15 Terangnya Malam 2 (Act 1 end)

Demi Tuhan, makhluk apa yang sebenarnya kulawan saat ini? Ia jauh lebih menakutkan daripada makhluk awan dan benda terbang aneh di sana. Tangannya melempar pisau itu ke tanah tepat di depanku.

Apa ini semacam lelucon? Setelah ia ditusuk, ia ingin mengulangi sensasi ketika daging dan ototnya terkoyak? Aku mungkin akan kabur sebelumnya, namun kau harus saja melecehkan seranganku.

Suara dua tembakan datang dari semak-semak sebelah kiri belakangku. Dua penjaga Sadikin tumbang seketika. Sebuah pistol dilemparkan ke arahku dari kegelapan. Gian dan si kurus berhenti ketika melihat moncong pistol diarahkan pada mereka.

"Tahan mereka sebentar Mir!" suara lelaki mirip dengan suara Sadikin datang dari semak-semak. Aku mengayunkan kepalaku sekali. Syarif seorang diri datang membukakan ikatan adiknya itu. Tapi kenapa? Kenapa ia masih mempercayakan hidupnya pada seorang pengkhianat?

Setelah apa yang kulakukan terhadap Bobby, Clara dan Syarif masih menaruh harapan padaku? Tidak, mungkin mereka sengaja berbuat baik agar aku tetap berada di kompleks, itu sepertinya penjelasan yang paling masuk akal.

Suara tembakan membuatku hampir melompat. Sensasi nyeri menjalar di seluruh tangan kananku, seolah-olah ada yang memukul namun pukulan tersebut tidak terlihat. Pistol tiba-tiba terlepas dari genggaman. Bahan-bahan metalik kecil bertebaran. Moncong pistol terpisah dari pelatuknya, dan juga peluru terpisah dari magasinnya.

Syarif langsung menarik Sadikin yang tangannya masih terikat. Ada penembak jitu elang masih berkeliaran di sekitar kami. Bersembunyi di balik bayang-bayang daun.

Sebuah teriakan memecah langit panas setelah tembakan kedua berbunyi. Darah mengalir deras dari paha kiri Sadikin. Suaranya terdengar dari dedaunan tepat di atas kepalaku. Bayangannya dapat kulihat sekilas melintas dari pohon ke pohon seperti melayang.

Sosoknya terlihat berhenti pada dedaunan di atas si kurus itu. Tapi apa yang bisa kulakukan saat moncong senapan sudah terlihat tidak sampai satu detik setelah persinggahannya di pohon itu.

"Kalian pergilah dari sini!" teriakku. Ada 1 Elang lagi disini.

Mereka berdua dengan cepat sudah tak terlihat lagi. Namun sekarang kakiku seperti di paku di atas tanah. Aku tidak melihat dari mana arah datangnya tembakan. Tapi dari sudut yang mengenai paha Sadikin, penembak tersebut lebih dekat ke arahku daripada kakak beradik itu.

"Usaha yang bagus untuk mengurangi sandera, selamat!" si kurus memberi tepuk tangan, "Tapi kenapa repot-repot menolong pasukan yang kau khianati? Tunggu dulu, jangan bilang kau menyesal mengkhianati mereka?".

Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Semoga aku bisa memukul mulutnya habis-habisan setelah ini.

"Hey, tolong perhatikan jika seseorang berbicara padamu dan jangan mengeluarkan ekspresi yang mengerikan begitu dong" ujarnya menjentikkan jari ke arahku.

"Ya sudahlah, semua konsekuensi pada akhirnya anda yang tanggung", ia menengok pada tempat di belakang kananku, lebih tepatnya beberapa meter lebih tinggi. Tak kuasa kepala ini ingin kupalingkan ke belakang. Tapi semua sendi terlanjur membeku karena rasa takut.

SI kurus kemudian memberi gerakan cepat melalui kepalanya padaku. Lalu ia terus melongok ke dedaunan di atas. Raut wajahnya menajam, gerakan kepala cepatnya semakin cepat dan berulang. Perasaanku mengatakan pasti ada yang salah disini.

Suara tembakan kembali meletus. Aku merasa nyawaku mau keluar begitu saja dari tubuh ini. Tetapi untungnya kakiku masih terpaku di tanah. Suara benda keras baru saja menyentuh tanah. Raut muka Gian dan Si kurus menajam. Bunyi-bunyi aneh terus menerus terjadi di belakangku. Aku menarik nafas lalu memberanikan diri menoleh.

Bunyi ranting patah, gemericik kasar muncul semakin keras. Setelah itu suara teriakan wanita, Clara? Tidak, tinggi nadanya saja berbeda, yang ini lebih tinggi. Di belakang Si Kurus, bayangan seseorang nampak sedang memukul bayangan orang lainnya.

Tiba-tiba hening. Hanya suara api yang menyala-nyala di hutan di sekitarku. "To-tolong!", ujar suara dengan bayangan aneh. Makhluk itu mempunyai 2 kepala dan tubuhnya tidak menggambarkan seperti sebuah manusia.

"To-tolong aku Vil!" Sosok bayangan itu adalah ... tidak mungkin! Wanita berwajah lonjong dengan aksen Amerika yang kental. Rambutnya mempunyai pola blonde dari pangkal sampai batang rambut, namun menjadi oranye dan kemudian hitam pada ujung rambut seperti api yang membara di kegelapan.

"Elen?" tanyaku. Tapi dia diam saja. Selama ini kukira ia sudah tiada. Foto masa lalu bersamanya dan Rudi masih kusimpan di tas belakangku. Dasar bodoh! Kenapa kamu meminta tolong pada para pemberontak ini. Kita bisa saja bertiga lagi seperti sedia kala.

Kau justru menghilang saat kami semua mengungsi dari kota itu. Sebuah tangan seseorang terlingkar di lehernya menggenggam pisau survival yang sisi tajamnya menyentuh leher Elen.

"Serahkan pilot itu atau teman kalian akan menerima akibatnya!" perintah Clara. Nafasnya yang terseok-seok bisa terdengar dari sini. Wajahnya pucat dengan cipratan darah di pakaian, lengan dan pipinya. Namun konsentrasi darah tersebut berkumpul pada pinggang kanannya, membasahi baju hijaunya. Kelopak matanya setengah menutup seolah sangat kelelahan.

"Amir, kau bawa pilot itu ke sini!" Tubuhku menoleh pada Gian dan Vil di belakangku namun mereka hanya menatapku balik tanpa menggerakkan sedikit otot pun ketika aku berjalan ke pilot di belakang mereka.

Seperti biasa, kududukkan pilot lalu berjongkok sampai tubuhnya menyentuh punggungku dan kedua tangannya melingkar di leherku, lalu melingkarkan kedua tanganku pada paha belakang dan beranjak.

"Bagus! Tapi jatuhkan ia ketika aku suruh, kalau tidak, kau yang akan mati Mir!" tangan kirinya diangkat di sebelah bahu Elen. Moncong pistol pada tangan kanannya mengarah padaku kali ini. Tidak! Dia sudah memikirkan segalanya, termasuk aku yang akan langsung membawa kabur pilot ini.

Kakiku berat sekali, lebih berat dari penggabungan berlarian dari Clara, makhluk kabut, dan misi penyelamatan Sadikin menjadi satu. Aku sudah tidak bisa merasakan tanganku yang terus menahan bokong orang ini.

"Sekarang jatuhkan!" wajah Clara fokus melihat ke arahku. Jarakku hanya sepanjang tangan kirinya. Setiap kali aku berputar mendekati Elen, moncong pistol selalu berada tepat di dadaku.

Aku mengambil nafas panjang. Badan secepat kilat kuputar sehingga tubuh pilot berada di antara aku dan moncong pistol. Otot kakiku langsung melompat ke belakang sekuat tenaga. Tangan yang lelah ini melepaskan begitu saja paha sang pilot.

Dua wanita di belakangku berteriak. Aku menengok ke belakang setelah terjatuh di tanah. Clara sudah tidak sadarkan diri di belakangku setelah serangan tiba-tiba itu. Sementara sosok Elen berusaha mengambil nafas.

Sudah berapa lama sejak kami berjuang di luar kompleks? Suara tembakan terdengar di belakang tempat kami datang, sisa prajurit elang lari tunggang langgang melewatiku, mereka berteriak seperti melihat sesuatu yang akan membantai mereka hidup-hidup.

Tapi entah kenapa semua terasa tenang, tubuh ini sama sekali tidak mau beranjak seolah-olah nuraniku mengklaim tanah yang kududuki adalah sofa pribadiku yang begitu nyaman.

Aku hanya bisa terduduk tidak berdaya sementara Elen melewatiku begitu saja ke arah Vil. Ia lalu menoleh sebentar ke arahku di tengah jalan. "Terimakasih Amir!" Elen tersenyum. Gian melangkah maju.

"Istirahatlah nak! Kalian memenangkan pertempuran ini" ujar Vil. Tinju besar Gian adalah hal yang terakhir yang kulihat.

avataravatar
Next chapter