2 Tusukan Kematian

"Mana uangnya? Setorannya mana, hah! Bos kami sudah tidak bisa lagi menerima janji-janji manis darimu, Bu Anin. Serahkan saja berapa yang ada!" bentak salah satu dari tiga pria berwajah keras itu kepada Anindya, di kedai kecil wanita itu yang terletak di sebelah rumah. Posisinya berdempetan, bahkan ada sebuah pintu yang menghubungkan. Almarhum Teja yang telah membuatnya.

"Maaf sekali, Pak. Saya masih belum bisa mengangsur. Belum ada uang yang terkumpul."

Anindya meminta pengampunan kepada suruhan Yohan, seperti biasa.

"Aduh, selalu saja begini. Kami yang jadi kena getahnya. Kalau tidak ada juga, serahkan saja surat-surat rumah kepada kami sekarang! Kau dengar, Bu Anin!"

Bentakan dari lelaki yang lain, membuat Anindya gemetar. Saat ini, hanya ia seorang diri yang menghadapi para penagih hutang. Anin begitu ketakutan, tetapi demi anak-anak ia harus bisa menahan semuanya. Yita dan Ina tidak boleh ikut menanggung beban ini.

Lelaki yang lainnya malah memukul meja di hadapan Anin dengan keras. Hal tersebut membuat ibu dua anak yang baru saja ditinggalkan oleh suami untuk selamanya, kian pucat.

"Maaf, tetapi saya benar-benar tidak ada uang untuk diberikan."

"Halah! Periksa kotak uangnya. PAsti ada hasil jual beli hari ini!" Pria yang bercambang tebal memerintah dua lelaki lainnya untuk melakukan hal yang dimaksud.

Anin menghalangi perbuatan suruhan Yohan itu. Susah payah ia menggapai kunci laci, tetapi akhirnya berhasil direbut oleh para penagih hutang. Anin bahkan didorong hingga terpental keluar dari kedainya sendiri.

Yita melihat dengan mata kepala sendiri. Ia dan Ina mengintip dari balik gorden jendela kamar. Darah gadis belia itu menggelegak. Ia tak bisa melihat orang-orang memperlakukan sang ibu seperti itu. Tak lama, gorden jendela ditutupnya kembali.

"Ina, tidur saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan pedulikan. Tutup telinga dengan bantal. Tetaplah berada di bawah selimut ini."

Yita meminta adiknya melakukan hal tersebut. Ia bahkan telah menyelimuti Ina dengan selimut tebal. Kipas angin yang suaranya cukup berisik juga telah dinyalakan.

"Tapi, Kakak mau ke mana? Di sini saja," pinta Ina ketakutan.

"Kak Yita akan bantu Bunda."

"Tapi, Kak …."

"Sudah, kamu tetap saja di kamar, ya. Pokoknya jangan pedulikan apa pun yang terjadi."

Sekali lagi Yita menekankan kepada Ina supaya melakukan apa yang diperintahkan. Terpaksa gadis kecil itu mengangguk.

Tak menunggu lama, Yita pun keluar dari kamar. Ia menuju ke dapur, lalu mengambil pisau dengan ujung runcing lagi panjang serta tajam. Gadis itu menyelinap masuk melalui pintu yang menghubungkan antara rumah dengan warung milik ibunya.

Sepasang manik mata tajam milik Yita sudah memindai orang-orang yang akan dibinasakannya. Gadis itu telah gelap mata. Rasa sakit hatinya terlalu besar hingga membuatnya kehilangan sebuah ketakutan.

Cepat, Yita menusuk tiga pria itu secara bergantian. Sempat salah satu berhasil menggapai rambut panjang Yita, lalu menariknya. Namun, kembali pisau menusuk bagian dada dan perut berkali-kali hingga memperdengarkan lenguhan panjang dari ketiga pria itu sebelum meregang nyawa.

Anindya bangkit. Kakinya gemetar manakala melihat Yita berdiri dengan tangan memegang sebilah pisau yang berdarah-darah. PErcikan cairan merah itu juga mengenai, wajah gadis itu, pakaian serta bagian kulit yang tak tertutup baju.

"Yita … apa yang sudah kamu lakukan?"

Anin menatap sekitar dengan ketakutan yang luar biasa, berharap tidak ada yang melihat aksi anaknya itu. Ia tak pernah menyangka Yita akan sanggup menjadi seorang pembunuh seperti ini.

"Yita tidak bisa melihat mereka membentak Bunda seperti itu. Lebih baik mereka mati saja."

Jawaban dari Yita membuat Anin menjadi kian takut. Jangan sampai ada yang mendengar apa yang diungkapkan oleh anaknya. Ibu dua anak itu berjalan dengan kaki gemetar ke dalam warung. Ia tak sanggup melihat ke bawah saat terpaksa harus melangkahi mayat dengan mata dan mulut yang terbuka lebar.

"Pergi dari sini. Pergi ke mana saja, jangan sampai ada yang melihatmu, Yit." Anin merampas pisau yang dipegang oleh anaknya.

"Tapi, Bun …."

"Bunda bilang pergi, Yita. Masa depan kamu lebih penting dari segalanya."

Anin bahkan mendorong tubuh sang anak supaya kembali masuk ke dalam rumah. "Keluar dari pintu belakang. Menyelinap ke mana saja. Berhati-hati jangan sampai ada yang melihatmu."

"Tapi Bunda bagaimana?"

"Saat ini kamu yang terpenting, Nak. Pergi sekarang, sebelum ada yang datang dan melihat semua ini."

Anin meneteskan air mata. Ia tahu YIta melakukan semua ini untuk membelanya. Meski pada kenyataannya, tindakan pembunuhan itu tetap tidak dapat dibenarkan.

Yita terpaksa mengikuti semua yang dikatakan oleh Anindya. Ia pun kembali masuk ke dalam rumah, terus melangkah menuju dapur. Membuka pintu dengan tangan gemetar, lalu berlari membelah kegelapan malam dengan napas yang memburu. Ia baru saja merasakan takut setelah menyadari perbuatannya.

Beberapa saat setelah Yita pergi, Anindya menyusul ke dapur. Bukan untuk mengikuti sang anak, melainkan hendak mengunci pintu itu supaya tidak ada yang curiga.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter