6 Bab 5

"Tidakkkk!! Sampai kapanpun aku tidak akan percaya kalau Amar sudah meninggal. Anakku belum meninggal putraku itu sedang bertugas!!! Ibu macam apa kau ini sampai tega mengatakan bahwa putranya sendiri sudah meninggal?"

Aku mendengar pertengkaran lagi, pertengkaran kedua orang tua Amar. Tidak pernah ada habisnya, sekeras apapun Mama memberitahukan kebenaran, maka sama kerasnya pula Papa akan menolaknya.

"Tapi itu kenyataan yang memang harus kita terima, Amar kita sudah meninggal Pa! Dia meninggal di hari pernikahannya, sadarlah Pa, Amar sudah meninggal Mama mohon jangan seperti ini, ikhlaskan Amar."

"Tidakk, Ma, tidak. Amarku belum meninggal titik!" Setelah ultimatum yang Papa ucapkan beliau keluar kamar dengan membanting pintu. Aku segera keluar dari persembunyian dan masuk ke kamar Mama untuk memeluknya.

"Mama."

"Tasya, Mama nggak kuat, Sya, Mama sudah tidak kuat menghadapi Papa. Apa papamu pikir Mama tidak terpukul, apa papamu pikir Mama tidak sedih? Mama, Sya. Mama yang mengandung dan melahirkannya, Mama yang berkorban nyawa untuk melahirkan Amar tapi papamu bilang, Mama tidak becus jadi seorang ibu," adu mama padaku.

Aku tahu kedua orang tua Amar sangat terpukul akan kematian anaknya. Tapi apa yang dilakukan Papa pasti sangat melukai perasaan Mama. Bukan hanya Papa yang kehilangan tapi juga kami semua, termasuk aku yang hanya sekedar calon istri.

"Ayo kita pergi, Sya. Mama sudah tidak sanggup lagi menghadapi papamu."

"Tapi, Ma, Papa akan sendirian."

"Papamu yang memilih untuk seperti ini. Jadi Sya kamu maukan ikut Mama, kita pergi dari sini."

Aku bingung, di sisi lain tidak mungkin aku membiarkan Mama pergi sendiri tapi di sisi lain aku tidak tega meninggalkan Papa yang seperti sekarang ini. Apa yang harus aku lakukan.

"Nyonya, sebaiknya Nyonya menemui Den Nail, temannya Den Amar" ucap Bibi dari ambang pintu, di rumah ini memang sudah tidak ada lagi rahasia mengenai peringai dan sikap Papa. Dan siapa itu Nail? Teman yang mana?

"Tapi aku tidak tahu di mana dia tinggal, Bi"

"Bibi dulu sempat menyimpan alamatnya Nya saat Den Nail datang dulu itu, mungkin Den Nail bisa membantu."

"Iyaa Bibi benar pemuda itu sepertinya bisa membantu kita, Bi, mana Bi alamatnya?"

"Bentar, Nya" aku melihat bibi keluar kamar mama. Aku semakin penasaran siapa itu Nail?

"Ma, siapa orang yang dimaksud Bibi?"

"Ahhh Itu teman Amar dia yang dulu jadi Imam saat Amar disholatkan?"

"Apa? Disalatkan? Tapi Amar bukannya...?"

"Amar sudah menjadi Muslim sehari sebelum meninggal Sya, di hari pernikahan kalian dia akan mengakui dirinya Muslim, tapi naas kecelakaan tidak terhindarkan. Dia ingin mengajakmu bersamanya setelah menikah, tapi takdir berkata lain dia lebih duli dipanggil oleh Tuhan."

Aku sama sekali tidak menyangka dengan apa yang Mama katakan, Amar muslim, benarkah?

"Apa Papa tahu, Ma? "

"Tidak ada yang tahu, Nak. Mama sendiri tahu saat Amar akan dimakamkan temannya datang dan mengatakan ingin menguburkan Amar dengan cara Islam, semua keluarga menolak pada awalnya namun surat pernyataan yang menyatakan Amar adalah muslim membuat Mama menyetujuinya. Meski keluarga banyak yang menentang tapi Mama percaya Amar ingin di makamkan secara Islam."

"Mama percaya dengan adanya Allah?"

"Percayakah kamu kalau Mama juga terkadang Sholat, dan juga berpuasa saat Ramadhan?"

"Mama...."

"Mama merasa tenang saat salat, Sya." Aku tidak habis pikir dengan apa yang mama katakan. Tapi memang benar sih, saat Salat kita jadi lebih tenang, akupun pernah melakukannya.

"Ini, Nya, alamatnya," ucap Bibi yang barusan masuk dengan membawa secarik kertas.

"Terima kasih, Bi, bilang sama Mang Parjo tolong siapin mobil ya?"

"Iya, Nya"

"Kamu mau ikut, Sya?"

"Boleh, Ma."

"Kalau begitu bersiaplah."

"Iya, Ma." Keluar dari kamar Mama dan menuju kamarku, mencari pakaian yang cocok untuk ganti, tak lupa aku mencari selendang sebagai penutup. Entahlah aku suka sekali menutup rambut dan kepalaku akhir-akhir ini.

# # #

"Permisi." Kami sudah sampai di sebuah rumah yang sangat Asri dan saat masuk di halaman tadi rasanya sangat sejuk. Mungkin karena banyak tanaman hijau di halaman rumah ini. Kata Mama ini rumah Nail. Tapi nampaknya akan ada pesta pernikahan, apakah pernikahan Nail Nail itu? Tapi kenapa kok ada rasa menganjal dalam hati ya saat aku mengira Nail itu akan menikah?

"Iyaa, cari siapa yaa?" ucap seorang perempuan paruh baya dengan hijab lebarnya, terlihat sangan anggun dan cantik. Rasanya ada salah satu sudut hatiku yang ingin sekali mencoba untuk mengenakannya.

"Maaf apa benar ini rumah saudara Nail?" tanya Mama sopan.

"Iyaa benar dia anak saya, ada apa yaa, Bu?" Perempuan itu sedikit mengeryit, mungkin merasa sedikit heran anaknya di cari dua wanita yaitu kami.

"Saya ingin bertemu dengannya boleh?"

"Ohh boleh-boleh silahkan masuk dulu, maaf rumahnya sedikit berantakan"

"Tidak apa-apa, Bu, sepertinya akan diadakan pesta?" tanya mama sekali lagi, memang benar rumah ini di hias seolah akan ada acara besar.

"Iya, Bu, acara pernikahan anak saya."

"Pernikahan? Nail?" Mendengar nail akan menikah kenapa aku merasa kecewa ya? Padahal aku saja tidka mengenalnya, ah mungkin karena kalau dia menikah akan sungkan saat ada istrinya kalau aku mau minta tolong. benar mungkin saja seperti itu.

"Bukan, Bu. Tapi adiknya yang menikah, sebentar yaa Bu saya panggilkan dulu Nailnya." Lega ternyata bukan Nail yang menikah.

"Iya, Bu?"

"Ma, Nail itu seusia Amar kan ya?"

"Iya, Nak, kenapa?"

"Berarti adiknya lebih muda kan yaa?"

"Iya pastinya, Nak."

"Lalu kenapa terburu-buru menikah? kan dia masih muda?"

"Sama halnya denganmu dan Amar bukankan saat itu usiamu masih muda Nak, sekarang saja kamu baru usia dua satu kan?"

"Tapi kan Ma...,"

"Menikah itu ibadah, bila memang sudah ada yang berniat mengajak ibadah, kenapa harus ditunda?" jawab seorang pemuda yang baru saja turun dari tangga. Sepertinya aku pernah melihatnya tapi di mana yaa?

"Maaf," ucapku tulus, mungkin dia tersinggung karena membahas pernikahan muda.

"Tidak apa-apa." Aku melihat pemuda itu menangkupkan tangannya di depan dada sebagai ganti salaman bagi yang bukan mahrom. Ah aku sedikit tahu tentang Islam.

"Sebelumnya saya minta maaf, tapi kalau boleh tahu ada apa Ibu Santi dan Nona...,"

"Tasya."

"Oke, Ibu Santi dan Nona Tasya ada keperluan apa yaa?"

"Sebelumnya Nak Nail apakah masih mengingat Ibu? "

"Insya Allah Masih Ibu, Ibu adalah Mamanya Amar Rahimahullah kan ya? "

"Iya, Nak, kalau begitu tidak salah Ibu datang ke sini."

"Ada apa ya, Bu?" Tidak ada perubahan mimik sama sekali di wajahnya. Datar atau tak Terbaca, ah entahlah.

"Nak Nail, bisakah membantu ibu? "

"Membantu apa ya, Bu?"

"Membantu menyadarkan Ayahnya Amar untuk menerima kenyataan bahwa anak kami susah meninggal."

"Astagfirullah, apakah selama ini beliau belum menerima kematian Amar rahimahullah?"

"Selama ini suami Ibu menganggap anak kami masih hidup dan sedang bertugas."

"Diriwayatkan dlam sebuah Hadist. 'Ketika Saad bin Ubadah sedang sakit, Nabi s.a.w. menjenguknya bersama 'Abdurrahman bin 'Auf, Saad bin Abu Waqqash dan 'Abdullah bin Mas'ud r.a. Ketika Beliau menemuinya, Beliau mendapatinya sedang dikerumuni keluarganya, Beliau bertanya: "Apakah ia sudah meninggal?" Mereka menjawab: "Belum, wahai Rasulullah." Lalu Nabi s.a.w. menangis. Ketika orang-orang melihat Nabi s.a.w. menangis, mereka pun turut menangis, maka Beliau bersabda: "Tidakkah kalian mendengar bahwa Allah tidak mengadzab dengan tangisan air mata, tidak dengan hati yang bersedih, namun Dia mengadzab dengan ini," lalu Beliau menunjuk lidahnya' (H.R. Bukhari No. 1221)

Mungkin saat ini suami Ibu tidaklah meratap secara harfiah tetapi penolakan akan kematian Amar Rahimahullah akan membuat perjalan Amar Rahimahullah di alamnya saat ini sangatlah panjang."

"Lalu Ibu harus bagaimana, Nak. Ibu sudah menyampaikan pada suami Ibu tapi dia tetap keras kepala, Ibu tidak kuat lagi, Nak."

"Ibu, tetaplah di sisi suami Ibu karena bila Ibu meninggalkannya maka beliau akan makin tersiksa batinnya, Insya Allah Nail akan bantu dengan doa dan mungkin Nail akan mencoba berbicara dengan Suami, Ibu."

"Terima kasih Nak."

"Ini silahkan diminum dulu," ucap Ibu Nail seraya membawa nampan yang berisi beberapa cangkir dan juga setoples makanan ringan.

"Terima kasih, Bu" ucap Mama dan aku berbarengan.

"Nak, apakah kamu bersedia membimbing Ibu untuk mengenal Islam lebih dalam?" pinta Mama tiba-tiba. Ada apalagi ini?

"Insya Allah, Ibu Nail akan bantu,Umi Nail juga akan bantu, iyakan, Umi?"

"Iya, Ibu, insya Allah saya juga akan bantu,"

"Baiklah terima kasih, saya akan kesini setiap sore boleh?"

"Boleh ibu sangat boleh, sesenggangnya Ibu saja, saya selalu ada di rumah kok, Bu."

Akhirnya hari ini kami mendapat bantuan, semoga Nail dapat membantu kami menyadarkan Papa. Tapi aku masih bingung dengan jalan pikiran mMaa yang ingin belajar Islam. Jangan sampai ada masalah lagi nantinya.

avataravatar
Next chapter