1 Aktivis Muda

[Setelah membaca ini, diharapkan untuk memberikan Rate-nya ya :3

Apabila terdapat Kritik/Saran, harap tuliskan dalam kolom komentar, agar author dapat mengevaluasi serta meningkatkan writing skill-nya. Terima Kasih!]

"Luar biasa! Ide kalian sungguh brilian, Nak,"

"Baiklah, laporan kalian saya terima. Bapak akan segera menginformasikan kabar selanjutnya kepada kalian secepat mungkin,"

     Raut wajah Widya & Weden berubah drastis. Paras yang merah merona; penuh rasa tegang; serta keringat dingin yang mengalir deras diantara helaian rambut mereka, seakan-akan terhisap kembali oleh kulit wajahnya.

     Tanpa pikir panjang, Widya dan Weden segera mengungkapkan kebahagiaan serta rasa syukurnya kepada Tuhan yang Maha Esa. Mereka segera berpamitan kepada pria tua berseragam dan berkumis tebal itu; lalu keluar dari ruangan penuh sentimen tersebut dengan tetap memperhatikan etika kesopanan.

"HEY! Laporan kita diterima!" seru Weden penuh semangat

"Serius lo?" tanya Kross

"Iya. Tadi sih, Kepala Sekolah menerima pendapat kita dengan baik. Doain aja semoga terwujud," terang Widya

"Aamiin!"

"Alhamdulillah. Makasih ya Wid, Den,"

"Sekarang, kita sebaiknya segera pulang."

     Sore hari telah menjelang, saatnya untuk semua siswa pulang ke rumah masing-masing. Beberapa ada yang masih berkabut asmara dengan pujaan hatinya; ada yang masih berusaha keras demi menggapai mimpinya melalui kegiatan-kegiatan ekskul pilihannya; ada yang masih semangat untuk mengasah otaknya di tempat bimbel-bimbel ternama; serta ada pula yang mulai mencerminkan stereotip mahasiswa 'kupu-kupu'.

"Huft, what a tough day." gumam Widya.

     Tak ganjil lagi, ia memang yang paling berjasa di sepanjang hari ini. Menjadi seorang konseptor sekaligus proklamator, cukup membuatnya lelah.

     Beruntung, Widya hanya mengandalkan satu-satunya pilihan alat transportasi kepercayaannya, ojek online. Sehingga ia tak harus bersusah payah untuk mencari ojek pangkalan, ataupun mengendarai kendaraan pribadinya. Tak lama setelah Widya memesan ojek online, ponselnya pun bergetar.

     Nomor telepon yang terpampang pada gawai Widya, menunjukkan bahwa nomor tersebut tak tersimpan oleh Widya sebelumnya. Karena kelelahannya, Widya tak mengambil pusing akan hal itu; dan lekas mengangkat panggilan tersebut.

"Halo? Dengan siapa ini?" tanya Widya

"Dengarlah baik-baik,"

   Hmm... Suara seorang pria; pria yang cukup berumur; dengan tone suara yang berat; memiliki aksen logat yang cukup asing di telinga Widya; Siapakah dia?

"Siapakah ini?"

"9,18,1,8,13,1,14,5," ucap sosok misterius itu.

"Apa maksudmu?"

*Telepon dimatikan*

     "Tak masuk akal. Apa yang orang itu harapkan dariku? Apakah hanya untuk mendiktekan sesuatu yang aneh?" gumam Widya

     Telepon genggam milik si gadis blasteran Indonesia-Prancis itu kembali bergetar. Ia sangat ragu untuk mengangkat panggilan kedua kalinya itu. Namun, ia optimis akan panggilan yang kali ini, lantaran nomor ini sekilas tampak berbeda dengan nomor si 'pria misterius' tadi. Akhirnya, Widya memberanikan untuk menggerakan telunjuknya yang sedang gemetar itu; untuk menjawab panggilan tersebut.

"Halo, posisi di mana?" tanya seorang pria dibalik telepon

"Dengan siapa saya berbicara?" tanya Widya

"Ini driver ojek. Kak,"

"Oh ya, Pak. Posisi saya berada tepat di depan parkiran sekolah, mohon jemput saya segera,"

"Baik, kak. Saya akan segera sampai ke lokasi dalam waktu kurang lebih 3 menit."

     Tak lama, pengemudi ojek itu sampai, tepat di hadapan Widya. B 5181 NI. Kemudian, Widya segera menunggangi jok penumpang tunggangan tersebut. Dalam perjalanannya, Widya memforsir pikirannya untuk menguak maksud dari pesan-pesan aneh itu.

     Tampaknya, hal aneh itu sangat segar baginya; di sisi lain, ada misteri yang belum pernah terpecahkan; bahkan telah sempat diabaikan olehnya: 

Mengapa banyak murid yang berwajah sopan dan berprestasi, dikeluarkan dari sekolah ini tanpa sebab yang jelas?

     Pertanyaan yang tak kunjung terkuak jawabannya; dan hanya menciptakan opini serta dugaan dari setiap pelajar. Mungkin, tak semua insan memilih untuk memikirkan misteri ini; bahkan opsi 'melupakan' lebih utama ketimbang berpikir keras untuk 'mengetahui' jawabannya.

"Kurasa, sebaiknya aku melupakan misteri ini terlebih dahulu, walaupun aku belum mengetahui relasi yang nyata antara kedua poin ini," gumam Widya

"Ah! Untungnya, aku sempat merekam panggilan tersebut sepenuhnya. Kurasa ini merupakan sebuah kemajuan bagiku. Sherlock Holmes!"

"Umm, tidak. Detektif Dharma!"

"Nak, kamu sedang melamun, ya?" ucap si sopir

     Wajah Widya yang penuh konsentrasi, dan dipercantik dengan secarik senyuman manisnya, sontak dahinya mengerut, dan seringai manisnya kandas dalam hitungan detik.

"Eh, enggak pak," ujar Widya

"Ada masalah, ya?" tanya Sopir itu

"Nggak kok, Pak,"

"Kamu tadi terlihat melamun, saya takut ada apa-apa. Jadi kalau mau, ceritakan saja,"

"Tidak apa-apa, Pak,"

"Baik. Oh ya, Nak. Kamu tahu kode-kode panda yang viral itu nggak?"

"Ya, saya tahu. Itu soal yang berbentuk deretan angka yang dapat diubah menjadi huruf sesuai abjad dan sebaliknya, Pak,"

     Tunggu sebentar, mengapa sopir itu tiba-tiba menanyakan hal seperti itu? Hmm, apakah ini sebuah clue?  Mungkin saja, sesuai penjelasan tadi: angka-angka tadi dapat dikonversikan menjadi huruf. Ha! Menarik!

"Memangnya kenapa ya, Pak?"

"Tidak, saya hanya sekedar tanya, kok. Mmm... Sebenarnya itu maksudnya apa ya? Takutnya anak saya nanti tak tahu menjawabnya,"

"Oh, itu maksudnya begini, Pak..."

     Seiring perjalanan pulang, kedua insan itu asyik bercerita satu sama lain. Dari suatu topik yang sangat luas, hingga terpusat kepada satu hal: pendidikan.

     Tak terasa, sopir itu telah menyelesaikan kewajibannya: mengantar penumpangnya sampai tujuan dengan selamat.

"Terima kasih ya, Pak," ucap Widya.

"Sama-sama, Nak. Berkat kamu, pengetahuan saya semakin bertambah, dan semoga penjelasan kamu dapat menjadi bermanfaat bagi anak saya." ujar supir itu.

Widya membalasnya dengan sebuah senyuman manis. Luar biasa ya, fellas. Perjuangan seorang tulang punggung keluarga selalu tak kenal lelah untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sandang, pangan, papan, dan tak lupa: pendidikan.

     Widya yakin, sopir itu pasti seorang ayah yang baik, yang tak hanya mendukung pendidikan ilmu pasti, namun dilengkapi oleh ilmu adab, dan ilmu berkemanusiaan. Eh, tunggu. Ada misteri yang belum selesai, nih! Back to the topic!

"Mama, Dharma pulang,"

"Ma? Ah, mungkin ia sedang menikmati secangkir kopi cappuccino hangat di taman komplek lagi."

     Widya segera memasuki kamar, melucuti pakaian formalitasnya, kemudian menghidupi pemanas air bilik mandi miliknya. Tik-tok, 1800 detik abadi berjalan mundur, itulah porsi Widya untuk merefleksikan otak dan jari-jarinya ke dalam susunan oktaf-oktaf piano yang dibelikan oleh ayahnya di hari ulang tahunnya yang ke-12.

     Teknik akor dasar dan arpeggio sudah di luar kepalanya. Satu-satunya lagu yang sangat melekat di benak Widya ialah sebuah karya fantastis dari sang pianis legendaris sepanjang masa: Für Elise karya Ludwig van Beethoveen

     Widya pun asyik mengapung dalam lautan iramanya dalam kurun waktu yang tak ia sadari lamanya. Naif, ia terlena untuk menandakan kapan ia memulai, dan kapan ia harus mengakhiri sesi bermain pianonya. Ia bahkan sama sekali tak memperhatikan berapa lama ia berendam dalam lautan irama yang tercipta oleh pikirannya sendiri.

Lantas, apa kabar dengan pesan misterius tadi? Ah, Widya memang pelupa.

Lebih tepatnya, ia terlalu fokus dengan suatu hal, sehingga mudah melupakan yang lain.

     Oh! Mungkin saja, Widya memainkan piano itu untuk sekedar menenangkan fikirannya terlebih dahulu. Ia tak sadar, bahwa ia telah menghabiskan sekitar 25 menit untuk memainkan lagu yang sama berulang-ulang. Ditambah, ia takut bila mesti bersiram di kala: home-alone. Masuk akal, kan?

     Hujan pun mulai turun, membasahi atap-atap rumah penduduk. Anak-anak yang sedang bermain di sekitar taman komplek bersorak gembira menyambut rintik hujan.

     Sebagian insan remaja dengan sigap menghadirkan kopi hitam panas dihadapan mereka. Sebagian pun menghidangkan semangkuk mie rebus hangat yang tercampur sempurna dengan remahan telur ayam yang dimasak bersamaan.

      Seketika, batin Widya merasakan adanya kehadiran manusia lainnya di rumah ini, bersamaan dengan turunnya hujan. Terdengar hentakan sol sepatu kulit, berpadu dengan suara gema bel kecil yang digantung pada tepi atas pintu bagian dalam. Anehnya, setelah beberapa langkah; suara hentakan itu seketika menghilang.

     Lonceng telah berhenti berbunyi, suasana menjadi sepi dan sunyi. Batin Widya mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Sosok itu pasti dapat mendengar lantunan piano Widya. Namun, mengapa ia (bila itu adalah ayah/mamanya), malah justru enggan untuk hanya sekedar menyapa atau menegur Widya sebagaimana hubungan antara seorang anak dengan kedua orang tuanya?

     Dia benci jika harus melakukan ini; tapi, apa boleh buat? Widya harus membuka pintu kamarnya, sembari menggenggam benda yang pantas 'tuk ia pergunakan sebagai alat pelindung. Sedangkan, dikamarnya hanya terdapat buku-buku sekolah, tempat pensil, keyboard piano, dan koleksi aksesoris vintage miliknya.

     Panik; cemas; takut. Perasaan Widya sangat campur aduk. Hujan telah menerpa sekujur badannya, namun sang payung tak kunjung siap-sedia. Tangannya gemetar hebat. Kandungan benaknya beterbangan bak sekelompok kunang-kunang yang beterbangan bebas di udara, namun membawa hawa kegelapan yang menakutkan.

    Widya menarik nafas dengan kuat, dan mengaktifkan sel otak cemerlangnya untuk memperhitungkan segalanya: berlari ke dapur: 6 detik; ke gudang alat perkakas: 10 detik; ke kamar orang tuanya dan berharap ada alat yang dapat digunakan sebagai self-defense: 3 detik. A, b, atau c? 

Berpikir, Widya, berpikir! Lari, atau tidak? Mungkin berlari akan lebih baik. Bagaimana jika si penjarah menghadangnya? Tentu saja, Widya harus menghindar darinya.

Hampir saja lupa, Widya telah mencapai tingkat sabuk hijau strip kuning pada gelanggang pelatihan silat setempat. Bukankah lebih baik jikalau ia membuktikan kemampuannya bergulatnya saja?

Tidak, Widya ragu akan lawannya yang mungkin memiliki kemampuan bertarung yang lebih pandai darinya. Dengan keterpaksaan, Widya harus membuka pintu kamarnya dan mengenali situasi sekitar kamarnya. Aman, atau tidak; kemudian, ia akan berlari cepat menuju ke kamar ayah dan ibunya. Meski ia tahu bahwa: mempertahankan dirinya itu penting, namun ia terlanjur dikuasai oleh rasa takut yang menghantuinya; serta detakan jantung yang tak karuan.

Klek!

Tangannya dalam posisi menggenggam gagang pintu kamarnya dengan erat, seraya memberikan gaya tarik sedikit demi sedikit untuk memperoleh waskita yang cukup dari celah pintu yang terbuka.

Hening; sepi; hampa. Dimana dia? Tak ada bayangan, atau suara apapun. Apakah ia sedang bermain petak umpat dengan Widya, atau mungkin sedang mengusir kucing-kucing miliknya? Sial! Adakah ia menghilang, atau sedang berancang-ancang 'tuk menerkam Widya layaknya seekor singa yang kelaparan?

     Pintu kamar Widya telah terbuka sejauh lima-per-delapan dari lintasan rotasi maksimal pintu itu. Widya mencoba mengenali situasi sekitar dengan mata kanannya. Anehnya, tak ada siapa-siapa. 5 detik, 10 detik, masih tidak ada siapapun disana.

     Widya memberanikan untuk mengeluarkan raganya lebih jauh. Ia mendapatkan akses penglihatan yang lebih luas dibandingkan dengan sebelumnya. Ia terbelalak. Sebab, semua akses pintu masuk ke dalam rumahnya tertutup. Saat Widya memperhatikan lantai yang menuju pintu masuk utama rumahnya, ia tak menemukan tanda-tanda sepatu seseorang yang meninggalkan jejak. Padahal, cuaca siang itu sedang hujan cukup deras.

"Halo?" tanya Widya lantang

    Bibirnya gemetar, keringat dingin mengucur deras ke sekujur tubuhnya. Pikirannya yang jernih, berubah menjadi kusut. Otaknya dipenuhi oleh pertengkaran antara otak kanan yang menginginkannya ia untuk tetap diam dan tak mengeluarkan suara sedikitpun; melawan otak kiri yang memerintahkannya untuk memberi tanda untuk memastikan keberadaan sosok misterius itu.

"Bodoh! Aku bodoh sekali!" geram Widya

     Menurut beberapa pernyataan responden terhadap Widya; namanya lebih dikenal sebagai gadis jenius. Namun realitanya, ia hanyalah seorang pelajar yang belum dewasa; rentan overthinking; penuh ambiguisme; sering bertengkar dengan pikirannya sendiri; serta rentan sibuk dengan dunianya sendiri.

Sungguh mimpi yang buruk, ya? Tepat sekali! Itulah efek dari beban pikiran Widya yang terlalu banyak. Imbasnya, Widya tertidur dan bermimpi hal-hal yang cukup menegangkan.

     Lho. Berarti, tadi hanya sebuah kisah mimpi belaka?  Ya, bisa dibilang begitu. Yang jelas, tak ada satupun penjarah; maupun orang jahat dirumah ini. Tiba-tiba, bel rumahnya berbunyi kembali. Ketika Widya mengintip untuk kedua kalinya, ia hanya mendapatkan Elena yang baru saja pulang.

     Elena Gistara Fisher, sosok puan yang tangguh. Ia berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Laksamana Kamal Harsa, ialah pujaan hati Elena, yang berhasil tinggal sekamar dengannya. Ayah kandung Widya berprofesi sebagai konsultan aktuaris yang ternama. Kemampuan otaknya tak diragukan lagi. Belasan penghargaan serta pengalaman tertuang dalam ukiran piala serta piagam-piagam dari negara lain, yang turut mengakui kemahirannya dalam bidang tersebut.

     Beruntung, keluarga yang diciptakan antara Harsa & Elena sangat harmonis. Sandang; pangan; papan, semuanya tercukupi. Rasa syukur atas karunia Tuhan yang Maha Esa tak terhitung jumlahya. Elena pun sangat berbangga hati, ditakdirkan berjodoh dengan sosok pria mapan; nan tampan.

Ada sebuah pepatah berbunyi: Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. 

Mungkin saja, kejeniusan Widya ialah hasil dari penggabungan antara kromosom DNA ayahnya yang cerdas dalam kemampuan kuantitatif skolastik dengan DNA mamanya yang memiliki kemampuan linguistik tingkat spektakuler.

Continue to Chapter 2: Rancang Rencana

avataravatar
Next chapter