35 Korban Perasaan

"Saat ayah masuk penjara setengah tahun yang lalu. Mungkin, karena bunda tahu aku dan mama akan sangat membutuhkan uang, jadi beliau menyarankan aku untuk menemanimu belajar."

"Boleh juga. Lalu kenapa kamu belum juga menjadi pembimbingku, Selena?" tanya Christine keheranan. Tak mungkin kan kalau sahabatnya ini menolak usulan dari bunda?

Selena mengulurkan kakinya, lalu menendang betis Christine keras, "Kalau aku yang menjadi guru les mu, memangnya kamu sungguh-sungguh akan belajar?" ucap Selena sambil melotot.

Christine berdiri, duduk di samping Selena. Sebelum berbicara dia pun menyeruput cokelatnya, "Justru karena itu dirimu, Selena. Aku tidak perlu banyak belajar kan. Kalau kamu yang jadi guru lesku, aku jadi punya banyak waktu untuk bermain."

Selena tak segan menoyor kening sahabatnya dengan keras.

"Aduhhh... Sakit tahu!" Keluh Christine sambil mengusap keningnya yang nyeri.

"Aku tahu kamu tidak suka belajar, Ris. Tapi meskipun begitu, serius lah kali ini. Kita sudah SMA sekarang bukan anak SMP lagi. Memangnya kamu tidak mau pergi ke Universitas setelah lulus?"

"Tidak... Aku berencana ingin mendaftar kelas akting setelah lulus."

"Apa?" Selena membelalakkan matanya terkejut. "Om Krisna tahu tentang keputusanmu ini?"

"Aku akan berusaha membuat ayah menerima keputusanku. Tolong, Selena, jangan beritahu bunda dan ayah dulu, oke?"

"Ris... Kamu... Kamu serius?" Tanya Selena tak percaya dengan keputusan sahabatnya.

"Aku sudah memikirkannya matang-matang, Selena. Menjadi model sangat cocok buatku. Jika aku nanti sering muncul di televisi, seluruh penduduk Indonesia akan tahu, jika ada bidadari secantik diriku tinggal di negara ini." Katanya penuh percaya diri sambil mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai.

Selena yang melihat tingkah Cristine yang memalukan menurutnya hanya memutar bola matanya jengah. "Ya ya ya, mahluk Tuhan yang paling sexy..." sindir gadis itu dengan muka menyebalkan.

"Itulah aku. Putri dari Krisna Hasyim dan Warda Anggita hehehe..."

"Omong-omong Selena, aku mendengar kabar kalau kamu pergi hangout bersama Andre kemarin. Kenapa kamu tidak bilang padaku?"

"Kalau aku bilang padamu memangnya kamu akan memperbolehkan?" Tanya Selena dengan alis terangkat.

"Tentu saja tidak. Saat aku tahu kalau kamu sedang berduaan saja bersama Andre sudah membuatku rasanya ingin marah. Bagaimana ceritanya kamu bisa berakhir dengan pria menyebalkan itu di akhir pekan? Ceritakan padaku." Desak Cristine yang mulai tidak sabar mendengar penjelasan dari Selena.

"Dia yang memaksaku..."

Belum selesai Selena dengan kata-katanya namun Cristine sudah menyelanya, "Sudah aku duga bajingan itu akan melakukan itu padamu!"

"Dengarkan aku bicara dulu sampai selesai, baru kamu boleh memakinya sepuas dirimu!" Kata Selena dengan nada jengkel.

"Selain memaksamu untuk ikut dengannya, apa lagi yang dapat dia perbuat? Tak mungkin kamu mau begitu saja atas ajakannya jika dia tidak menggunakan trik licik di tangannya itu untuk menjebakmu!"

Meskipun yang dikatakan Cristine ada benarnya - meski sedikit - dia juga tidak keberatan hangout bersama Andre. Tapi dia tak perlu memberitahu sahabatnya ini mengenai hal itu bukan?

"Aku sudah berjanji padanya, Ris. Dia sudah membantuku saat itu jadi untuk membalas kebaikannya, aku mengiyakan saja ajakannya. Lagi, bukan aku yang mengeluarkan uang selama kami pergi bersama-sama."

"Aku juga bisa membayar apapun untukmu, Selena!"

"Iya, iya, iya, kamu bisa melakukannya juga." Selena menyetujui dengan cepat perkataan Cristine karena tidak mau obrolan ini melebar kemana-mana, "Kamu harusnya fokus mengerjakan tugas sekolahmu, Ris. Bukannya tadi kamu bilang tidak mau di ganggu?"

Cristine yang teringat dengan pekerjaan rumahnya, menepuk keras keningnya sendiri, "Astaga... Aku lupa!"

***

Lyana duduk termenung di dalam kamarnya, seorang diri. Wanita dewasa itu duduk dengan bersandar di dinding ranjang. Kepalanya merunduk, wajahnya yang cantik disembunyikannya di balik lipatan tangan.

Banyak sekali pikiran yang membebani otaknya malam ini. Mengenai tabungannya yang semakin menipis, mengenai utang-utang dari suaminya, dan biaya perobatan ibu kandungnya.

Masalah perekonomian yang melanda kehidupannya, menyebabkan Lyana tertekan kian hari. Dia tidak memiliki apapun yang dapat dijualnya sebagai pemecah masalah kebuntuannya kali ini.

Terakhir kali, dia sudah menjual sebagian tanah pertanian milik ayahnya sebagai biaya perobatan sang ibu yang kambuh. Dan sekarang, hanya tersisa sepetak bidang tanah untuk dikelolanya sendiri. Jika dia juga menjualnya, bagaimana ke depannya dia memberikan makan keluarganya?

Di dunia ini, mungkin hanya ada satu orang yang dapat membantu kesusahannya. Hanya orang itu saja. Akan tetapi jika dia datang kepada orang itu, dia harus bersiap untuk direndahkan sepenuhnya. Martabatnya sebagai wanita dan seorang ibu, harga dirinya, dia harus  bersedia untuk menyerahkan semuanya. Demi uang. Demi selembar kertas yang sangat dia benci tapi sangat dia butuhkan di dalam hidupnya.

"Aku tidak punya pilihan..." Ucap wanita itu putus asa.

Malam itu, Lyana terjaga sepanjang malam hingga pagi keesokannya. Saat subuh sudah tiba, dia keluar dari kamar, pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Tidak ada yang mengetahui kepergiaanya dari rumah pagi itu. Sosoknya menghilang di balik kabut pagi pedesaan menuju ke tempat yang sangat dia benci.

Tidak butuh waktu lama bagi Lyana pergi ke tempat yang dia ingini. Selain dirinya yang berada di tengah gelap di area padang golf, para pekerja yang biasa datang pagi tampak terlihat di kejauhan. Secara samar, cahaya kecil dari sebuah mobil yang sangat familiar baginya terlihat di kejauhan. Orang yang dia cari.

Angin dingin di pagi hari menembus kulit Lyana yang dibalut sweater rajut usang. Rambut panjangnya diikat tinggi, menampilkan lehernya yang jenjang dan putih.

"Lyana, kamu kah itu?" Suara pria dewasa menggema di antara keduanya. Lyana mengepalkan tangannya di antara jahitan rok panjang lipat yang dia pakai.

"Ya... Ini aku."

Raut terkejut tampak terlihat di antara alis pria dewasa itu saat orang yang berdiri di depannya memang lah benar wanita yang dia cintai.

"Apa yang kamu lakukan berdiri di sini pagi-pagi begini?" Pria itu melangkah semakin dekat. Tubuhnya yang tinggi menjulang di hadapan Lyana.

Lyana mendongak, tanpa ekspresi apapun, dia langsung berkata, "Tawaranmu waktu itu... Aku menyetujuinya. Aku bersedia. Hanya untuk kali ini saja." Tidak ada siapapun yang tahu, betapa sakit hatinya saat dia memeras keluar kalimat penuh penghinaan tersebut.

"Apa? Apa yang baru saja kamu katakan, Lyana?"

"Aku tidak mengulang perkataanku. Jika tawaran itu masih berlaku, aku bersedia melakukannya hari ini."

***

Jadwal update cerita ini akan diperbarui rutin mulai dari tanggal 1 Maret, sehari 2/3 bab.

Mulai dari bab 36, sudah di kunci ya. Sebagai refrensi dari menghemat koin yang kalian keluarkan, aku akan usahain buat kasih spoiler perbab di instagram guys. Di akun ini ya @angelagardenia08

Jangan lupa vote, komen dan reviewnya kalau kalian menganggap cerita ini menarik. Dukungan kalian sangat membantu memotivasi penulis ini.

Terima kasih banyak.

avataravatar
Next chapter