1 Chapter 1

"Ini nih Yan, tempat kita KKN. Kita di kasih tugas buat jadi guru sementara di sini," Ujar Dea, si ketua kelompok pada Ryan rekannya saat tiba di lokasi tempat mereka mengajar.

Dea Amanda adalah seorang mahasiswa yang sedang mengadakan KKN sebagai tenaga pengajar di SMA Tunas Harapan. Usianya 22th. Parasnya cantik dan menawan dengan rambut yang selalu di ikat ekor kuda.

Ryan Aretra, teman satu kampus Dea. Mereka merupakan teman satu kelompok. Yang lainnya mengajar di berbagai sekolah di kota itu

"De, lihat deh, anak cowok yang lagi duduk berlima itu, gayanya seperti preman sekolah." Ryan menunjuk sekelompok Anak cowok yang sedang duduk-duduk di dekat lapangan basket dengan pakaian acak-acakan. Tentu saja ini membuat Dea kesal dan mendatangi mereka.

"Telinga kalian nggak berfungsi dengan baik ya! Bel masuk sudah lima menit berlalu tapi masih asik nongkrong disini?!" Dea menegur mereka dengan nada tinggi. Ia anak yang di siplin saat sekolah, makanya dia tidak suka melihat anak bandel.

"Itu kayaknya anak kuliahan yang mau KKN di sekolah kita Van, berani juga ya dia. Ayo kasih jurus kamu, tunjukin sama dia, kamu bisa menindasnya." Hasut teman dari anak laki-laki yang di panggil 'Van' itu.

Dia Devano Artama, Anak cowok terpopuler di sekolah ini. Wajahnya yang tampan dan kulit yang putih menjadikannya idola di sekolah. Terlebih lagi ia adalah Kapten Basket SMA Tunas Harapan.

Dengan berani dia berjalan ke arah Dea, sampai sangat dekat, bahkan hidung mereka pun hampir bersentuhan. Dea tidak suka di perlakukan seperti ini, sementara Devano, justru merasa tertantang untuk menjahili Dea. Ia meraih dagu Dea, sampai wanita itu setengah mendongak ke wajahnya.

"Kamu cantik..." Kata Devano sambil melihat wajah Dea seksama.

"Tapi galak!" Devano melepaskan dagu Dea kasar, sambil tertawa jahat.

Dea merasa tidak suka di perlakukan seperti itu. Ia mendorong tubuh Devano menjauh darinya. Dengan wajah kesal dan tangannya mengepal, ingin sekali rasanya ia meninju wajah tampan anak cowok yang ada di hadapannya itu.

"Jangan sembarangan menyentuhku, bocah! Aku ini lebih tua darimu, seharusnya kamu sedikit sopan padaku!" Teriaknya kesal dan di tanggapi dengan seringai licik dari Devano.

"Ini sekolah papaku, sekali aku bicara, kamu tidak akan bisa KKN disini. Jadi sebaiknya mengalah saja," Kata Devano sombong. Terpaksa kali ini Dea harus diam. Tujuannya memang hanya untuk KKN, bukan untuk mengurusi bocah tengik yang ada di hadapannya itu.

Kemudian ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan Devano dan kawan-kawannya yang menatapnya penuh dendam. Bukan dendam untuk membunuh, tapi lebih ke dendam melakukan kejahilan.

"Rasanya pengen ku tampol mukanya! Tapi sayangnya dia anak pemilik sekolah ini. Terpaksa aku meredam emosiku," Dea kesal bukan main. Perlakuan Devano padanya membuatnya merasa tidak di hargai.

"Sabar Dea. Jangan sampai KKN kita gagal gara-gara masalah ini. Udah nggak ada waktu lagi buat cari tempat KKN yang baru." Ryan mengingatkan Sahabatnya itu tentang tujuan mereka datang ke SMA Tunas Harapan.

"Iya Ryan, aku ngerti. Tapi tetep aja rasanya kesel banget sama tu anak, semoga aja nggak ketemu dia lagi!" Ujar Dea ketus. Ia rasanya tidak ingin lagi bertemu dengan Devano di lain kesempatan.

"Kita ini tugasnya ngajar, bisa jadi nanti kamu dapat kelasnya dia," Ledek Ryan.

"Berani ngeledek aku?" Dea menatap Ryan dengan tatapan mengerikan, membuat Ryan begidik.

"Sori, aku bercanda kok. Jangan di ambil hati. Lebih baik kita segera ke ruang guru. Kira-kira apa tugas pertama kita," Ryan segera mengalihkan pembicaraan, jika tidak Dea bisa saja menggelitikinya sampai kaku.

"Kali ini aku setuju padamu," Dea berjalan lebih dulu dan Ryan menguntit tak jauh dari gadis itu.

Dea mendapatkan tugas mengajar matematika ke kelas 12 A. Menurut salah satu guru, semua kelas A adalah murid pilihan. Semuanya pandai dan berprestasi. jadi sangat mudah mengajari mereka. Dea berpendapat bahwa hari itu ia sangat beruntung meskipun harus di awali dengan kesialan terlebih dahulu.

Ia melenggangkan langkahnya di koridor, suara sepatunya terdengar jelas. seluruh siswa di ruangan yang di lewatinya sedang belajar dengan tenang. Letak kelas 12 A di ujung. Jadi ia harus berjalan lumayan jauh.

Sebenarnya, ia kuliah di jurusan Psikolog, tugas mengajar ini tujuannya hanya mencari tahu seberapa dalam kemampuan setiap mahasiswa dalam membaca kepribadian seseorang. Meskipun menurut Dea, cara KKNnya ini tidak sesuai dengan jurusan yang di ambilnya. Ia ingin protes tapi ia takut justru akan mengulang lagi kuliahnya tahun depan.

Suara ribut-ribut terdengar dari salah satu ruang kelas. Dea mendongak ke atas pintu, tertera label 12 A. Berarti ini ruangan tempatnya akan mengajar. Dea menghirup nafas panjang sebelum masuk ke kelas untuk menguasai rasa gugup di hatinya. Setelah hatinya mantap untuk melangkah, ia meneruskan perjalanannya ke kelas.

"Pukk!" Sebuah bola kertas mendarat tepat di wajahnya. Ia memandang nanar kertas yang sekarang menggelindumg diantara kedua sepatunya. Lalu ia mengambil bola kertas itu dengan sigap.

"Siapa di antara kalian semua yang melempar bola kertas ini?!" Tanyanya dengan suara lantang. Seisi kelas diam. Diantara seluruh siswa ia menangkap wajah yang sangat di kenalnya. Sial! Ternyata aku harus mengajar di kelasnya, Umpat Dea dalam hati.

"Kalau aku yang melempar kertas itu, kamu mau apa?" Devano menyeringai dari bangkunya sambil menaruh kakinya di atas meja. Dea kesal setengah mati. Kelakuan brutal bocah itu membuatnya naik darah.

"Turunkan kakimu!" Perintah Dea lantang, Devano hanya memandangnya dengan senyuman licik.

"Sekali lagi aku katakan padamu, turunkan kakimu!" Dea mengulangnya sekali lagi. Kali ini Devano mengalah dan melakukan Perintah Dea.

"Siapa namamu?" Dea bertanya dengan nada datar, tanpa ekspresi.

"Kalau ku beri tahu, kamu pasti tidak akan bisa lupa," Goda Devanno.

"Sebutkan namamu!" Dea kehabisan kesabaran. Bisa-bisa seluruh wajahnya keriput jika seharian harus menghadapi siswa konyol seperti Devanno.

"Devano Artama" Sebut Devano dengan cepat. Baru kali ini ia bertemu wanita yang galak terhadapnya, mungkin karena dia lebih tua, pikir Devanno. Sungguh wanita yang menarik.

Dea menulis nama cowok tengil itu di notesnya. Ia tidak ingin sampai lupa dengan nama anak nakal itu. Suatu saat ia akan mengadakan pengaduan jika berondong itu berbuat macam-macam terhadapnya.

"Kamu, Devano Artama. Bediri di depan kelas sekarang! Cepat! Jangan buat saya mengulang,"Dea tetap menunjukkan muka garangnya. Entah kenapa kali ini Devanno menurut. Tanpa Dea berkata dua kali, cowok itu langsung berjalan ke depan kelas dan berdiri dengan patuh.

"Yang lain, kerjakan tugas halaman 25. Saya mau tugas di kumpul hari ini. Jangan ada yang main-main, atau nasib kalian sama dengan dia." Dea menunjuk Devano yang dengan patuhnya berdiri di depan. Sebenarnya dia sedang memikirkan sesuatu untuk membalas Dea. Ia menurut di hukum tentu saja karena malas mengerjakan tugas. Selama ini ia masuk kelas A hanya karena orangtuanya yang berpengaruh.

Sepulang sekolah...

Devano menunggu Dea di ujung koridor yang mengarah ke tempat parkir kendaraan. Ia merasa harus melakukan perhitungan dengan gadis itu karena telah memperlakukannya dengan sangat kasar.

Yang di tunggu muncul juga. Dea melangkah cepat menuju ke arahnya. mengetahui ada Devano di sana Dea memilih cuek. Ia sama sekali tidak takut dengan bocah itu. Karena Dea merupakan lulusan taekwondo terbaik tahun lalu. Jika Devano berani macam-macam, ia akan melumpuhkannya dengan sekali gerakan.

"Stop." Devano mencoba menghentikan Dea, lagi-lagi gadis itu tidak mengindahkannya. Ia lalu menarik rambut Dea untuk menghentikannya.

"Plak!" Dea menampar pipi Devano keras, hingga anak itu hampir tersungkur.

"Jangan berani menggangguku, atau akan ku buat muka gantengmu itu babak belur!" Ancam Dea dengan tatapan tajam. Devano meringis kesakitan dan memegangi pipinya yang memerah.

"Siapa yang ingin mengganggumu, aku hanya ingin tahu, siapa namamu guru galak?" Dea hampir tergelak, dengan cara aneh menunggunya, menjambak rambutnya hanya untuk mencari tahu siapa namanya? Pasti dia berbohong. Tapi tidak apalah, anggap saja sebagai permintaan maafnya karena telah mendaratkan tangannya ke pipi mulus bocah itu, dia akan memberitahukan namanya.

"Catat dalam pikiranmu baik-baik. Namaku Dea Amanda!" Katanya dengan intonasi lumayan tinggi dan meninggalkan Devano yang melongo menatap kepergiannya.

"Namamu cantik, seperti orangnya," Kata Devano pelan seorang diri.

"Bro! Ngapain kamu sama guru galak itu? curiga aku. Jangan-jangan naksir kamu, sampai rela-rela nungguin disini," Arga mengagetkan Devano yang asik memandang Dea yang berlalu dari hadapannya.

Arga Reinand, sahabat Devano sejak kecil. Mereka berdua sangat akrab. Kemana-mana berdua seperti perangko. Bahkan satu kelas dan duduk berdampingan.

"Nggaklah bro, amit-amit naksir sama dia, rasanya mual tiap lihat wajahnya, pengen ngebully." Ujar Devano menunjukkan pada Arga kalau dia sangat membenci Dea.

Sementara itu...

"Dea, kemana aja, aku udah nungguin dari tadi, sampai motorku berulang kali aku matikan, hidupkan lagi, melongo seperti orang blo'on disini," Omel Ryan, saat Dea baru saja menghampirinya. Gadis itu hannya terkekeh melihat wajah bulat dan pipi bakpau cowok itu makin membulat.

"Tadi pulangnya aku di cegat sama Devano," Kata Dea santai. Seperti tidak ada apa-apa.

"Devano? siapa? Kenalan kamu? emang ya kalau wajah cantik itu, kemana-mana ada yang naksir" Ledek Ryan.

"Bukan. Masih mending kalau itu kenalan baruku. Devano itu anak yang tadi pagi aku tegur di lapangan. Sepertinya sumpah serapah kamu manjur deh, aku ngajar di kelas dia tadi," Cerita Dea kesal.

"Terus-terus..." Ryan jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya antara Dea dan Devano.

"Pas aku masuk ke kelas, aku kena timpuk bola kertas, dan pelakunya itu Devano, langsung aku hukum dia tegak di depan kelas sampai jam pelajaran aku habis," Cerita Dea lagi, kali ini sukses membuat Ryan melongo.

"What?! Kamu hukum Devano tegak di depan kelas sampai satu setengah jam?" Ryan ingin memastikan bayangannya benar.

"Yup. Dia nurut dan tidak keberatan sama sekali." Ujar Dea bangga dengan keberhasilannya menaklukan Devano.

"Jangan-jangan tadi dia nyegat kamu karena mau balas dendam?" Ryan mulai menerka-nerka, apakah pemikirannya tepat.

"Benar, sepertinya begitu. Makanya aku kasih dia pelajaran, satu tamparan keras di pipinya. Aku nggak suka ada laki-laki yang meremehkan kekuatan perempuan." Kata Dea tegas.

"Wah, gila nih sahabat aku. Kalau dia ngadu sama bokapnya, habislah kita Dea," Ryan justru ketakutan dengan prilaku Dea yang menurutnya sedikit bar-bar.

"Menurut pandangan dari ilmu yang aku dapat, dia tidak akan berani melakukan itu, aku berani bertaruh!" Kata Dea sedikit sombong.

"Bener ya, kalai sampai kita kena masalah, semua tugas KKN aku, kamu yang kerjain,"Ancam Ryan pada Dea. Gadis itu hanya mengkodekan oke dengan jarinya. Lalu naik ke jok belakang motor vespa Ryan.

"Ayo jalan," Ryan mengikuti instruksi Dea. Ia menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

Dea hari itu senang. Meskipun ia sempat kesal di awal tapi ia berhasil membalaskan kekesalannya pada Devano. Ia tersenyum tipis, saat melihat pria muda itu berdiri pasrah di depan kelas dengan wajahnya yang tampak polos. Ia akui, Berondong itu sangat menawan. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pemikirannya agar ia tidak terbayang-bayang wajah murid barunya itu.

Sementara Devano, ia merasa sangat kesal karena kegagalannya membalas perlakuan Dea. Lebih memalukan lagi, ia mendapatkan tamparan dari gadis itu. ia memandangi wajahnya yang memerah di depan cermin di dalam kamarnya. Ia mendengus kesal. Warna kemerahan itu menodai wajah tampannya.

"Tunggu saja nanti. Aku pastikan kamu akan jatuh hati padaku, selama ini aku bisa mendapatkan hati siapapun yang ingin kumiliki. Termasuk kamu, Dea!" Umpatnya kesal.

Ia keluar kamar dan menyuruh pembantu rumahnya untuk mengambilkan es batu untuk mengompres pipinya. Sepertinya tangan wanita itu terbuat dari batu, sampai tamparannya sangat menyakitkan, omel Devano dalam hati.

"Loh, Vano , wajah kamu kenapa?" Mama Devano tiba-tiba muncul di ruang tengah tempat Devano mengompres wajahnya.

Namanya Dewi Rosmala, Mama Devano, seorang desainer sekaligua pemilik butik.

"Kena bola basket, ma." Ujar Devano singkat. Entah kenapa ia ingin berbohong untuk menutupi kesalahan Dea. Biasanya ia selalu mengadu kepada mamanya jika terjadi sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

"Hati-hati dong main basketnya, sini biar mama yang kompres," Tante Dewi mengompres pipi Anaknya yang lebam. Ia sedikit menaruh curiga, karena bekas memarnya menyerupai tangan, tetapi ia memutuskan untuk diam. Ia senang Devano sudah dewasa sekarang. Ia bisa mengatasi masalahnya sendiri dan tidak manja lagi.

"Aw.. aw..Sakit ma, pelan-pelan dong tekannya," Omel Devano saat sang mama tanpa sengaja menekan kuat pipinya yang memar.

"Maaf sayang, mama tidak sengaja. kamu sudah makan? Ayo makan mama temenin. Papamu makan di luar, jadi kita makan berdua saja ya," Tante dewi mengajak Devano makan bersama.

Biasanya papanya juga selalu ada di meja makan saat makan siang, tapi akhir-akhir ini beliau sibuk dan tidak sempat makan di rumah. Devano rindu papanya.

avataravatar
Next chapter