4 02.01 Ilyas Rasyid (Duka Nisa)

Seorang pria berdiri di depan kelas.

Aku baru pertama kali melihatnya tapi wajahnya seperti tidak asing. Tingginya mungkin 180-an, karena jelas dia lebih tinggi dariku. Hidungnya terlalu mancung untuk orang Indonesia. Rambutnya tersisir rapi belah kiri ala guru, karena memang dia adalah guru. Bentuk badannya bagus, kurasa karena dia rajin fitnes.

"Tebakanku dia pasti masih singgel. Usia kira-kira 25 tahun. Ah, tunggu mungkin 27 atau 26 tahun," kataku mengajak Alvian taruhan.

"Tebakanku dari dua prediksimu ada satu yang salah," balas Alvian tanpa menatap lawan bicaranya. Laki-laki bermata empat yang duduk di sampingku.

"Tebakan macam apa itu?!" Aku tidak terima.

"Nama saya Fadh Ainurahman. Usia 24 tahun." Guru di depan kelas memperkenalkan diri.

Sial, guru itu lebih muda dari dugaanku.

"Betul, 'kan kataku!" Alvian menyombong tapi masih fokus menatap buku pelajarannya. Membuatku kesal dan ingin menarik kursinya.

Anak-anak perempuan terlihat lebih bersemangat. Akhirnya memiliki guru baru yang lebih muda, tinggi, dengan wajah yang lumayan. Sementara anak laki-laki kebanyakan cuek dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Aku, melihatnya sekali saja sudah tidak suka. Ekspresinya yang sok berpengalaman, usianya yang terlalu muda untuk mengajar, semua itu patut dipertanyakan.

Gawat! Guru baru itu melihat ke arahku. Jangan-jangan dia bisa membaca isi pikiranku. Jangan-jangan dia tahu kesinisanku di hari pertamanya mengajar. Jangan-jangan, dia berencana tidak meluluskanku di mata pelajarannya.

Eh? Sepertinya hanya kebetulan kami bertemu mata. Mungkin karena guru baru itu sedang menghafal wajah-wajah muridnya dengan mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. Atau sedang menghafalkan tempat-tempat duduk kami. Entahlah. Terserah dia.

Aku menjatuhkan dagu, kemudian pipiku, aku menghadap ke arah tempat Nisa duduk.

"Apa, ya, kira-kira yang sedang dipikirkan Nisa?" Aku bergumam.

Tempat duduk Nisa ada di ujung kiri, sementara aku duduk di ujung lainnya. Di pojokkan sana, Nisa duduk seorang diri. Merapat pada dinding. Pandangannya lurus ke depan dengan mode serius, seperti Nisa yang memang kukenal. Nisa yang selalu serius.

Guru baru itu masih hanya sibuk dengan perkenalan dirinya dan pamer pengalamannya yang sudah pasti tidak seberapa. "Saya tinggal di jalan Habibon arah ke masjid Agung," katanya bahkan menyebutkan alamatnya.

"Memangnya itu penting? Memangnya siapa yang mau datang," gumamku.

Kupikir karena masih muda, guru baru itu akan lebih menghemat suaranya. Menyampaikan perkenalan seadanya kemudian masuk pada materi pembelajaran. Harusnya seperti itu agar terkesan keren dan misterius. Setidaknya tipe seperti itu yang ...

Eh, tunggu dulu! "Jalan Habibon?"

"Itu arah ke lingkungan tempat Nisa tinggal." Alvian menimpali.

Aku mengangkat wajahku, memperhatikan Nisa dan guru baru itu bergantian dan mengangguk, "Tapi bahkan Nisa sendiri sepertinya enggak sadar." Meski pandanganku mengarah pada Nisa, aku tahu Alvian sedang mengangguk.

"Apa sih yang sedang dia pikirkan?" Aku menggumam untuk yang kedua kalinya. Menghela napas panjang.

Mengetahui isi pikiran Nisa adalah hal yang paling aku inginkan dibanding menemukan emas yang tidak dipakai saat pulang sekolah.

Sebelumnya aku hanya sesekali memperhatikan Nisa. Dia terlihat sama seperti teman-teman lain. Sama-sama gadis remaja. Sama-sama tertawa. Sama-sama menghabiskan waktu dengan rutinitas wajib datang ke sekolah. Sama-sama sering jalan ke luar di hari libur.

Tapi, semua mulai berubah tidak lama kemudian. Aku jarang melihat Nisa di acara maupun kegiatan sekolah. Nisa sering absen tanpa sebab. Sesekali dia akan muncul dengan penampilan berbeda. Ukuran pakaian yang kebesaran dan corak yang biasanya tidak pernah dikenakan anak perempuan.

Di tubuhnya yang kurus, Nisa sama sekali tidak risi mengenakan pakaian yang terlihat berbeda dari penampilan sebelumnya. Nisa pandai menyamarkan sisi-sisi yang dapat membuatnya tenggelam ketika mengenakan pakaian kebesaran. Rambutnya yang bergelombang diikat tinggi untuk menunjukkan kepercayaan dirinya yang tinggi.

Sepenuhnya jika hanya tentang penampilan, Nisa bisa mengabaikan pandangan seluruh dunia yang mencelanya. Sejak saat itu, aku melihat Nisa sebagai sosok yang berbeda.

Yang terjadi kemudian justru tidak lebih baik. Tepatnya ketika penyakit keluarganya terekspos ke publik. Juga identitasnya sebagai anggota keluarga pengidap HIV/AIDS.

Sekolah sempat menjadi heboh, berkali-kali para reporter berdatangan. Guru dan orang tua murid mengadakan rapat dadakan. Tawaran wawancara eksklusif terus-menerus diberikan. Keinginan awak media untuk menjadikan perjalanan hidup Nisa sebagai tajuk utama. Bahan cerita yang akan menjadi konsumsi umum.

Tidak cukup hanya datang ke sekolah, para reporter itu juga membuntuti ke mana pun Nisa pergi. Membatasi setiap ruang geraknya.

Menurut kisah yang berhasil dirangkai, yang diambil dari berbagai sumber yang katanya terpercaya, anggota keluarga pertama yang mengidap adalah sang Ayah. Ketika hal itu terungkap, anak laki-laki yang pernah menerima donor darah dari sang Ayah, dan ibu juga positif terjangkit.

Anak laki-laki tertua mereka baru saja mengalami operasi besar setelah kecelakaan yang menimpanya. Ia masih dalam tahap penyembuhan ketika vonis lain akan hidupnya dijatuhkan. Mengalami hal seperti itu, siapa yang tidak terluka.

Seseorang yang terjangkit virus HIV sendiri pada awalnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas. Biasanya penderita hanya mengalami demam. Serangan demam itu pun tergantung daya tahan tubuh terhadap virus.

Sang Ayah pun demikian. Kondisi tubuhnya tetap baik meski berulang kali jatuh sakit lantaran terkena demam. Menganggap demam yang menjangkitinya hanya penyakit akibat pergantian musim, Ayah hanya beristirahat secukupnya dan beraktivitas normal di hari selanjutnya. Menjalani hidupnya seperti orang normal lainnya, tanpa tahu tubuhnya sedang digerogoti penyakit yang akan mengakhiri hidupnya.

Penyakit yang Ayah derita membuka fakta lain bahwa sebelumnya pernah terjadi perselingkuhan. Fakta itu membuat luka lain. Luka atas ternodanya kepercayaan dan hubungan kasih sayang yang selama ini terjalin. Pergolakan terjadi. Kehancuran keluarga dan hari-hari paling menyakitkan yang harus Nisa lalui.

Ketika sang Ayah meninggal, kondisi kakak laki-laki Nisa memburuk lebih cepat. Ketahanan fisiknya yang memang masih belum cukup kuat, penolakan sebagai pengidap yang berasal dari dalam dirinya, pada akhirnya obat-obatan yang diberikan tidak memberi banyak pengaruh. Depresi. Dan, ketika sampai pada titik nadirnya, yang bisa ia lakukan hanya mengutuki seisi dunia.

Ibu dapat bertahan lebih lama. Mungkin karena instingnya sebagai orang tua yang harus melindungi anak-anaknya. Harus ada untuk anak laki-laki tertuanya yang senantiasa merasa kesakitan, untuk selalu memberi dukungan. Juga untuk anak perempuannya sebagai penguat, terus-menerus memberi keyakinan bahwa hari seperti ini akan segera berakhir. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Begitu kakak tertua pergi untuk selamanya, duka si adik perempuan bertambah lagi, kesedihannya pun semakin dalam.

Aku memerhatikannya setiap hari. Bagaimana Nisa tumbuh dengan memikul semua duka itu. Bagaimana dia menjalani hari-hari bagai bara di bawah pijakannya. Hanya tersisa ibu yang masih terus menjalani perawatan dan dirinya sendiri di dunia ini. Semua yang dilalui membuatnya berubah menjadi orang yang berbeda. Terlalu kuat untuk anak perempuan, terlalu mandiri untuk remaja seusianya.

[]

avataravatar
Next chapter