webnovel

02.02 Ilyas Rasyid (Nostalgia)

Setelah kehilangan ayah dan kakaknya, Nisa hidup dengan mempersiapkan banyak hal. Kalau-kalau tak lagi ada siapa pun di sisinya. Kalau-kalau seluruh dunia akhirnya meninggalkannya. Berkali-kali berkata pada diri sendiri bahwa ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Itulah yang kupikirkan saat melihat perubahan Nisa.

Menjalani hari-hari dengan mempersiapkan diri untuk menjadi sebatang kara, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Senyumnya hilang, keceriaannya lenyap. Tidak ada lagi jalan-jalan dan nongkrong di hari libur. Sepintas terlihat Nisa sedang menjaga jarak dengan dunianya. Yang sebenarnya terjadi, dunianya yang pelan-pelan menjauh.

"Aku dengar dia juga positif."

Bisik-bisik terdengar dari mejaku saat makan di kantin. Ketika aku menoleh, tiga orang anak perempuan sedang khusyuk bergosip.

"Dia?" Teman pertama bertanya tidak mengerti.

"Anak kelas sebelah yang keluarganya kena HIV."

"Pantas. Keluarganya yang lain positif, mustahil dia negatif sendiri. Kan mereka tinggal satu rumah." Temannya menanggapi seolah sudah menduga hal itu sejak lama. "Tahu darimana kalau dia tertular?"

"Aku dengar sendiri."

"Bu...bukannya HIV enggak bisa menular dengan mudah. Ada syarat jumlah tertentu yang harus dipenuhi baru bisa menulari orang lain." Teman kedua yang sedikit gagap berpendapat.

Kalimat yang cerdas. Pelajaran mengenai macam-macam penyakit menular sudah pernah dibahas di sekolah. Kalau ilmunya saja tidak digunakan di saat penting, apa gunanya mereka datang ke sekolah.

"Mereka ketemu setiap hari, melakukan kontak langsung. Pelan-pelan syarat jumlahnya pasti terpenuhi," sahut teman pertama merasa tahu segalanya.

Aku kembali menoleh ke arah para penggosip di belakangku. Kali ini sembari melotot. Karena tidak kunjung menyadari tatapanku dan mataku mulai perih, aku berdehem dengan keras. Sadar akan ketidaksukaanku, buru-buru mereka membungkam mulut usil mereka dan pergi ke tempat lain.

Setelah hari itu, rumor beredar di seluruh penjuru sekolah. Entah siapa yang pertama kali mendengarnya atau mulai menyebarkannya. Mungkin ketiga penggosip itu, mungkin bukan. Mungkin juga anak-anak yang berada di kantin dan tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka seperti aku. Yang jelas, kejadian itu membuat mataku akhirnya terbuka lebar. Keinginan untuk melindunginya. Untuk selalu berada di sampingnya. Untuk tidak hanya memerhatikan dari jauh.

Rumor mengatakan Izzatunnisa positif tertular dan menyembunyikan fakta bahwa dirinya seorang pengidap menyebar dengan cepat. Akibatnya, anak-anak di kelas dan satu sekolah yang sejak awal telah menjaga jarak, semakin menjauhinya. Tubuh Nisa yang menjadi semakin kurus adalah bukti kuat yang mereka ajukan.

Tidak masuk akal! Siapa yang bisa makan dan tidur dengan teratur jika malapetaka menimpamu. Jika satu persatu anggota keluargamu pergi untuk selamanya. Jika hari demi hari yang kamu lewati hanya untuk bersiap jika harus ditinggal lagi.

Mendengar alasan yang dibuat-buat membuatku murka. Mereka terus membicarakan Nisa, bahkan, meski anak itu tepat di depan mereka. Mereka sama sekali tidak menganggapnya, tidak mempedulikan perasaannya. Aku nyaris saja mengamuk.

"Jangan menghabiskan tenaga untuk hal yang enggak berguna!" Alvian menahanku. "Itu akan membuat mereka semakin memusuhi Nisa."

Alvian benar. Tidak ada gunanya memaki seluruh kelas atau berkelahi dengan anak laki-lakinya. Benar, tidak ada gunanya. Orang-orang yang bisa termakan oleh alasan seperti itu hanya orang-orang berotak dangkal. Adu fisik atau adu argumen tidak akan membuat mereka sadar.

Aku mengalihkan pandangan ke tempat Nisa duduk. Meski darahku telah mendidih sampai ke ubun-ubun, dia masih bisa membaca buku tanpa ekspresi. Terlihat tenang. Seolah hanya ada dirinya sendiri di kelas yang terlampau berisik ini.

Memperhatikan lagi Nisa dengan lekat membuatku sadar anak itu tidak benar-benar merasa tenang. Tangannya menggengam buku terlampau kuat. Nisa menghela napas panjang, terluka.

Jika tidak benar harusnya dia berteriak dan mengatakan, Tidak benar. Jika marah harusnya mengamuk. Mungkin tidak akan memengaruhi banyak hal, tapi, paling tidak dia mengelak atas segala tuduhan yang diarahkan padanya. Paling tidak, Nisa tidak perlu memendamnya sampai seperti ini.

Melihat Nisa hanya memendam semua sendiri membuat tekadku untuk melindunginya semakin bulat. Tanpa sadar, aku berjalan ke tempat duduknya.

"Izzatunnisa, aku suka kamu!"

Mendadak kelas berubah hening. Sama sekali tidak ada suara. Bahkan aku sendiri sampai menahan nafas. Kurasa aku berbicara terlalu keras.

Nisa terperangah menatapku. Matanya membulat lebar dengan rahang terbuka. Dia bahkan menjatuhkan buku yang semula dia angkat. Suara pertama yang memecah keheningan.

Gawat! Dia pasti menganggapku gila. Laki-laki aneh yang entah berasal dari planet antah-berantah mana. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak pernah memberi sinyal apa pun, tapi tiba-tiba menebaknya di depan banyak orang.

"Tunggu, tunggu! Lebih baik jangan dijawab di sini."

Segera aku mengembalikan kewarasanku dan menarik Nisa meninggalkan kelas. Jika harus ditolak mentah-mentah dan menerima beberapa makian menyakitkan, paling tidak aku hanya perlu menyimpannya untuk diriku sendiri. Aku belum siap dipermalukan di depan umum.

Hiks. Maafkanlah aku yang berhati lemah ini. Bertindak tanpa akal sehat, aku sering melakukannya saat marah. Aku memang tolol.

"Kenapa?" Nisa bertanya dalam satu kata.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu bisa suka aku?" Nisa menunjukkan ekspresi kaget dan heran yang masih sama.

Mungkin Nisa terlalu merendah. Dia tetap terlihat manis meski hanya berdiam tanpa ekspresi. Dia manis saat tersenyum. Dia manis saat berdiri di depan kelas. Dia berbeda, lebih tepatnya istimewa. Aku tahu dia sudah tumbuh menjadi lebih kuat, tapi aku tetap ingin melindunginya sebagai seorang laki-laki, tidak peduli apa.

"Aku enggak mau dikasihani," Nisa berkata lagi.

"Kenapa berpikir seperti itu?"

Kalimat terakhir Nisa membuatku terluka. Aku sadar, keadaan akan membuatnya berpikir seperti itu. Tapi aku sungguh tidak mengasihaninya. Dia kuat, tegar. Dibanding kasihan aku justru merasa kagum dengan semua sifat yang melekat dalam dirinya.

"Kalau begitu kenapa?" Nisa membalas pertanyaanku dengan pertanyaan.

"Terjadi begitu saja," jawabku. "Saat marah kita biasanya suka bertindak tanpa akal sehat. Nah, hal-hal yang sama juga bisa terjadi misalnya di saat kita ..." Sepertinya aku terlalu berteori. Ini pasti karena aku telah tertular virus Alvian dan teori-teori tidak pentingnya. "Pokoknya, itu terjadi begitu saja."

"Hah?!"

"Bukan 'hah,' tapi jawabannya apa. Aku sudah siap!" kataku meyakinkan diri sendiri.

Nisa tidak langsung menjawab. Dia berpikir. Mungkin sedang menimbang-nimbang bahwa aku tidak segila dugaannya, bahwa aku memiliki wajah yang juga tampan. Berpikir seperti itu membuatku sedikit senang. Paling tidak, baginya, aku bisa juga dipertimbangkan. Itu artinya aku masih memiliki peluang.

Rasa gugupku tiba-tiba hilang ketika Nisa menggeleng. Sesuatu yang kupikir sebuah peluang kini hancur berantakan.

Awalnya, kupikir penolakan Nisa tidak akan berpengaruh banyak padaku. Kini, aku merasa sesuatu telah melukaiku, bukan tentang harga diri, entah bagaimana cara menjelaskannya. Mungkin, tanpa kusadari aku sudah terlalu menyukainya.

"Emm ... maksudku ... aku enggak tahu." Nisa meralat jawabannya yang semula kukira sebuah penolakan langsung. Mungkin dia merasa kasihan atau tidak tega setelah melihat ekspresiku yang memelas ini.

Aku berpikir sesaat.

"Enggak masalah," kataku yakin. Meyakinkan diri sendiri lebih tepatnya. "Aku enggak masalah. Kita bisa jalani hubungan kita pelan-pelan."

"Hah?!!"

Aku mengerahkan senyum termanisku dan menjulurkan tanganku. Untuk sesaat, tanganku hanya melayang begitu saja di udara. Dan, ketika Nisa balik menjabat tanganku, meski aku tahu dengan perasaan yang masih dipenuhi keragu-raguan, ketika itulah kami resmi berpacaran.

[]

Next chapter