2 Part 1

Amanda's Pov

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)

###

Aku tidak tahu untuk apa aku hidup di dunia ini, aku ibarat sebuah robot yang diperintahkan untuk selalu patuh. Bahkan aku sendiri tidak tahu apakah aku masih mempunyai hak atas tubuh dan hatiku ini. Aku hidup tapi aku juga merasa mati, aku bernyawa tapi seolah tak punya rasa.

***

Hari ini tepat setahun setelah kejadian naas di hari pernikahanku dengannya. Sosok lelaki yang sama-sekali tidak aku kenali sebelumnya. Hari di mana harusnya menjadi hari berbahagia bagi kami berubah menjadi bencana. Amar nama lelaki itu, mengalami kecelakaan tunggal saat perjalanannya menuju ke tempat pernikahan kami, sesaat setelah dia selesai bertugas. Kecelakaan yang begitu luar biasa parahnya membuatnya meninggal di tempat saat itu juga.

Kematiannya menjadi pukulan keras untuk Pak Rama dan bu Santi atau saat ini aku memangil mereka papa dan mama. Tapi bukan itu masalahnya. Melainkan pada perubahan sikap papanya Amar setelah dia meninggal. Papa seolah punya kehidupan sendiri bahkan seolah dia menganggap Amar belum meninggal

"Tasya ... Mama ingin kamu nanti datang ke kantor papa untuk mengantar bekal untuk papa ya, Nak?" Seketika aku tersadar dari lamunanku mendengar permintaan dari seorang perempuan paruh baya yang tak lain adalah mama dari Amar calon suamiku yang telah tiada. Perempuan baik yang selama ini mendampingi papa, beliau tak pernah mengelum sebagai seorang istri, hanya saja terkadang ... ahh sudahlah tak baik aku teruskan.

"Iyaa, Ma." Aku mencoba menjawab meski singkat. Entah kenapa mendengra kata papa aku merasa sungkan. Meski beliau baik terhadapku tapi tetap saja baiknya beliau tidak aku rasakan sampai ke dalam hati.

"Tasya ... Mama paham dengan apa yang kamu rasakan," benarkah? Tanyaku dalam hati. Aku ingin tertawa rasanya.

"Mama sudah berusaha menasehati papamu agar dia paham kalau Amar sudah meninggal." Mama menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan ucapannya, "kamu berhak bahagia, Sya, kamu tidak harus di sini dan membenarkan tindakan papa yang menggangap Amar masih hidup dan menganggap kamu adalah menantunya."

"Ma .... "

"Mama ikut sakit melihatmu seperti ini, Mama memang bukan ibu kandungmu tapi melihatmu seperti ini Mama merasa sangat bersalah." Aku hanya bisa menarik sedikit bibirku membentuk sebuah lengkungan yang orang sebut senyum, saat melihat Mama. Aku tidak tahu apa itu sakit, apa itu hidup, apa itu cinta. Yang aku tahu adalah aku bangun, bernapas, lalu tidur lagi. Selalu seperti itu. Tidak ada lagi warna dalam hidupku sejak kematian Amar.

"Jangan berusaha untuk tersenyum kalau kamu terluka, Nak. Mama lebih suka kamu menangis kalau memang kamu tidak sanggup."

"Ma... Tasya tidak apa-apa Mama jangan khawatir, anggap saja ini balas budi Tasya untuk Mama dan papa. Tasya bahagia kok, kalian sudah jadi orang tua yang tidak pernah Tasya miliki. Sudah ya, Mama jangan bersedih lagi. Tersenyumlah Ma, agar Tasya juga bisa ikut senyum."

Mama memelukku tanpa mengatakan apapun hanya mengucapkan banyak terima kasih. Entah terima kasih untuk apa.

###

"Permisi Kak Mita, apa papa ada di ruangannya?" tanyaku pada resepsionis di kantor papa. Namanya Mita dia sudah mengenalku karena aku sering mengantarkan makan siang untuk papa sebelum pergi ke Panti Asuhan tempat aku mengabdi. Aku suka anak-anak dan bersama anak-anak aku merasa apa itu hidup.

Papa melarang ku bekerja karena Amar selalu mengirim uang padaku. Hemmm aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Dalam hati sering aku menjerit. Apakah ada orang meninggal yang bisa mengirim uang dari dalam kubur?

"Eh ada Mbak Tasya, Pak Presdir ada kok, Mbak bisa langsung masuk saja, biar saya infokan ke sekertaris beliau."

"Makasih ya Kak Mita, oh ya ini ada makan siang untukmu," ucapku seraya menyerahkan kotak bekal untuknya.

"Mbak Tasya,  kenapa repot-repot?"

"Nggak papa, berbagi itu indah"

Aku pergi menuju lift yang akan membawaku ke tempat papa. Beberapa karyawan di sini memang sudah tahu siapa aku, tapi bukan berarti mereka semua memandangku, ada kalanya ada beberapa karyawati yang memalinkan muka padaku. Entah kenapa.

"Tunggu sebentar," teriakku saat lift mulai tertutup. Semoga yang di dalam mendengar dan menahan pintunya.

"Terima kasih," ucapku setelah masuk, ternyata dia mendengarku dan menahan pintu agar tidak tertutup. Aku melihat lelaki yang ada satu lift dengan ku. Tampilannya memang biasa saja tapi kenapa aku merasa nyaman dengan melihat wajahnya. Astaga. segera aku memalingkan wajah, aku tidak mau terpesona dengannya.

"Lantai berapa, Mbak?"

"Lantai sepuluh."

"Baiklah."

Kami saling diam karena memang tidak saling kenal dan aku adalah jenis orang yang tidak terlalu suka berinteraksi dengan lawan jenis apalagi yang tidak aku kenal. Sampai di lantai empat dia pamit turun duluan dan aku hanya menjawab dengan anggukan saja. Tampan.

###

"Papa, Tasya datang bawa pesanan Papa, mama buatkan masakan spesial untuk Papa katanya," seruku ceria setelah membuka pintu ruangan Papa. Setelah dapat izin dari sang pemiklik ruangan pastinya.

"Ahh menantuku sudah datang, mana-mana makanannya, Mama kamu masak apa buat Papa?" tanyanya seraya menerima kotak bekal makanan yang aku bawa. Aku melihat sosok paruh bawa yang begitu semangat melihat masakan istrinya.

"Wah Mama memang istri idaman, dia selalu tahu keinginan Papa. Tasya, nanti juga harus begitu kalau Amar pulang dari tugasnya kamu harus layani dia seperti mama melayani Papa "

Deg

"Iya Papa. Ya sudah kalau begitu Tasya pergi dulu ya Pa, soalnya Tasya harus ke panti "

"Baiklah, dan tunggu Papa ada sesuatu buat kamu dan juga anak-anak Panti. Ini titipan dari Amar." Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Papa mengambil sebuah amplop dan juga sebuah kotak kecil.

"Ini kalung hadiah dari Amar untukmu dan ini ada sedikit uang buat anak-anak Panti."

"Terima kasih Pa, Tasya pergi dulu," pamitku meninggalkan ruangan dengan penuh sesak dalam dada. Apalagi ini, kugenggam erat kotak merah kecil di tanganku. Harus aku apakan barang ini nantinya.

###

"Umi, ini ada titipan dari Papa buat anak-anak panti, semoga bisa berguna ya Umi." Aku memberikan uang yang tadi papa berikan, kepada kepala Panti.

"Alhamdulillah, terima kasih, Nak Tasya. Sampaikan salam Umi untuk papa dan mamamu yaa,"

"Iya Umi, ya sudah Umi,  Tasya mau bantu yang lain dulu ngurusin anak-anak."

"Ya sudah di sana sudah ada Mbak Tatik sama Mbak Indah."

"Iya,  Umi."

Panti Asuhan Al-fatih ini adalah tempatku mengabdi sejak 7 bulan lalu. Di sini aku merasakan ketenangan dan juga hiburan tersendiri, ikut menjaga bayi-bayi yang terlantar di sini membuatku mengingat masa lalu. Aku juga anak yatim piatu, kata suster yang menjagaku di Panti, aku ditemukan di depan pintu saat hujan deras. Betapa tega orangtuaku menelantarkan aku. Tapi tak apa, mungkin inilah jalannya.

Aku menuju ruang bayi di Panti Asuhan ini, ada seorang bayi laki-laki lucu yang membuatku jatuh cinta. Aku sangat ingin merawatnya, tapi mama dan papa melarangku. Pernah aku meminta izin untuk mengadopsi Ardi tapi papa mengatakan Amarlah yang akan memberiku anak, kenapa harus adopsi? Papa, andai papa tahu anak papa itu sudah meninggal. Mama sendiri mengatakan aku harus mengikuti kata papa dari pada papa marah.

Bayi itu bukan bayi yang dibuang, tapi bayi itu berada di sini setelah selamat dari kecelakaan yang menyebabkan kedua orang tua dan juga kakek neneknya meninggal. Sudah dua minggu dia berada di sini tapi sejak berita kecelakaan itu muncul di TV belum ada sanak keluarga yang datang untuk mengambil sang bayi. Padahal mereka sudah datang saat menjemput jenazah keluarga si bayi. Dengan alibi karena kondisi bayi masih harus di rawat mereka meninggalkannya di rumah sakit. Tapi apa? Sampai kondisi bayi pulih keluarga yang kemarin datang tidak muncul kembali. Apa salahmu Ardi padahal kamu hanya butuh kasih sayang tidak lebih.

"Mbak,  di mana Ardi,  Mbak?" aku bertanya pada Mbak tatik saat aku tidak menemukan Ardi di dalam boxnya.

"Dia ada di halaman. Sedang bermain dengan Mbak Indah, soalnya dari tadi rewel tidak mau tidur siang, sepertinya dia merindukanmu, Sya." Mbak Tatik dan Mbak Indah adalah pengasuh di sini. Kedua perempuan berhijab itu juga begitu baik padaku. Meski aku berbeda dari mereka, ya di antara semua yang ada di sini akulah yang berbeda, namun mereka tidak pernah membedakanku di sini.

Aku melangkah ke halaman tengah Panti, di sini adalah area yang sangat rindang dan sejuk, karena pepohonan di sini yang sedikit lebih rindang. Aku melihat Mbak Indah sedang menimang Ardi. Ah malaikat kecilku.

"Mbak, biar Tasya yang gendong, Mbak." Aku mencoba meminta Ardi setelah aku berada cukupp dekat dengan Mbak Indah, Mbak Indah ini dia juga seorang ibu. Suaminya bekerja sebagai pegawai swasta di salah satu perusahaan di Jakarta ini. Anaknya yang berumur lima tahun sering ia bawa datang kemari untuk bermain, kala ia tidak masuk ke sekolah. Sebenarnya sangat dini untuk sekolah tapi Mbak Indah mau sebagai anak lelaki, anak pertamanya itu harus bisa hebat dan membanggakan.

"Ehh Tasya, ini dari tadi Ardi rewel sepertinya dia begitu merindukanmu," Mbak Indah menyerahkan Ardi padaku. Muhammad Ardi, namanya. Nama yang begitu indah dan menyejukkan hati. Aku selalu berdoa dan berharap, jadilah kelak kau lelaki yang hebat ya, Nak, seperti suri tauladan Nabi Muhammad SAW Nabi utusan Allah, Tuhanmu.

TBC

avataravatar
Next chapter