33 Rencana Pengasuhan

"Sekarang pulang lah, adikmu sudah terlalu lama menunggu di luar. Kebiasaan adikmu itu belum berubah juga, Selena. Tidak mau menunggu di dalam sini meski sudah aku perbolehkan." Kata wanita paruh baya itu ssambil menggelengkan kepalanya mengingat kelakuan Marco yang enggan sekali menunggu kepulangan Selena di dalam toko.

Selena menggigit bibir bawahnya malu, "Dia pemalu, Bibi." Balasnya singkat.

"Sama sepertimu... Kalian berdua, sama-sama pemalu. Cepat pergilah, sudah malam. Hati-hati di jalan, Selena."

Marco duduk di bangku panjang yang diletakkan persis di depan toko, menunggu Selena. Setiap kali kakak perempuannya berada di shift sore kerja, Marco akan senantiasa menjadi orang yang menjemput kakaknya pulang.

Walaupun tingkat kejahatan di desa rendah, namun bukan berarti tidak ada tindak kriminal sama sekali. Apalagi baru-baru ini, desa itu sedang ramai dikabarkan tentang pelecehan pada wanita yang pulang dari bekerja di malam hari. Sang pelaku tak segan untuk menjegal para pengendara itu di jalan sepi dimana pepohonan karet membuat tempat tersebut semakin menyeramkan.

Selain dikarenakan akses jalan menyeramkan itulah satu-satunya, orang-orang pun tidak memiliki pilihan lain selain melewatinya. Meskipun desas-desus tentang hantu pun juga ikut ramai diperbincangkan.

"Dek, kita mampir beli bakso dulu ya." Selena muncul dari sisi kanan toko dan datang mendekati adik laki-lakinya.

Marco mendongak, saat dia lihat bahwa kakaknya lah yang bicara, bocah itu lalu mengucek matanya. Dia tidak sengaja tertidur. "Baiklah... Apa kakak sudah selesai?"

Selena mengangguk, sambil mengamit lengan Marco, dia mengajak adiknya pulang. "Hari ini kakak mendapatkan gaji. Besok, saat kamu pergi ke sekolah kamu bisa membayar uang buku pada wali gurumu, Marco."

Beberapa hari yang lalu, Marco mendapatkan surat dari wali gurunya perihal kwitansi buku-buku baru di semester tersebut. Dikarenakan peraturan dari sekolah, setiap murid harus membayar uang DP untuk mendapatkan buku itu. Pelunasannya bisa diangsur kan hingga lima kali pembayaran sampai ujian tengah semester diadakan.

Marco yang waktu itu tidak memiliki tabungan untuk membayar DP buku itu, terpaksa merundingkannya pada sang kakak. Tabungan hasil menjual ladang dari sebulan yang lalu sudah habis untuk biaya pengobatan nenek mereka yang memiliki penyakit.

Marco menundukkan kepalanya rendah setelah mendengar ucapan Selena. Seandainya dia cepat berubah menjadi seorang dewasa, dia mungkin tak akan menyusahkan kakak perempuannya seperti sekarang.

"Apa kakak sudah dengar soal tante Feby?"

Selena berdeham, "Sudah dengar."

Kakak dan adik itu melangkah dengan kaki ringan di sepanjang jalan beraspal yang terdapat beberapa lubang. Infrastruktur di desa tidak sama dengan yang berada di kota. Bahkan jalan aspal pun tidak tampak mulus selayaknya jalanan aspal seperti biasanya.

Bayangan dua orang dengan tinggi badan berbeda itu terlihat lucu di bawah cahaya lampu kuning. Selena sesekali akan bermain dengan bayangan mereka, karena menganggap hal itu menyenangkan. Meskipun Marco menaikkan alisnya disebabkan malu bertindak kekanak-kanakan, dia tidak menegur sang kakak yang tampak senang malam itu.

"Kakak setuju?" tanya Marco sambil mengamati ekspresi Selena dari samping.

"Mau bagaimana lagi..." jawab Selena sambil memalingkan kepalanya menghadap sang adik yang mengamati dia, "... Selama itu keinginan mama, kakak akan setuju, Marc. Lagipula, apa yang mama lakukan demi kebaikan keluarga kita. Setidaknya, saat Gibran berada di rumah tante Feby, kita terbantu banyak bukan?"

Bukan maksud Selena untuk membela keputusan ibu mereka yang mengiyakan tawaran tante Feby untuk membawa Gibran pergi ke rumahnya. Sejujurnya, dia merasa enggan juga jika berpisah dengan adik bungsunya tersebut. Namun dikarenakan keuangan rumah mereka yang benar-benar menyedihkan, ditambah dengan kewajiban setiap bulannya yang harus keluarganya bayar untuk melunasi utang-utang ayah mereka, dia pun tidak memiliki ide lain selain setuju dengan keputusan yang diambil oleh ibunya.

Gibran akan lebih baik berada di rumah tante mereka. Karena dia percaya, selama itu tantenya, Gibran tidak akan diterlantarkan dan pastilah adiknya itu tidak akan kekurangan susu seperti bagaimana biasanya.

"Kali ini, percayalah pada keputusan mama. Bukan berarti saat mama menyerahkan Gibran pada tante, itu artinya mama tidak sayang adik kita lagi, Marc. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan orang dewasa yang anak kecil seperti kita tidak dapat memahaminya."

Marco terdiam, dia merasakan hatinya mulai goyah setelah mendengar penjelasan lembut dari kakaknya. Dia tidak setuju dengan keputusan ibu mereka yang setuju begitu mudahnya menyerahkan Gibran pada orang lain. Meskipun orang lain yang dia sebut merupakan kerabat jauh yang begitu baik pada keluarganya selama ini. Meski begitu dia masih merasa berat untuk berpisah dengan adik bungsunya yang dia sayangi.

Selena membelai puncak kepala Marco yang terus merunduk, "Kamu tidak sendiri, Marco. Masih ada kakak yang akan menemanimu. Bukannya kamu sudah dengar juga apa yang dikatakan tante Feby waktu itu?"

"Apa?" Marco bertanya tak yakin.

"Sesekali, Gibran akan pulang ke rumah dan tinggal bersama kita. Jadi kamu tidak perlu cemas bahwa Gibran tidak akan kembali ke rumah."

"Aku hanya tidak mau berpisah dengan adik laki-lakiku." Gumam Marco dengan kepala menoleh ke samping. Lampu jalan yang berwarna keemasan memantulkan cahayanya sepasang mata bocah itu yang kini berkaca-kaca.

Selena meraih telapak tangan adiknya, "Kita tidak punya pilihan saat ini. Membiarkan Gibran berada di asuhan tante Feby merupakan pilihan yang bijak. Kamu tahu kan, betapa sayangnya tante Feby terhadap kita, Marc?"

Butuh dua menit bagi Marco untuk menyetujui perkataan dari kakak perempuannya, "Ya, kak, aku tahu." Karena selain tante Feby, tidak ada orang lain dari pihak ibunya yang menyayangi mereka layaknya anak kandung sendiri.

***

Don't forget support for this novel. Please vote, review and comment if you like this story. Thank you, guys.

avataravatar
Next chapter