6 Teramat Sulit

"Yita …."

Dika berjalan mendekat. Wajahnya tersembunyi di balik tundukkan kepala. Perlahan tetapi pasti, langkah kaki membawanya kian dekat dengan gadis itu. Tangannya pun terangkat, menggapai wajah Yita. Ditatapnya lamat kedua manik mata hitam pekat milik gadis di hadapan. "Kamu tahu … aku seperti ini karena tidak ingin terjadi apa-apa denganmu."

Yita terpaku beberapa saat. Ia tidak pernah melihat ekspresi seserius ini dari wajah seorang Dika. Biasanya mereka selalu penuh canda dan tawa. Setiap kali kesedihan melanda jiwa Yita, pemuda itu selalu datang di saat yang tepat. Menyemai kebahagiaan meski gadis itu tak pernah meminta.

"Katakan … apa ini hanya sekedar rasa, tidak ingin terjadi apa-apa denganku?" Pertanyaan dari Yita memancing isi hati itu terungkap. Sejak pertama kali bertemu, Dika sudah jatuh cinta kepadanya. Namun, karena tidak ingin merusak hubungan baik yang terjalin di antara mereka, pemuda itu pun berusaha menyimpan sendiri segalanya di dalam hati.

Satu setengah tahun yang lalu, ia telah terpikat untuk pertama kalinya dengan seorang gadis. Benar-benar merasa cinta, hingga tak ingin sedikit pun terniat hendak melakukan perbuatan hina dan menghinakan kepada Yita. Akan tetapi, hari ini, Yita memancing dirinya, menanyakan segala sesuatu yang seharusnya tak perlu dipertanyakan lagi.

Apa yang dilakukan selama ini oleh Dika, rasanya sudah menjawab pertanyaan itu. Semua ini bukan hanya tentang rasa khawatir biasa, tetapi cinta. Hanya saja, sebagai wanita, Yita memang butuh kejelasan.

Manik mata Dika yang berwarna cokelat tua, menatap lamat ke dalam bola mata Yita. Ada dorongan dan hasrat membara di dalam dada untuk melakukannya. Perlahan, ia pejamkan netra, lalu kian mendekatkan wajah mereka.

Gadis itu hanya diam terpaku, bahkan ia pun ikut terhanyut dalam suasana yang telah tercipta. Pada akhirnya, Yita ikut memejamkan mata, bersiap dengan hal yang akan mereka lakukan, mungkin. Namun, lagi-lagi Dika tersadar. Segera diangkatnya kelopak mata, menatap wajah Yita dalam jarak sangat dekat. Ia kemudian menggeleng dan melepaskan sentuhan tangannya di leher sang gadis.

"Mandilah. Aku akan menunggu." Pemuda itu lantas berbalik. Ia tidak boleh melakukannya. Hal tersebut sudah ditekankan di dalam diri, bahwa Yita adalah gadis yang patut untuk dihormati.

Yita tersentak. Gadis itu membuka mata dan melihat punggung tegap Dika yang sudah berdiri membelakangi, menghadap ke jendela. Kedua tangannya terselip di dalam saku celana. Yita lantas tersenyum. Ia tahu Dika takkan pernah mau melakukan hal yang melewati batas.

***

Mereka sudah berada di depan resepsionis. Dika juga telah memberikan kunci kamar kepada salah satu wanita yang berada di sana.

"Terima kasih, semoga kalian menikmati bermalam di wisma kami," ujar wanita itu sembari tersenyum lebar. Lokasi ini memang terkenal sering dijadikan tempat untuk memadu kasih bagi dua insan, tanpa ikatan legal yang sedang dilanda gejolak membara di dalam dada. Sehingga banyak mata yang memandang demikian rendahnya kepada mereka berdua. Padahal tidak ada yang terjadi di dalam sana. Dika bahkan sangat menjaga hasrat kelelakiannya agar tidak merusak hubungan baik dengan Yita.

"Sama-sama, Kak." Yita menyahut. Ia sudah melihat gelagat kesal dari diri Dika. Tidak ada gunanya berdebat di tempat ini. Biarkan saja mereka berasumsi sesuai dengan pikirannya.

"Yang jelas, kita tidak melakukan hal yang mereka pikirkan," ujar Yita ketika mereka sudah melangkah menjauh.

"Kamu tahu, ucapan itu sangat merendahkanmu, Yit. Seolah-olah kamu gadis murahan yang bisa diapa-apakan semaunya. Padahal tidak, kamu berbeda."

"Kamu yang membuatku berbeda, Ka. Jika bukan denganmu aku bermalam di tempat ini, belum tentu aku akan tetap selamat."

Jawaban dari Yita berhasil membuat Dika terdiam. Pemuda itu lantas bergeming menuju parkiran. Tak lama setelah keduanya naik ke atas sepeda motor, Dika pun segera melajukan kendaraan roda dua itu menuju arah kota tempat tinggal mereka.

"Ka ...." Yita menepuk pundak pemuda itu.

"Ya, kenapa Yit?"

"Bisa kita berhenti sebentar. Aku ingin mencoba menghubungi ke HP-ku. Siapa tahu Ina yang menjawabnya, atau boleh juga ke nomor Bunda."

Dika segera menetepikan kendaraan. Ia lalu mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Yita. "Silakan gunakan saja."

Cukup lama Yita mencoba menghubungi, tetapi tidak ada satu pun yang menjawab. Ia hanya ingin tahu kabar Ina. Kernyit di dahi menandakan bahwa dirinya benar-benar sangat gusar. Hal tersebut membuat Dika yang menatap pun ikut merasakan keresahan yang dialami.

"Apa kamu memiliki keluarga lain di dekat sana?"

Yita menggeleng. Manik matanya menatap langit yang mulai membiru. Cahaya sang surya sudah terasa panas menyentuh kulit. Sayangnya, kehidupan gadis itu tidaklah secerah langit di atas sana. Semua telah berubah kelabu, seolah tertutupi mendung yang teramat pekat.

"Aku benar-benar tidak tahu Ina ke mana. Ingin sekali rasanya segera bisa sampai di rumah. Namun, aku masih merasa takut untuk bersitatap dengan banyak orang di sana."

"Yita … percayalah, semua akan baik-baik saja. Cobalah untuk bersikap senatural mungkin, jangan perlihatkan ketakutanmu."

"Aku tidak bisa, Ka. Bayangan tiga orang yang sudah kutusuk itu masih terlihat nyata di depan mata." Yita bergidik. Bulu kuduknya pun berdiri. Ia sendiri takut dengan hal yang telah dilakukan, meski tujuannya hanya untuk membela sang ibu dari sikap dan tindakan tidak beradab tiga pria penagih hutang.

Lagi, Dika hanya mampu menatapnya dengan hampa. Dirinya tidak memiliki solusi apa pun. Ingin rasanya membawa Yita untuk tinggal bersama di rumah orang tua. Akan tetapi, ia pun tak mau bermasalah dengan mereka. Menjelaskan duduk persoalan mengenai perkara yang sedang menimpa Yita, sungguh bukanlah langkah yang tepat. Biar bagaimanapun, Yita telah melakukan pembunuhan, dan hal itu sangat bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara ini.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter