseorang yang menguntitnya.

10 hingga 20 menit berlalu. Pisang goreng sudah siap. Dani menyajikannya diatas meja makan. Lalu ia sendiri pergi ke halaman belakang.

"Masak masak sendiri. Nyebor bunga sendiri," Dani bernada lagi saat sedang menyiram bunga. Seseorang masih terus menguntitnya.

"Loh dia kemana? Perasaan barusan lagi nyanyi," Dania bertanya-tanya ketika Dani yang sedang dipantaunya menghilang. Ternyata Dani sadar akan kehadirannya, lantas ia pergi saat Dania sedang lengah dan memergokinya kembali.

"Ah ternyata dia," bisik Dani yang memantaunya dibalik tembok dapur. Dania sendiri memantaunya lewat pintu gudang.

"Biasa fans suka stalking idol nya haha," sambung Dani tertawa.

"Sayang sebaiknya pernikahan kita dipercepat," perkataan itu terdengar dari ruang tamu. Dan Dani tak sengaja mendengarnya. Ia sedikit maju untuk mendengar lebih jelas.

"Tapi Dania kayak yang nggak suka sama aku. Apalagi Tya," jawab lelaki yang sedang beradu mulut dengan bu Desi.

"Mereka mungkin masih shock dengan perceraian kemarin. Tapi aku bisa atasi semuanya sayang. Yang penting kamu janji bakal nikahin aku."

Sontak Dani langsung terkejut. Ternyata lelaki yang selama ini selalu berada disamping bu Desi majikannya itu adalah pacarnya, bukan suaminya. Ya, dia Kiki yang selalu dipanggil Om Kiki oleh Dania.

"Jadi Pak Kiki itu calon Ayah tiri Dania?" Dani bergumam dalam hatinya. Suara isak tangis terdengar di belakangnya. Dani menoleh..

"Dania," ternyata bukan hanya dia saja yang sedang menguping. Tetapi salah satu objek pembicaraan itu pun ikut menguping. Dania menutup wajahnya lalu berlari ke kamar dan tak sengaja menyenggol vas bunga yang sebelumnya terletak rapi diatas meja hiasan.

"Dania," Dani memanggilnya dan hendak mengejarnya. Namun langkahnya terhenti saat bu Desi sadar ada keributan disana.

"Dani suara apa itu?"

Dani mondar-mandir bingung harus melakukan apa, "Maaf bu saya nggak sengaja pecahin vas bunga," katanya berbohong.

"Hati-hati Dani."

***

Teriknya sang mentari tak membuat Dania melukis senyum di bibirnya. Ia bahkan tampak lebih murung dari biasanya. Beban pikirannya semakin kuat dan semakin semrawut.

"Eh Dania tuh!" seru Erfan yang kebetulan lewat taman sekolah tempat dimana Dania terduduk lemah disana, "Kasian dia jadi murung terus."

Selang beberapa menit wajah Erfan berubah menjadi seperti seorang tentara. Dengan coretan loreng di pipinya. Serta dedaunan yang ia beri solatip agar menempel dibaju dan topi sekolahnya. Ia memulai penyamarannya. Mencoba untuk menguntit Dania dan memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja.

"Erfan. Lo boleh duduk disini kok," ucapan yang terlontar dari mulut itu sontak membuat Erfan kaget. Sepertinya sang objek sadar akan keberadaannya.

Erfan melepas dedaunan dan mencoba agar terlihat rapih kembali. Lalu mendekati Dania dan duduk disampingnya.

"Lo tau nama gue?"

"Siapa sih yang nggak tau De Bawangs," jawab Dania tanpa menoleh.

"Iya sih De Bawangs emang terkenal karena ketampanannya."

"Najis!" Dania tetap tidak menoleh sedikitpun.

"Lo yang waktu itu di toilet kan?" pertanyaan itu keluar secara serentak dari mulut keduanya. Dania menoleh dan tersenyum dibuatnya.

"Hehe bisa barengan gitu ya," Erfan mulai gugup.

"Lo dihukum di kelas gue. Dan lo ngasih gue ciki hasil ngutang di kantin," Dania melanjutkan.

"Hafalan lo kuat hehe," Erfan mencoba bercanda, namun Dania tak menggubrisnya, "Eh nama lo Ningsih kan?"

"Dania."

"Oh berarti gue salah ngasih nama uu aa gue dong."

"Uu aa apaan?"

"Uu aa," Erfan mencoba meniru suara anak monyet.

"Enak aja emangnya gue monyet apa."

"Monyet cantik hehe," Dania mendorongnya hingga terjatuh dari kursi.

"Sorry gue sengaja."

"Haha awas aja lo ya!" Erfan bangkit dan mencoba mengejar Dania yang berhasil melarikan diri. Entah, saat itu mood Dania seketika berubah.

Adegan kejar-kejaran diakhiri sampai persimpangan kelas. Mereka berpisah menuju kelasnya masing-masing.

"Dahhh," Erfan melambaikan tangan seraya tertawa.

"Idihh," Dania hanya mengerutkan kening kemudian pergi.

"Gengsi haha."

Langkah kaki Dania terhenti di depan pintu kelas saat sebuah benda memukul wajahnya. Suasana kelas yang kacau hening sesaat. Semua mata menatap. Sebuah penghapus papan membuat wajahnya nampak bernoda. Hitam pekat.

Selang beberapa detik kekacauan terjadi lagi. Mereka tak peduli dengan wajah Dania yang terlihat malang sekali. Hanya Citra yang tersenyum lalu mengabaikannya. Dania menghela napas. Mengatur emosi. Tapi tangannya refleks mengepal geram. Ia kemudian lari entah kemana.

Brukkk. Seseorang menabraknya hingga terjatuh.

"Hey lo gakpapa?" orang itu membantu Dania untuk bangkit. Lilis memperhatikannya yang terus saja menundukkan kepala, "Plis hahaha wajah lo kenapa?" tanyanya tertawa saat ia berhasil melihat wajah Dania yang penuh dengan tinta spidol, "Dania Putri," Lilis membaca label nama yang terpasang di seragamnya. Namun saat itu juga Dania menghindar dan berlari ke toilet.

"Dia kenapa?"

Kran air dinyalakan. Untung saja masih ada tisu saku yang ia siapkan dari rumah. Ia membasahi tisunya lalu membersihkan tinta diwajahnya itu. Tanpa sadar tetesan air mata pun ikut membasahi pipinya.

"Hey!" sapa Lilis dari kejauhan.

"Tuh Lilis tuh!" kata Bontot menggerakan dagunya ke arah Lilis yang masih berada di posisi sebelumnya.

Lilis menghampiri trio De Bawangs yang terlihat sedang sibuk menahan beratnya buku paket yang mereka bawa.

"Kalian mau ke perpus? Gue ikut."

"Lo masuk kelas aja gih. Bentar lagi kan bel masuk," jawab Erfan.

"Ihh tadinya gue mau amal tenaga nih. Kasian lo sama Toni kan kurus."

"Maksud lo gue gede gitu?" Bontot protes.

"Kenyataan kan?" Lilis dan dua sahabatnya serentak mengatakan hal yang sama.

"Huhhh," Bontot berlalu. Ia ngambek.

"Sini gue bantu," Lilis mencoba merebut buku paket yang Erfan bawa. Namun sebuah gerakan tak terduga membuat semuanya berserakan di rumput.

"Lo sih," Erfan protes.

Yang Lilis pikirkan saat ini adalah ia bisa beradegan romantis dengan Erfan saat keduanya membereskan kembali buku itu. Memang khayalan yang sangat tidak berfaedah. Namun realita tak seindah ekspetasi.

"Sekalian ya lo simpen ke perpus. Gue duluan ke kelas," Erfan memanfaatkan kesempatan ini.

"Ih kok jadi gue sih?" Lilis protes saat melihat punggung Erfan sudah menjauh.

"Bukannya mau bantuin? Yang ikhlas dong," goda Toni tertawa.

Siang hari yang indah ini masih berlanjut. Aril dan Mila sedang berjalan pulang. Tas yang mereka gendong memang sangat lucu. Tas Mila bergambar seorang wanita Barbie yang sangat cantik. Sedangkan tas adik Erfan itu bergambar Ken. Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Haha.

"Aril Abang kamu kerja ya?"

Aril terdiam sejenak, "Abang Erfan maksudnya?"

"Iya siapa lagi. Abang kamu kan cuma bang Erfan."

"Haha kamu tau sendiri kan Mil, Abang aku tuh masih sekolah."

"Tapi aku liat Abang kamu lagi nyiram bunga di rumah tetangganya nenekku."

"Salah liat kali. Atau emang muka Abangnya aja yang pasaran haha," Aril tertawa.

"Haha kamu nggak boleh gitu," Mila ikut tertawa. Mereka berhenti sejenak di perempatan komplek.

"Aku pulang duluan yah. Kamu hati-hati Mila. Dah," Aril melambaikan tangannya sambil berjalan ke suatu arah persimpangan.

"Iya dah."

Mereka bisa dibilang bersahabat sejak kelas 1 SD. Bahkan rumah mereka berada di satu perumahan yang sama.

Mentari kini berpindah tempat dan mengizinkan senja untuk bertugas. Kelas Erfan baru saja bubar.

"Fan lo tau nggak anak yang namanya Dania Putri?" tanya Lilis yang berjalan berdampingan dengan Erfan ke parkiran.

"Emangnya kenapa?"

"Ya gakpapa sih. Cuma dia agak aneh gitu orangnya."

"Aneh gimana?" Erfan menoleh.

"Jadi kan," ucapan Lilis terpotong oleh nada dering Hp nya yang baru saja berbunyi.

"Halo, iya Lisa kesana sekarang," Lilis yang bernama asli Lisa itu menutup telpon. "Fan gue duluan ya, nyokap gue ngedadak jemput, dah.." Lilis berlalu.

"Dania kenapa lagi?" Erfan kepikiran akan apa yang baru saja Lilis katakan.

Sementara itu Dania sudah ada di rumah. Kelasnya pulang lebih dulu. Kini ia tengah asik bermain bersama Hamsternya, ia memegangnya dengan sangat gemas.

"Wowo kapan kamu gede sih gemes banget sama kamu."

"Wo kamu lapar? Aku ambil dulu makanannya ya," Dania memasukkannya ke dalam kandang.

Ia berjalan dan mencari kotak pakan Hamster yang disimpan di dapur. Makanannya yang di mix itu memang kadang terlihat menggiurkan. Setelah mendapatkannya ia kembali ke kamar yang harus menaiki beberapa tangga. Namun langkahnya terhenti saat seseorang tiba-tiba saja berbicara padanya.

"Kebetulan kamu disini. Ayo ikut kita makan bakso diluar," ajak Mamahnya alias bu Desi yang baru saja pulang dari sekolah. Beliau tak sendirian, ada Om Kiki disampingnya.

"Ayo ikut kita makan bakso urat," sambung lelaki berbadan besar itu. Dania berpikir sejenak dan akhirnya memutuskan untuk pergi.

Kedai bakso urat yang terkenal ini sangat ramai oleh pengunjung sekitar bahkan dari luar kota sekalipun. Orang-orang itu tampak semangat melahap bulatan daging yang sudah jadi olahan umum di indonesia ini.

Mereka segera memesan bakso urat yang jadi menu andalan disini. Tak lupa dengan jus alpukat favorit Dania. Beberapa menit kemudian pesanan itu sudah mendarat diperut. Mereka segera bangkit dan menuju kasir.

Dania tertegun saat melihat Mamahnya menyelipkan uang ke tangan kekasihnya itu. Hingga seolah-olah Om Kiki lah yang membayar semua makanan yang telah dipesan. Padahal sebenarnya itu hanyalah tipuan semata.

"Mamah ternyata masih gitu. Brondong sekarang emang pada matre!" Dania berbisik kesal dalam hati.

Note: Om Kiki memang terpaut usia 10 tahun lebih muda dari Mamahnya.

Kenyataan itu memang pahit untuk dikenang dan sulit untuk dilupakan. Bagaimana tidak. Berarti selama ini mereka selalu jalan dan membeli makanan itu bu Desi yang membayar. Cewek yang ngeluarin modal cuy. Hello zaman apa ini?

Dania memang sangat kesal akan perilaku Mamahnya yang terlalu memanjakan brondongnya itu. Ia ingin memberontak, tapi ini bukan saatnya.

*Bersambung..

avataravatar
Next chapter