1 Marabahan

Lembut daun pohon kerambil bergoyang-goyang. Disapu angin sepoi-sepoi kering. Pucuk-pucuk pohon yang lain pun ikut terkena. Berikan hawa sejuk kepada siang itu yang sinar mentarinya terasa nyengat sekali.

Suasana kota saat itu sepi. Meski hari Senin harinya orang sibuk. Namun tak banyak kelihatan yang berlalu.

Hanya sedikit kebanyakan memang mereka ada perlu. Seperti suasana salah satu Bank Swasta yang sedari pagi tadi sudah ramai.

Banyak orang berlalu lalang di situ. Beberapa nasabahnya bahkan duduk di pekarangan. Sabar menunggu demi dapat nomor antrean.

Ujarnya di dalam sana sesak para nasabah sedang buka tabungan haji. Sampai matahari telah turun dari puncak langitnya, antrean duduk para nasabah tadi masih bersusun.

Angin sepoi yang menyapu kenai mereka jua. Jadilah kain bajunya berkibar-kibar. Jilbab-jilbab yang perempuan sedikit ikut tersingkap. Barangkali sebab damainya rasa angin sepoi itu. Kini mereka mangut-mangut seperti orang mengantuk.

Beberapa ada yang hanya melamun. Seperti pria berkaus putih yang duduk di latar bangunannya. Ia menatap ke arah jalan. Pandangan sesungguhnya tiada ke sana. Ke lain ke dalam pikirannya sendiri yang barangkali telah berayun entah kemana. Mungkin ia berujar di dalam hati,

"Apalah penyebab antrean bank ini lama sekali?"

Bila engkau tengok baik-baik. Di antara nasabah yang sedang duduk mengantre itu adalah seorang gadis. Dia bukan asli orang sini. Dia bukan orang Kalimantan asli. Bila dilihat dari warna kulitnya agaknya dia orang Jawa.

Ia jua salah satu yang menunggu. Bukan demi mendapat nomor antrean. Namun menunggu kedua orang tuanya yang sedang membuka tabungan haji.

Rupanya gadis ini orang yang pemalu. Sedari pagi ia di sini. Tak sedikit pun ia hendak membuka mulut. Duduk saja membatu sambil menunduk-nunduk.

Padahal ada satu dua lelaki yang hendak mengajaknya mengobrol. Setidaknya si pak Satpam. Namun mereka urungkan jua. Setelah terbesit dalam pikirnya. Bila gadis yang seperti ini agaknya sukar diajak bicara. Dari pada diabaikan lebih baik tak usah dicoba saja. Toh bukan pula hal yang penting. Begitulah mungkin pikir para lelaki itu.

Bila jilbab gadis itu tersingkap tersapu angin, angin siang yang hendak ke sore. Matanya terpejam. Ia sandarkan tubuhnya ke kursi. Direnggangkan kedua kaki dan tangannya. Ia miringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Luruskan otot. Barangkali segarlah rasanya. Sebab sedari ia di sini. Tiada kegiatan gadis itu selain menunduk bermain HP.

Sedianya ada satu dua lelaki yang melirik. Tapi melirik saja. Berat hendak berbuat lebih. Sebab dari rupanya gadis itu tampaknya bukan orang yang ramah. Hari ini tadi gadis itu bersama kedua orang tuanya pergi ke Marabahan.

Marabahan ialah suatu kota di Kalimantan Selatan. Kota ini sunyi tapi indah. Kotanya bersih. Rapi pohon akasia dan bunga sepatu ditumbuhkan di bahu jalannya. Rona kelopak bunga sepatu yang rupa-rupa sungguh sejukkan mata. Senangkan hati bagi siapa pun yang melihat. Apalagi bila bunga itu ditimpa cahaya senja. Keindahannya jadi sukar terkikis dari ingatan.

Kota ini dikukung laut. Ketika matahari sudah menggantung tak jauh dari ufuk barat. Disitulah biasanya angin dari laut menyapu kencang. Pemandangan senja dari sana menimpa kota ini. Agaknya suasana seperti itu adalah romantis bila dihabiskan di Marabahan.

Sayangnya gadis itu tak tinggal di sini. Ia bukan orang sini. Tempat diamnya lumayan jauh dari sini. Bila ditempuh dengan motor. Barangkali boleh dihabiskan tiga sampai dua jam barulah sampai ke rumahnya. Gadis itu tinggal di dusun. Ia orang desa.

avataravatar