20 Sesuatu Yang Langka

"Tidak mau mampir dulu, Ris?"

Cristine menggeleng, "Aku ada janji dengan guru les hari ini."

Selena mendesah, "Akhir pekan, kalau kamu tidak sibuk, bisakah aku bermain ke sana?"

Cristine mengingat-ingat jadwal akhir pekannya nanti. Sepertinya ia hanya punya waktu luang di malam hari saja.

"Habis senja, aku ada di rumah."

"Aku sudah bekerja saat itu." beritahu Selena dengan nada lesu. Tapi cepat-cepat Selena menyunggingkan senyumnya untuk Cristine, "Lainkali mungkin kamu ada waktu, dan kita bisa bermain bersama."

Cristine merasa bersalah, "Maafkan aku, Selena."

"Tidak apa-apa. Traktir aku ice cream sebagai permintaan maaf kalau begitu."

Cristine mengangguk setuju, "Baiklah. Kamu bisa pilih sebanyak mungkin ice cream yang kamu mau."

Selena tertawa, "Cepat pulang. Hati-hati di jalan."

"Kamu sungguh-sungguh tidak mau memikirkan ulang tawaran ketua OSIS?" tanya Cristine lagi dengan mata dipenuhi harapannya. Kalau dia berhasil membawa Selena serta ikut menjadi bagian dari aing OSIS, bukannya mereka akan memiliki banyak waktu untuk bisa bersama-sama.

"Tidak Ris. Aku tidak punya banyak waktu memiliki kegiatan diluar sekolah. Ikut klub PMR saja sudah cukup buatku." Selena menjawab dengan jawaban serupa. Cristine tentu saja kecewa mendengarnya. Namun meski begitu dia juga tidak ingin terlalu memaksa sahabatnya tersebut.

"Kalau begitu aku akan pulang. Selena, beristirahat lah dengan baik. Jangan terlalu lelah bekerja, oke?"

Selena mengangguk dengan patuh, "Iya, iya aku tahu batasanku sendi, Ris. Terima kasih. Cepat sana pulang, nanti bunda khawatir mencarimu kalau telat sampai di rumah."

"Sampai jumpa besok, Selena." ucap Cristine sebelum kemudian mengayuh sepedanya menuju ke rumah.

Selena melambaikan tangannya

Setiap pagi, Cristine akan datang menjemput Selena untuk berangkat bersama. Meskipun Cristine bisa membonceng sahabatnya itu di belakangnya, Selena bersikeras untuk berjalan kaki karena alasan kesehatan. Alhasil, setiap mereka berangkat sekolah, Cristine akan menaruh sepedanya itu di rumah Selena.

Selena melihat pada sepeda bututnya yang sudah berkarat. Helaan napasnya terdengar keras saat dia butuh beberapa ratus ribu lagi untuk bisa membeli sepeda baru.

"Aku pulang."

Selena masuk ke dalam rumah dan melihat ibunya sudah duduk beristirahat sambil menonton televisi.

Hari jumat, jam kerja Lyana itu lebih awal. Itu sebabnya saat Selena masuk, gadis itu langsung berdiri di samping ibunya.

"Mama, apakah sudah makan?"

Lyana sedang memegang remot di tangan dan tatapan tajamnya terarahnya lurus ke layar bercahaya di depannya. "Ada ikan goreng di atas meja, habiskan. Setelah itu pergi ke rumah nenek, bawa rantang di atas meja ke sana."

Selena meremat selempang tasnya erat. Untuk bisa merasakan masakan dari tangan ibunya merupakan sesuatu yang selalu dia nantikan. Jarang sekali ibunya akan mengambil inisiatif untuk pergi ke dapur. Kecuali pada saat dia sakit dan tidak memungkinkan untuk menyiapkan makanan mereka.

"Selena akan habiskan semuanya. Terima kasih, Ma." Kata Selena dengan girangnya. Raut wajah gadis itu tampak bahagia dan senyum sumringah tertampil di bibirnya.

Lyana yang merasa terganggu dengan antusiasme putrinya, juga ikut berteriak, merasa kesal, "Tidak usah berteriak, mama tidak tuli, Selena!"

Selena terlalu bersemangat hingga tidak sadar dengan kakinya yang berlari menuju ke dapur. Gadis itu begitu senangnya sampai omelan dari ibunya pun tidak dia dengarkan.

***

Dalam perjalanan menuju ke rumah neneknya, Selena berpapasan dengan Indra yang tidak lain ialah teman Andre. Jika pria itu berada di sana, bisa dipastikan kalau Andre juga tidak jauh di dekatnya.

"Mau pergi ke mana?"

"Astaga!" Selena terperanjat. Ia langsung berbalik, dan mendapati wajah Andre tepat di depannya.

"Kamu membuatku kaget!" omel gadis itu tak segan memukul lengan Andre keras. Bukannya marah, pemuda itu hanya tergelak singkat lalu menangkap tangan Selena yang tidak berniat menghentikan pukulannya.

"Sakit, Selena. Berhenti."

"Salahmu! Membuatku hampir jantungan saja. Tidak bisakah kamu muncul dengan cara normal? Benar-benar menyebalkan sekali!"

Andre tertawa, sudut matanya ikut melengkung saat rasa senang bisa menjahili Selena dia lakukan. "Baiklah, baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku janji."

"Hmp!" Selena mendengus, namun ikut tersenyum saat dia lirik pemuda tampan itu kembali baik. Coba saja pria ini tidak berubah-ubah sikapnya, bukankah memiliki hubungan persahabatan normal seperti ini terdengar bagus.

Tapi tidak apa-apa, dia juga tidak bisa terlalu serakah menginginkan banyak hal bukan?

Dengan Andre yang kadang-kadang waras seperti ini saja sudah membuatnya bersyukur.

"Aku mau pergi ke rumah nenek. Dan kamu? Kenapa berada disini?"

Andre memasukkan tangannya ke saku celana. Ia memberikan isyarat melalui matanya pada Indra supaya pergi lebih dulu. "Latihan voly."

"Ah..." Selena paham. Lapangan bulu tangkis dan voly tidak jauh berada di sekitar sini. Maka tak heran Andre muncul juga.

"Kalau begitu kamu bisa pergi sekarang. Aku juga harus cepat pergi ke rumah nenek."

"Akhir pekan, kamu tidak lupa kan? Aku akan menjemputmu langsung ke rumah sambil meminta ijin pada tante Lyana."

"Huh? Memangnya apa yang akan kamu lakukan meminta ijin mama?" tanya Selena kebingungan. Dia lupa dengan ajakan Andre yang disetujuinya tanpa ragu saat itu.

Andre yang gemas kemudian menyentil kening Selena keras, "Kamu sudah setuju akan menemani diriku jalan-jalan."

"Tapi..."

"Tidak ada penolakan," sela Andre cepat, "Aku sudah memastikan kamu tidak ada shift pagi akhir pekan. Jangan mangkir dari janjimu, Selena." ucapnya terakhir kali sambil lalu. Meninggalkan Selena yang tidak dapat berkata-kata, sendirian.

"Aku pasti gila mengiyakan ajakan pria itu tanpa bertanya ini itu."

***

Don't forget support for this novel. Please vote, review and comment if you like this story. Thank you, guys.

avataravatar
Next chapter