5 Terlalu Cemas

"Ayaaahhhh!" Yita terbangun, seketika duduk. Wajahnya sudah basah keringat. Peristiwa yang baru dialami bagaikan mimpi buruk yang menyerang lelapnya.

Di sisi pembaringan, tampak Padika tengah duduk sambil menatapnya. Wajah pemuda itu tegang, sebab hal yang baru saja diperbuat Yita, sungguh bukan perkara yang kecil. Dalam sikap tenangnya, Dika tetap merasa takut kalau-kalau Yita akan tertangkap, atau siapa pun orang yang mengenal tiga pria yang dibunuhnya akan membalaskan dendam kepada gadis itu.

"Yita, apa kamu tidak apa-apa?"

Dika beranjak duduk ke atas ranjang, sebab sejak tadi Yita terus mengigau. Pemuda itu bahkan tak bisa tidur sepejam pun. Ia menemani sang sahabat dan menjaga sepanjang malam.

"Aku takut, Ka …." Gadis itu meringkuk. Ia menatap ngeri pada sekeliling.

"Tenanglah. Tidak ada yang tahu keberadaan kita." Dika mendekat. Ia membawa tubuh Yita ke dalam dekapan. "Kamu aman di sini."

Pemuda itu lantas mendesah. Menatap Yita dalam keadaan tertekan seperti ini, sungguh membuatnya tidak nyaman. Satu tangan pun terangkat, mengelus rambut Yita yang hitam dan panjang. Tak lama gadis itu kembali terlelap begitu saja.

***

Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun, Yita masih belum bangun dari tidur setelah sempat terjaga sebelum subuh tadi. Sementara Dika, terus berusaha untuk tidak memejamkan mata. Bayangan akan dikejar oleh polisi, pun para anak buah Yohanes—sang rentenir jahat—yang lainnya begitu menghantui pikiran.

"Kita pulang saja, Ka," ucap gadis itu tiba-tiba. Ia sudah bangun sejak beberapa detik lalu.

Yita kemudian bangkit dari tidur, lalu duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya sudah terlihat lebih tenang, meski masih meninggalkan sisa tangisan di sekitar mata.

"Aku kepikiran Ina. Dia sama siapa nanti, kalau Bunda tertangkap." Gadis itu merapikan lalu mengikat rambutnya.

Sejenak Yita termenung, ia menyesalkan keputusan Teja meminjam uang kepada Yohan. Seandainya saja sang ayah tidak melakukannya. Pastilah saat ini kehidupan keluarga mereka akan senantiasa aman.

"Kamu yakin, Yit?" tanya Dika meragu.

"Iya, Ka."

Gadis itu beranjak ke kamar mandi. Ia hendak membersihkan diri sekedarnya. Lalu kembali keluar, berdiri di depan cermin. Menatap wajah yang sudah kusam. Bercak darah di baju juga telah mengering, hal ini membuatnya menjadi frustasi. "Aku pembunuh. Aku seorang pembunuh," lirihnya sembari terus menatap pantulan bayangan diri di cermin.

Dika tidak menanggapi, pemuda itu terus menatapnya dengan khawatir.

"Apa yang akan terjadi dengan Bunda di penjara sana? Kenapa aku mau saja melarikan diri dan melimpahkan semua kesalahan kepada Bunda?" Yita meremas kepalanya dengan kedua tangan. Rambut yang sudah tertata dengan baik, kembali acak-acakkan.

"Yit. Jangan begini. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama aku." Pemuda itu mendekat, lalu menahan tangan Yita agar tidak bergerak terus menjambak rambutnya sendiri.

"Bagaimana semua akan baik-baia saja, sementara aku di sini melarikan diri. Bundaku di sana, ditangkap oleh polisi karena membiarkan dirinya dituduh membunuh tiga preman itu. Lalu adikku, entah siapa yang akan menyelamatkannya. Siapa? Aku sendiri tidak tahu. Jangan sampai rentenir itu datang dan melakukan hal yang buruk terhadap Ina!"

Dika bergeming. Ia tidak tahu jawaban seperti apa yang akan diberikan. Segala hal saat ini sungguh di luar kemampuannya. Hanya saja, ia tak bisa membiarkan Yita sendirian melewati semua.

"Kita harus segera pulang, Ka. Mereka pasti mempertanyakan keberadaanku, bukan? Bagaimana kita akan menjawabnya?"

Ya. Bagaimana mereka akan menjawab pertanyaan warga? Ketika Anindya melakukan pembunuhan, tetapi Yita sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.

"Kamu tunggu di sini, Yit. Aku akan keluar sebentar, membelikan makanan dan pakaian baru untukmu." Pemuda itu mengalihkan pembicaraan. Ia masih tak mampu untuk menjangkau jawabannya.

***

Selang satu jam kemudian, Dika kembali ke kamar yang mereka sewa. Akan tetapi, ia tak menemukan Yita di dalam sana. Wajahnya seketika pias, kantong makanan dan pakaian yang dibelikan untuk Yita terjatuh di lantai kamar wisma.

"Yita, kamu di mana?" Dika mencari ke seluruh penjuru kamar, tetapi sama sekali tidak ia temukan sosok gadis itu.

"Yita … kamu di mana?"

Pemuda itu mengeluarkan ponsel. Namun, kemudian teringat, Yita sama sekali tidak membawa benda itu. Ia memasukkan kembali gawai ke dalam saku celana, lalu keluar. Jika memang Yita dibawa pergi oleh orang-orang jahat itu. Setidaknya ia masih bisa mengejar, meski peluangnya sangat tipis.

Baru akan menekan handel, pintu terbuka dari luar. Sosok Yita muncul, menatapnya dengan sorot bingung karena terlihat pucat.

"Dari mana kamu, Yit? Aku sudah berpesan supaya jangan ke mana-mana!" Intonasi suara Dika sedikit meninggi. Ia hanya sedang sangat cemas, tidak ingin terjadi apa-apa kepada gadis itu.

"Aku hanya pergi menghirup udara segar di taman depan. Aku bahkan melihatmu datang."

"Kenapa kamu tidak mengejarku? Kenapa malah diam saja di sana dan membiarkan aku menjadi cemas seperti ini?"

Netra Yita mengedip beberapa kali. Ia tidak menyangka, sesuatu yang menurutnya biasa saja, ternyata justru menjadi hal yang besar bagi Dika.

"Kamu bilang di sini aman, tidak ada yang tahu keberadaan kita—"

"Iya, tapi ini tempat asing, kita tidak pernah tahu kapan orang lain akan berbuat tidak baik kepadamu. Kamu hanya aman di dalam kamar ini, jika pun hendak keluar, harus denganku. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama kamu, Yita. Tolong mengertilah."

Dika menjadi emosional. Napasnya memburu hanya karena berjuang melawan gejolak di dalam dada. Rasa takut akan terjadi hal buruk kepada Yita terlalu besar menguasai diri, sehingga membuatnya tidak bisa mengontrol emosi yang menjadikan perasaannya berkecamuk.

"Kamu kenapa?" Tanggapan gadis itu justru membuat pemuda di hadapan menjadi kikuk. Apakah kecemasan yang ia rasa terlalu berlebihan?

"Hem."

Dika lantas menurunkan pandangan. Ia pun memungut pakaian dan makanan yang sempat terjatuh di lantai. "Ayo, makan dulu. Setelah itu kamu silakan mandi. Kita akan segera pulang." Ia lantas berjalan menuju meja yang tersedia di dekat jendela. Meletakkan makanan di sana, lalu melempar pakaian yang dia beli ke atas ranjang.

"Kamu belum tidur. Silakan tidur terlebih dahulu, Ka. Aku tidak ingin kamu sakit."

Yita meraih handuk di dalam lemari pakaian. Ia melihat wajah Dika terlihat kuyu, mata pun sayu. Sebagai seorang lelaki, Yita menaruh penghargaan tertinggi untuk sahabatnya itu. Semalaman mereka berada di dalam ruangan yang sama, tetapi tidak sedikit pun Dika menyentuhnya.

"Yita …." Dika berjalan mendekat.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter