9 Jalan Rahasia

Tidak ada yang mengenal Melodi selain diriku. Sudah seminggu ia menghindari interaksi dengan siapapun. Pemicunya tidak diketahui. Orang-orang yang dulu akrab dengannya ketakutan untuk mendekatinya, bahkan aku sekalipun tidak luput dari daftar yang ia hindari.

Namun dia masih tetap bekerja dengan giat di dalam kompleks. Saat malam hari aku jelas-jelas dapat melihatnya menangis di atap beton salah satu bangunan. Dan langsung pergi meninggalkan tempat persembunyian tersebut saat diriku berusaha mendekatinya lagi.

Segala usaha ingin termasuk kulakukan minimal untuk berbicara dengannya lagi sampai-sampai aku berkomplot dengan kelima temanku untuk menculik dan mengikatnya. Alhasil ia semakin tidak bisa di dekati.

Di kala itu terdapat perbedaan fisik yang mencolok dari Melodi, wajahnya memucat saat pandanganku berusaha menatap matanya. Ia terlihat sakit, namun masih dapat berlari dariku layaknya masih sehat bugar. Rambut hitam berkilau panjangnya sudah sepenuhnya ditutupi oleh topi, berusaha menyembunyikannya dari dunia.

Misiku untuk membawanya kembali hanya membuahkan seutas rambutnya saja yang berceceran di tanah. Aku percaya seutas rambut ini akan membawaku kepada pemiliknya suatu saat nanti.

================================================================

Mereka semua menatapku aneh saat aku memasuki bangunan yang rekan pengkhianatku tuju. Ratna tampak sangat ketakutan. Fuad hanya melihatku sebentar lalu kembali membuang pandangannya seolah penampilanku sekarang merupakan hal biasa. Sementara Leo, Leo berderap maju ke arahku dengan senjata api di tangannya.

"Bodoh, kau bodoh sekali. Apa yang terlintas dalam pikiranmu itu hah? Kau ingin melaporkan kami pada mereka semua? Gitu ya?" matanya menelusuri tubuhku dari bawah ke atas.

"Sudahlah Leo." potong Ratna. "Berkat rencananya, kita tidak perlu diam mematung di tempat itu sampai pagi".

Suara cengengesan terdengar dari 4 orang lainnya sebelum disentak oleh Leo.

"Apa kau diikuti?" tanya Leo sembari mengintip lewat jendela berdebu dibelakangku, "Lalu bajumu kenapa?".

"Ada penghalang sebelum sampai kesini." Noda di sekujur baju coklatku benar-benar kontras. Warna kemerahan di bagian dada dan perut terlihat seperti jatuh di atas kubangan. Jaket hitamku terasa basah tapi hanya bagian lengan dan beberapa bagian dada yang dibiarkan tidak direstling.

Selain itu lutut dan pahaku basah sekali meskipun memakai pdl hitam. Darah dari muntahannya harus dibersihkan setelah diriku berhasil mendapatkan tempat bernaung sementara di luar sana.

Meskipun diriku sudah capek-capek berada disini. Tetapi, untuk apa kita semua disini? Bangunan ini ... setelah kejadian itu, Melodi selalu menyendiri di tempat ini selagi bisa. Bahkan aku sama sekali tidak pernah melihatnya menyentuh makanan di gudang prasmanan. Lalu sebulan kemudian ia menghilang begitu saja.

Bangunan tua ini sungguh aneh. Berbeda dengan bangunan lain yang berupa gudang atau pabrik. Tempat ini seperti ruangan bertingkat 5 lantai yang digunakan untuk sebuah perkantoran. Tapi bangunan ini termasuk salah satu bangunan yang terbengkalai meskipun lantai marmer dan atmosfer sejuk bangunan tersedia secara alami. Apa kita tidak boleh dibuat nyaman dan malah harus tidur di sebelah mesin, barang-barang bekas, dan angin dingin?

Leo membuka pintu di bagian kanan ujung setelah melewati deretan meja dan komputer. Sebuah tangga U menuju ke beberapa lantai di atasnya. Namun sosok Leo pergi ke tangga bawah bersama senternya. Lampu senter menyorotkan pada jalan buntu dengan banyak sekali kayu-kayu perabotan dan kardus-kardus bekas. Debu dengan cepat berkumpul pada sidik jariku sesaat menyentuh perabotan kertas.

"Sini kalian!" perintahnya. Seketika 3 orang di belakangku mendekatinya. Mereka berlima dengan anehnya memperhatikan perabotan-perabotan tersebut. Para lelaki dihadapanku sibuk menyingkirkan semua perabotan yang ada. Sebuah garis segiempat di tembok tampak berada dibalik yang tadinya merupakan perabotan-perabotan.

Garis segiempat itu mempunyai sebuah lubang tonjolan, sekilas tidak terlihat dibalik kegelapan, kecuali kalau bagian tonjolan tersebut disoroti cahaya lampu terus-menerus yang persis Leo lakukan.

"Minggir dong kalian!" Ratna memegang pundakku. Tangannya mengambil beberapa set kunci dari kantong celananya. Sebuah lubang menganga di baliknya. Lubang yang anehnya teratur berbentuk persegi empat. Lubang itu gelap, sangat gelap, lebih gelap daripada kegelapan yang melanda tempat ini selama 2 tahun oleh kabut.

Namun terdapat sesuatu yang menonjol di salah satu sisi pendek. Sebuah pijakan berwarna abu terlihat samar-samar dibalik kegelapan. Leo tanpa pikir panjang mendorong tubuhku dari depan pijakan dan masuk duluan menuju kegelapan. Obor di tangan kanannya menyala terang mengusir kegelapan.

Hal pertama kali yang kau lihat adalah sebuah meja besar berdiri di tengah ruangan bawah tanah. Di atas meja tersebut terdapat tulisan dan gambar aneh. Yang paling jelas adalah sebuah anatomi tubuh manusia lengkap lalu beberapa simbol aneh di sampingnya, simbol sebuah lingkaran berwarna kuning lalu di dalam lingkaran tersebut terdapat sebuah gambar yang menyerupai kipas dari kipas angin yang berwarna hitam.

Lalu di halaman selanjutnya terdapat foto aneh yang hampir tidak bisa kucerna, tapi ada satu hal yang pasti dari gambar ini, ia mempunyai anatomi mirip seperti manusia. Sementara seluruh tubuhnya seperti di bentuk dari kumpulan sketsa yang tidak begitu detail dan padat namun matanya ... kedua matanya saja yang terlihat detail. Seperti membentuk sebuah pola yang aneh. Jika dilihat sebagai bagian keseluruhan, gambar ini tampak mengganggu, sangat mengganggu.

Sementara di halaman selanjutnya, terdapat berbagai gambar seperti sebuah robot lalu sebuah coretan-coretan tidak jelas. Sementara beberapa kertas digulung menjadi sebuah bola dan dibiarkan berserakan di sekitar meja.

Coretan dengan tinta hitam mengisi seluruh gambar, tapi ada beberapa tulisan kasar namun membentuk suatu bentuk huruf di balik lautan coretan tinta akan tetapi sulit untuk diidentifikasi apa yang penulis ini coba untuk sampaikan. Fuad yang kukira memang pintar dari raut mukanya tampak fokus dengan sesekali menggeleng pada gambar-gambar tersebut.

Ratna memperhatikan tembok di kiri meja itu. Arah wajahnya terlihat memperhatikan sebuah tulisan samar-samar terukir di tembok bercat coklat muda yang bertuliskan

"Akan Kuhancurkan Mereka Yang Telah Melupakanku."

Aku menelan ludah. Guratan-guratan tajam berwarna merah di dinding membuat bulu kudukku berdiri. Sudah jelas siapapun yang menulisnya kesal akan seseorang. Tapi siapa orang itu? dan yang lebih penting siapa yang menulis dan menggambar semua ini?

Pandanganku teralihkan pada tumpukan plastik di pojok ruangan dekat tempat kami datang. Tumpukan plastik itu mempunyai ukuran yang anehnya terlihat besar. Ada sesuatu yang besar di dalamnya. Tanganku membuka bagian atas plastik itu.

Aku hampir menjerit. Sebuah kepala orang lengkap beserta tubuhnya, bukan hanya satu namun 5. Banyak luka menganga yang sudah menghitam namun anehnya tak berbau. Perhatianku tertuju pada pintu di seberang pintu masuk di belakangku.

Didalamnya hanya terdapat sebuah hamparan matras dan makanan-makanan kering tergeletak di pojok ruangan yang dahulu hanya bisa ditemukan di supermarket. Sebuah tempat sampah dalam rumah penuh dengan perban dan kain kasa yang menguning. Tak ada tempat yang tidak dilapisi oleh debu dalam ruangan ini.

Sementara Leo di ujung ruangan buntu memperhatikan sebuah lemari pintu ayun yang tidak mempunyai apa-apa di dalamnya. Namun sekali lagi Leo memanggil 2 orang dari divisi lain itu. Lemari itu tanpa ragu dipindahkan oleh mereka berdua. Sesuatu mulai tampak terlihat dibalik lemari kosong. Sesuatu yang tidak pernah kuduga, sebuah terowongan hitam gelap.

"Sejak kapan kalian menemukan tempat ini?".

Ratna hanya menggeleng kepala, "Coba tanya dia!" Telunjuknya tepat mengarah ke Leo yang sedang mengecek sebuah tirai..

"Ada orang selain kita disini," seru Leo tiba-tiba.

"Kau bercanda!" balas Ratna langsung datang ke hadapan Leo.

"Mungkin hanya pikiranku saja." Sosoknya mulai memasuki terowongan dengan kami di belakangnya.

avataravatar
Next chapter