6 Ucapan Selamat Tinggal

Sebelum kami berada di kompleks ini, saat di tengah huru-hara yang terjadi selama kurang lebih setahun setelah datangnya kabut, muncullah suatu organisasi misterius yang dinamakan Pasukan Sayap Elang. Mereka memanipulasi orang-orang putus asa ini untuk melawan pemerintah karena menurut mereka, kejadian kabut yang tidak biasa ini merupakan ulah pemerintah.

Organisasi itu menjadi publik setelah beroperasi secara diam-diam mencari pengikut. Mereka membuat kampanye besar-besaran di penjuru Kota Ciragam. Aparat penegak hukum tidak berkutik karena gerakan tersebut sepertinya telah menanamkan selnya di seluruh penjuru kota. Pengaruhnya semakin lama semakin besar dan menyebar layaknya sebuah kanker.

Lalu 2 bulan kemudian mereka mengumumkan perang terhadap pemerintah negeri ini. Kota Bandung dan Sumedang tidak bisa menolong kami karena sesuatu lain hal yang tidak kuketahui. Sayap Elang mulai menculik dan membunuh orang-orang yang masih mempunyai secercah sikap nasionalisme di dalam hati mereka, termasuk aku.

Kelompok sukarelawan dibentuk untuk mengungsikan sisa penduduk Kota Ciragam keluar dari rumahnya dan kemudian merantau di dataran sepi tanah air, salah satu dari mereka adalah aku.

Korban berjatuhan sepanjang perjalanan. Ada yang merantau menuju Kota Bandung, namun aku tidak mengikuti mereka sebab menurutku Bandung saat ini kondisinya lebih buruk daripada Kota Baru Ciragam. Sekitar ¾ kotanya berada tepat di dalam kabut, menyisakan ¼ nya di dalam pengurungan. Berbeda dengan Bandung, seluruh Kota Sumedang masuk dalam pengurungan.

Aku yang merupakan salah satu warga yang dijanjikan kehidupan makmur di kota baru Ciragam yang tidak memilih alternatif Bandung atau Sumedang malah dipindahkan ke suatu kompleks.

Tempatku tinggal 2 tahun setelah krisis merupakan sebuah kompleks besar yang merupakan salah satu industrial kompleks yang terbesar di asia tenggara dekade ini. Luasnya sekitar 5x5 km yang merupakan salah satu pendorong ekonomi negeri ini sebelum tragedi kabut dimulai.

Kompleks ini didiami oleh orang-orang yang dinamakan Pasukan Kompleks. Pasukan ini secara tidak langsung bekerja sama dengan pasukan yang mendiami area sekitar Bandung dan Sumedang yang dinamakan Pasukan Aliansi melawan Pasukan Elang yang mendiami Kotabaru Ciragam. Kontribusi yang kami berikan hanyalah mengirim bahan makanan sebagai ganti senjata, hanya itu.

Orang yang mengurus kompleks ini membagi 2 kelompok yaitu shift siang atau divisi siang dan shift malam atau divisi malam semata untuk menjaga keamanan di tempat ini. Kebanyakan anggota kompleks berada di divisi siang untuk mengamankan, bercocok tanam, beternak, dan tugas umum lain. Sementara divisi malam hanya untuk mengamankan saja. Aku secara detail tidak tahu apa saja yang mereka lakukan pada malam hari.

Perang untuk menaklukkan Kota baru Ciragam terus menerus diwarnai oleh kegagalan. Mereka cerdas dan gigih sekali melawan Pasukan Aliansi yang mengepung mereka. Namun yang mengesankan dari mereka yaitu pengaruh.

Orang berbondong-bondong dari kedua kota turut bergabung dengan Pasukan Sayap Elang setiap harinya. Terdapat isu bahwa ¼ kekuatan militer Kota Sumedang hilang dalam kurun waktu setahun saja. Entah sampai kapan mereka dapat menahan serangan bertubi-tubi dari mereka.

================================================================

Bunyi suara lonceng dalam gudang membangunkanku. Semuanya kembali seperti semula setelah malam yang mencekam itu. Wakil ketua Leo masih saja memberikan instruksi di halaman luar. Dan Fuad masih duduk bersamaku dan teman-teman lainnya mendengarkan wakil ketua kami.

Fuad terkadang melirik ke arahku sesekali menaruh gelengan sambil tersenyum meskipun jarak tempat duduk kita pada sisi yang berlawanan.

Beban-beban yang biasa kurasakan karena tumpukan tugas harian kompleks mendadak tidak terasa apa-apa. Bahkan aku ingin sekali segera melepas bajuku lalu berdiri di atas meja sambil berjoget ria.

Semuanya beranjak dari tempat duduk lalu mengambil senapan untuk memulai patroli. Seperti apakah keadaan di luar sana setelah 2 tahun itu? Kira-kira apa yang terjadi pada Pasukan Aliansi di luar sana, apa benar mereka masih bertahan melawan gempuran Pasukan Elang? Lalu kira-kira apa reaksi Melodi ketika aku berhasil menyusulnya keluar?

Hari-hari berlangsung seperti biasa di patroli luar. Untungnya tidak ada pertumpahan darah yang terjadi. Waktu makan malam tiba, teman-temanku berkumpul dalam satu meja untuk kesekian kalinya. Mendadak beban itu menumpuk lagi di pundakku.

"Jadi, gimana kabar kalian hari ini?" tanyaku tiba-tiba.

Semua aktivitas di meja itu terhenti. Clara yang baru saja memasukkan makanan ke mulutnya tiba-tiba memberi jeda. Bobby yang menenggak minum dari secangkir gelas hampir tersedak. Syarif dan Sadikin, si kembar yang sedang mengoceh tentang pekerjaan mereka satu sama lain mendadak melirikku. Sementara Sinta baru saja datang terlihat kaget. Semua mata di meja mengarah padaku.

"Seperti biasalah Mir, apa coba yang kau harapkan dari tempat ini?" jawab Bobby masih saja sinis.

"Hanya nanya saja soalnya kemarin pikiranku kemana-mana," balasku tertawa.

"Lagi seneng ya mir hari ini?" celetuk Clara tersenyum.

"Ngga juga sih ra, cuma ingin nanya kabar kalian saja!"

"Kata-kata 'ngga juga' mengindikasikan kalau kau lebih bahagia dari kita-kita disini," ujar Sinta dengan logika berfikirnya.

"Maaf ya kalau sedikit konyol tapi tadi malam aku sehabis bermimpi diriku dapat melayang di udara."

Semuanya tertawa seketika.

"Anjir kukira apa." Bobby terdengar kecewa tapi suara tawanya menorehkan senyuman puas.

"Guys, hari ini ada yang berulang tahun loh!" bisik Clara, matanya menengok ke arah luar lingkaran kami berlima.

Dari jumlah orang yang ada disini, hanya Rudy yang tidak mengikuti ajang bisik-bisik ini. Apa dia telat.

"Teriaki Rudy jika ada orangnya disini mengerti? Lalu kau berikan kuenya di sebelah tempat dudukmu, oke Mir?"

"Siap!" ujarku balas berbisik.

"Apa yang kalian bisikkan?" tiba-tiba kepala Rudy muncul di dalam lingkaran perkumpulan.

"SELAMAT ULANG TAHUN!!!!" teriak kami kompak. Tanganku reflex langsung memberikannya kue. Wajahnya yang tidak mengharapkan apa-apa seketika dipenuhi oleh senyuman. Kue kecil rasa coklat dengan adonan yang dibuat pas-pasan dengan lilin kecil di atasnya. Wajar sih, kami tidak punya pengolahan yang mumpuni. Aku dapat melihat seluruh meja melihat ke arah kami.

"Ayo buat permintaan!" teriak Bobby.

"Baiklah. Permintaanku sekarang adalah, apapun yang terjadi, semua yang di meja ini akan keluar dari kabut itu di saat yang bersamaan, bagaimana?"

Semuanya nampak melirik satu sama lain tapi kami mengangguk setelah itu. "Taruh tangan kalian di atas meja," ajak Rudy menempelkan telapak tangan kanannya di atas meja duluan, lalu disusul 2 bersaudara Sadikin dan Syarif, Clara, Bobby, Sinta. Mata mereka kemudian mengarah padaku.

Jantungku berhenti berdetak. Segala keraguan mulai menyelimuti emosiku. Mereka semua menungguku tapi aku tidak boleh ragu. Maafkan aku teman-teman atas hal yang akan kulakukan beberapa jam dari sekarang. Tangan kananku terasa tidak enak berada di atas tangan Sinta.

"Mulai sekarang, kita akan terus bersama-sama apapun yang terjadi," ujar Rudy pelan namun setiap kata-katanya meresap langsung ke bagian otakku yang mengelola emosi. Semua orang terisak di kala itu, namun aku terisak dengan alasan yang sama sekali berbeda.

Rudy memang tipe orang yang peduli dan pendiam. Tidak banyak bercakap tapi akan berkata seperlunya, tetapi ketika ia berbicara. Bobot pembicaraannya jauh diatas orang yang sedang berpidato. Alunan suaranya mempunyai karisma dan perasaan tersendiri. Semua perhatian akan tertuju padanya ketika ia sedang ingin mengobrol. Seolah kalimat yang diucapkannya akan penting suatu saat nanti.

"Jika ada masalah katakanlah pada kami, Syarif gampang mengurusnya," celetuk Sadikin.

Syarif menepak kepala saudaranya itu. "Berisik bocah, mengurus kau saja sudah repot aku!"

Semuanya tertawa. Tetap saja aku akan rindu kalian. Senang bersama kalian selama 2 tahun ini. Tapi aku tidak bisa mundur sekarang, mungkin ini terakhir kalinya kalian melihatku. Aku dapat membayangkan wajahku dipampang bersama wajah lainnya, sebelah poster melodi.

Kami berpisah setelah makan seperti biasa. Sebagian besar pergi keluar gudang menyatu dengan kegelapan meskipun cahaya yang dihasilkan pembakaran dedaunan dari dalam gentong begitu terang.

Mereka semua sudah pergi mengurus urusan dan jabatan mereka masing-masing. Dan aku mungkin tidak akan bertemu mereka lagi di masa depan. Tetesan air mata susah payah kubendung. "Amir bisa kita bicara sebentar?" sampar Clara di halaman kompleks beberapa meter dari prasmanan.

"Kau tampak gembira sekarang, tapi saat makan pikiranmu tidak bersama kami, ada masalah kah?" tanyanya melihat ke dalam wajahku.

"Nggak apa-apa kok, cuma terpikir saja janji tadi," jawabku berusaha mempertahankan senyuman palsu ini.

"Kau menangis lagi mir?" ia memberikan sapu tangannya. Aku hanya terdiam. Benda itu harum bagai wangi-wangian lavender. Di jaman dan tempat seperti ini, orang-orang akan membayar mahal hanya untuk mendapatkan wangi-wangian seperti ini.

"Tolonglah mir ceritalah! Mulai sekarang bukan cuma aku yang akan membantumu, kita akan bersama-sama menyelesaikan ini. Ingat janji kita tadi!"

Aku menghembuskan nafas sedalam-dalamnya. "Maaf tidak memberitahu tadi pas kumpul, besok aku akan memberitahukannya. Janji!"

"Kenapa tidak memberitahu padaku sekarang saja, siapa tahu bisa kubantu sekarang," ujar Clara memegang pergelangan tanganku.

"Ra, tanganmu hangat sekali." Tangannya seolah-olah habis dicelupkan di dalam air panas.

"Ah masa!" Ia memegang wajahnya dengan tangan tersebut lalu melepaskannya tanpa reaksi apapun dari raut mukanya.

"Ke klinik kompleks aja ra mumpung masih jam transisi," ujarku khawatir.

"Nggak apa-apa kok, aku masih sehat mir. Kita bicarakan besok saja." Ia tiba-tiba lari-lari entah kemana.

Aku menghembuskan nafas sedalam-dalamnya. Hampir saja. Dia orang terakhir di kompleks ini harus tahu tentang rencana pelarianku. Semuanya akan hancur dalam semalam kalau dia sampai tahu.

Pos satpam lama terlihat gelap hampir tidak tersentuh oleh cahaya api meskipun jarak mereka hampir berdekatan dengan pos tersebut. Di hadapanku pasukan dengan 2 atribut yang berbeda berlalu-lalang seperti biasa. Aku akan merindukan pemandangan tergesa-gesa tanpa jeda seperti ini suatu hari nanti.

"Bang!" ujar suara setengah parau. Wajah bocah itu lesu dengan ritme nafas ngos-ngosan. "Saya nggak punya apa-apa bang buat dibagi, ini aja baru selesai kerja."

"Sudah nggak apa-apa, lagian aku juga sudah kenyang" jawabku tetap mengarahkan wajah ke sekumpulan orang-orang berlalu-lalang di depanku. Dipikir-pikir interaksinya padaku sudah seperti orang yang dipalak saja. Tapi hal terakhir yang kuinginkan adalah si kecil ini melihat ke dalam wajahku.

"Abang ingin bertanya padamu boleh?"

"Nanya apa bang?"

"Bagaimana kalau abang tiba-tiba sudah tiada, apa yang kau lakukan?"

"Abang emang mau pergi kemana?" tanyanya balik kaget.

"Ngga kok cuma nanya aja," balasku tersenyum.

"Nggak tahu bang," jawabnya menaikkan bahunya.

Anak ini benar-benar tidak punya tujuan hidup, bukan hanya itu, masa lalunya juga masih tidak kuketahui sampai sekarang. Tapi ini kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya.

"Sebenarnya kau dari mana sih, ric?"

Terdapat jeda yang panjang. Lalu ia terduduk membengkokkan kakinya di atas lantai pos yang dingin. "Dari Jakarta sih Bang, tapi sebelum ini saya tinggal di Kota Ciragam."

"Hah seriusan? Abang juga dari sana," ujarku berusaha menambah semangat di tengah malam yang dingin ini. Tapi ia tetap menundukkan kepalanya di atas lututnya.

"Kau punya keluarga disini?" tanyaku berusaha menekan anak malang ini.

Ia tidak ingin membuat kontak mata ke arahku. "Tidak ada bang!"

"Sudah meninggal?" tanyaku sangat membenci pertanyaan macam ini. Tapi setidaknya kami menjadi lebih kenal sebelum aku meninggalkan tempat ini.

Ia hanya menggeleng.

"Di mana mereka sekarang?" ia terus kutekan.

Ia mengambil nafas panjang. "Di kota itu Bang." Bibirnya datar memasuki mulutnya. Ia sama sekali tidak menyukai aku menanyakan hal ini. "Lagian kenapa Bang tumben nanya-nanya?"

"Penasaran aja sih sebenernya. Tenang nanti suatu saat abang akan membawamu pulang ke orang tuamu," ujarku guyon.

Ia pun tertawa keras. "Yakin banget dah bang, udahlah mau cabut dulu ngantuk." Eric berjalan ke arah Baraknya.

Baiklah itu sudah semua. Diriku termenung duduk di salah satu kursi pos lama. Tidak ada waktu untuk mundur. Tinggal menunggu 1 jam lagi setelah briefing harian, waktunya bergegas. Seseorang menabrakku dari belakang ketika diriku mencoba bergabung pada lalu lintas manusia yang sibuk.

Tangan orang tersebut menyentuhku, tanpa kusadari, tiba-tiba tanganku yang disentuh menggenggam sepucuk kertas. Orang tersebut dengan cepat berbaur dengan orang berlalu-lalang lainnya. Kuluangkan waktu untuk menepi. Kalimat di lembaran itu singkat padat.

Langsung ke bangunan kemarin, sudah aku izinkan untuk tidak ikut briefing hari ini.

'L'

avataravatar
Next chapter